Jumat, 09 Mei 2014

FIQHUN NISA’ FIL HAJJ (FIQIH WANITA DALAM HAJI)



FIQHUN NISA’ FIL HAJJ (FIQIH WANITA DALAM HAJI)

PENDAHULUAN

Haji adalah merupakan ibadat fardhu yang diwajibkan, tetapi kewajipan haji agak berlainan dengan ibadah-ibadah yang lain dari segi konsep dan kefardhuannya, di mana ibadat haji hanya diwajibkan ke atas umat Islam yang berkemampuan mengunjungi Baitullah di Makkah baik lelaki maupun perempuan. Ada pun orang-orang yang tidak berkemampuan dari segi bekal perjalanan, kesehatan , keselamatan perjalanan, maka tidak diwajibkan haji. (QS Ali Imraan : 97)
 
Artinya : Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

MANUSIA DAN IBADAH HAJI

Rata-rata umat Islam mengakui tentang kewajipan ibadah Haji yang difardhukan, jika ada umat Islam yang menentang dan mengingkari kefardhuannya maka kufurlah ia. Walau bagaimana pun, umat Islam pada keseluruhannya berkaitan dengan ibadah haji ini terbahagi kepada beberapa golongan
- Golongan yang berkemampuan untuk mengerjakan ibadah Haji sehingga mereka telah mengerjakannya beberapa kali dan
berkemampuan untuk mengerjakannya beberapa kali lagi jika mereka mau.
- Golongan yang hanya berkemampuan untuk menunaikan ibadah Haji walaupun sekali saja dalam hidupnya, walaupun sudah dilaksanakan atau belum
- Golongan yang tidak berkemampuan untuk menunaikan ibadah Haji walaupun sekali dalam hidup sedangkan keinginan dan cita-cita tetap ada.
- Golongan yang berkemampuan dari segi perbelanjaan/perbekalan dan sebagainya tetapi belum mengerjakan ibadah Haji dan tidak pernah terlintas untuk mengerjakannya walaupun ia telah mampu melakukan perjalanan jauh ke tempat-tempat lain yang lebih jauh daripada Baitullah.
Golongan yang keempat inilah yang dikhawatirkan akan mati sebagai seorang Yahudi atau Nasrani. Ini berdasarkan hadis Rasulullah S.A.W, artinya : ““Barangsiapa tidak tertahan oleh kebutuhan mendesak, atau sakit yang menahannya, atau larangan dari penguasa yang zhalim, kemudian tidak menunaikan haji, hendaklah ia mati dalam keadaan menjadi orang Yahudi jika ia mau, dan jika mau maka menjadi orang Nasrani”. (HR Ahmad, Abu Ya’la dan Al-Baihaqi. Hadits ini dhaif namun mempunyai penguat).
TINGKATAN IBADAH HAJI
Hampir sama seperti ibadah sembahyang dan puasa, ibadah Haji mempunyai empat tingkatan berbeda :
- Haji Mardud : ialah haji yang tidak diterima olah Allah SWT karena kekurangan syarat-syarat dan rukunnya atau sebab-sebab yang lain yang menyebabkan hajinya tidak diterima atau ditolak oleh Allah SWT.
- Haji Maqbul : ialah haji yang sah dan diterima oleh Allah SWT dan orang yang mengerjakan haji maqbul ini dianggap sebagai telah menunaikan perintah Allah dan telah menyempurnakan rukun Islam yang ke lima tanpa diberi ganjaran pahala.
- Haji Makhsus : ibadah haji yang dikerjakan oleh orang-orang yang tertentu yang sempurna segala syarat dan rukunnya, ia bukan saja sekadar dianggap sah dan diterima oleh Allah tetapi diampunkan segala dosanya. Haji ini termasuk ke dalam apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Majah, An-Nasai dan Ahmad daripada Abu Hurairah yang artinya : “Barangsiapa haji ke rumah ini (Baitullah), kemudian tidak berkata kotor, dan tidak fasik, ia keluar dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya”.
Inilah tingkatan haji yang paling tinggi dan istimewa, tidak semua bisa mendapatkannya. Haji ini bukan saja sekadar dianggap menunaikan kewajipan, tetapi selain dari diampunkan segala dosanya, ia juga akan dimasukkan ke dalam syurga. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh At-Thabrani daripada Abdullah bin Abas yang artinya : " Haji mabrur itu, tidak ada balasan baginya melainkan syurga “.
PENGERTIAN HAJI MABRUR
Haji adalah ibadah khusus, salah satu di antara rukun yang ke lima. Sesuai pengertian syara’, haji ialah mengunjungi Baitullah dalam bulan-bulan haji kerana mengerjakan thawaf, sa’i dan wukuf di Arafah dengan syarat yang tertentu dan menunaikan segala perkara -perkara yang wajib yang berkaitan dengannya. Adapun perkataan "MABRUR" di segi pengertian bahasanya ialah perbuatan yang tidak ada syubhat atau keraguan padanya atau hanya diartikan dengan makna yang diterima. Makna Haji Mabrur pada istilah ialah haji yang diterima dan balasannya yang luar biasa yaitu syurga, sedangkan kebalikannya ialah Haji Mardud yaitu haji yang ditolak dan tidak diterima.
SYARAT-SYARAT HAJI MABRUR
Untuk mencapai tingkatan haji yang mabrur, tidak semudah seperti yang dibayangkan tetapi tidak mustahil untuk mendapatkannya. Ia memerlukan beberapa syarat yang tertentu berdasarkan masa-masa tertentu :
Sebelum Menunaikan Haji
Ada beberapa perkara yang seharusnya diperhatikan sebelum berangkat menunaikan fardhu haji yaitu :
- Niat : semata-mata karena Allah, jangan sekali dicampur-adukkan dengan perasaan ria dan takabur. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim daripada Umar Al-Khattab yang artinya " Sesungguhnya segala perbuatan itu bergantung kepada niat, dan sesungguhnya bagi setiap seorang itu apa yang diniatkan "
- Uang perbekalan/perbelanjaan : berasal dari sumber yang halal dan tidak mengandung syubhat
- Kewajipan yang sempurna : tidak memaksakan diri untuk menunaikan kewajiban haji padahal ia belum mampu secara syar’i
Semasa Mengerjakan Haji
Semasa mengerjakan Haji juga perlu menjaga beberapa perkara :
- Menyempurnakan segala rukun-rukun Haji
- Menyempurnakan segala perkara-perkara wajib Haji
- Membayar segala jenis dam yang dikenakan
- Tidak melakukan larangan ketika berihram Haji seperti persetubuhan, kemaksiatan dan kemungkaran. Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 197 yang artinya : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”.
Setelah Menunaikan Haji
Orang yang telah menunaikan Haji, dianggap telah membersihkan dirinya daripada segala dosa dan kesalahan, setelah menunaikan Ibadah Haji, khususnya setelah kembali ke Tanah Air maka beberapa hal perlu diperhatikan :
- Sentiasa menjaga diri dalam keadaan bersih dari segala noda dan dosa dengan menjauhkan perkara-perkara mungkar yang dilarang.
- Memperbanyakkan amal soleh untuk meningkatkan iman dan ketaqwaan
- Memperbaiki diri ke arah yang lebih sempurna di segi akhlak dan perbuatan
Dengan terlaksananya segala apa yang diuraikan seperti di atas, maka besar kemungkinan seseorang itu akan mencapai ke tahap Haji Mabrur yang diidamkan oleh setiap pengunjung Baitullah. Amiin.
            Khusus bagi wanita yang menunaikan ibadah haji, terdapat ketentuan-ketentuan yang berbeda dengan haji bagi lelaki. Antara lain adalah terdapat aturan hal-hal sebagai berikut.
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah di dalam kitab shahihnya, bahwa Sayyidah ‘Aisyah Ra. Bertanya kepada Rasululllah SAW: “Ya Rasululllah! Tidak wajibkah bagi wanita turut berjihad (berperang)?” Jawab Rasululllah SAW : “Jihad yang diwajibkan bagi mereka tidak berperang, tetapi haji dan ‘umrah.”





Tentang thowaf wada’ bagi wanita yang sedang haidl:
Nabi Muhammad bersabda:
Diriwayatkan dari Aisyah r a. ia berkata: Shofiyah binti Huyaiy r a. mengalami haidl setelah thowaf ifadloh. Kata Aisyah, lalu aku bercerita kepada Rasululloh saw. tentang haidl Shofiyah, maka Rasululloh saw bertanya: Apakah dia akan menangguhkan kepulangan kita?, kata Aisyah: ya Rasululloh sesungguhnya Shofiyah telah melakukan thowaf ifadloh dan thowaf di baitulloh, lalu dia mengalami haidl setelah thowaf ifadloh. Maka Rasululloh bersabda: Silahkan dia pulang ( tanpa thowaf wada’ ), Shohih Muslim, hadits no. 754, shohih Bukhori, hadits no. 1733
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r a. ia berkata jamaah haji diperintahkan untuk thowaf wada’ di Baitulloh menjelang pulang, kecuali perempuan yang sedang haidl yang diberi keringanan ( anpa thowaf wada’). Shohih Muslim, hadits no.755. shohih Bukhori hadits no. 1755
 Umroh Romadlon.
Diiriwayatkan dari Ibnu Abbas r a. bahwasanya Nabi saw. pernah bertanya kepada seorang perempuan dari kaum Anshor yang bernama Ummu Sinan, apa yang menghalangimu sehingga tidak turut berhaji bersama kami? Perempuan itu menjawab ada dua saluran air milik ayah anakku ( yakni milik suaminya ). Ketika suamiku haji, putranya yang megurus salah satu dari dua saluran air tersebut, sedngkan yang satu lagi diurus oleh pembantu kami untuk engairi kebun kurma milik kami, maka Rasululloh bersabda: Jika kau berumroh di bulan Romadlon, berpahala seperti haji yakni berpahala seperti haji bersamaku. Shohih Muslim, hadits ke 758, shohih Bukhori hadits no. 1782.
Wanita yang haidl dan nifas bila ingin berihrom
Diriwayatkan ari Aisyah r a. ia berkata: Asma’ binti umais melahirkan Muhammad bin Abu Bakar di dekat pohon (di Dzul Hulaifah), lalu Rasululloh mmerintahkan Abu Bakar agar menyuruh Asma’ mandi kemudian berihrom. Shohihi Muslim, hadit no. 650.

ADAB-ADAB SEBELUM MENUNAIKAN FARDHU HAJI
Setiap amalan yang baik akan menjadi lebih sempurna dan diterima oleh Allah SWT, jika dilakukan mengikut adab-adab tertentu. Dalam mengerjakan Haji, ulama telah menggariskan beberapa adab sebelum menunaikan Haji yang perlu dipatuhi agar dapatmemperoleh Haji yang mabrur. Adab-adab tersebut adalah :
1. Niat Yang Ikhlas
Ikhlas di dalam niat adalah asas penerimaan segala ibadat . Ikhlas membersihkan jiwa yang hendak menghdap Allah SWT dari segala penyakit nafsu, seperti : ria, ujub, sombong dll
2. Bertaubat Dari Segala Dosa Dan Kezaliman
Hendaklah bersungguh-sungguh bertaubat dari maksiat dan segala yang dibenci oleh Allah, membiasakan lidah untuk mengucapkan istighfar dan berusaha serta berazam untuk meninggalkan maksiat selama-lamanya
3. Selesaikan Hak-Hak Allah : Shalat, Zakat, Nazar, Kifarat, Fidyah
4. Selesaikan Hak-hak Manusia
-Meminta maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan
-Menyelesaikan hutang-hutangnya, atau mewakilkannya kepada orang lain untuk ditunaikan hutang-hutangnya itu
-Menyelesaikan urusan-urusan yang masih belum terselesaikan dengan orang ataupun pihak lainnya yang mempunyai urusan
-Mengembalikan segala amanah yang masih dipegang kepada pemberi amanah
-Menyelesaikan pembahagian harta pusaka dan hal-hal berkaitan dengannya, seperti wasiat, hibah dan sebagainya
-Menulis wasiat menyangkut hak-hak Allah maupun hak-hak kerabat/handai taulan
-          Memberi bekal untuk keluarga yang ditinggalkan untuk mencukupi kebutuhan sampai dengan kembali dari menunaikan ibadah haji
5. Mencari Keridhaan
Berusaha memperoleh keredhaan dengan cara berpamitan kepada : orang tua, suami, guru, kerabat/keluarga, sahabat
6. Memperbaiki diri ke arah yang lebih baik :
-Memahami maksud dan tujuan haji haji
-          Membuang sifat-sifat buruk, keji. Melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya
-          Jangan menunggu perubahan setelah sampai di Tanah Suci atau selepas selesai mengerjakan haji, tetapi ubah diri kita dahulu dari sekarang mengikut hal-hal yang tersirat di dalam maksud dan tujuan ibadah haji.
-Rajin ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah
-Banyak membaca Al-Qur’an, berdoa dan beri’tikaf
7. Biaya haji berasal dari sumber yang halal, tidak mengandung syubhat
Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Abu Hanifah mengenai harta haram untuk haji : “Sah secara zahir, tetapi tidak mabrur dan jauh dari penerimaan/ridha Allah SWT”.Imam Ahmad bin Hanbal : “Tidak sah hajinya dengan harta haram”.
8. Mempelajari kaifiah (cara-cara) mengerjakan haji dengan baik sesuai Sunnah Rasulullah SAW, sebagaimana sabda beliau : “Pelajarilah manasik haji dariku karena aku tidak tahu, mungkin aku tidak lagi bisa berhaji setelah tahun ini….. “
KESALAHAN YANG SERING DILAKUKAN
SHALAT SUNNAH THAWAF
Kesalahan yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji di sini adalah angapan mereka, bahwa shalat dua rakaat harus dilakukan dekat dengan Maqam Ibrahim, sehingga terjadilah desakdesakan, menyakiti orang lain yang sedang thawaaf, dan mengganggu jalannya thawaf mereka. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah, karena shalat dua rakaat setelah thawaf sah dilakukan dimana saja di Masjidil Haram; bisa di belakang Maqam Ibrahim sehingga posisi maqam Ibrahim terletak antara dia dan Ka’bah meskipun agak jauh, bisa juga shalat di halaman (lingkaran) masjid, atau bisa pula di serambi masjid, sehingga dapat terhindar dari aniaya orang lain, tidak menyakiti orang lain dan tidak disakiti, dan dapat shalat dengan khusyu’ serta tenang.
Kesalahan yang lain; bahwa sebagian jamaah, setelah selesai melakukan shalat dua rakaat, berdiri dan berdo’a ersama-sama dengan suara keras di bawah pimpinan komando mereka, sehinga menggangu orang lain yang sedang shalat di belakang Maqam. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman : “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (qs Al-A’raf : 55)
SA’I
Kesalahan yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang sedang melakukan sa’i di sini adalah bahwa ketika naik ke bukit Shafa dan Marwa mereka menghadap Ka’bah, bertakbir tiga kali dan mengangkat tangan sambil mengisyaratkan dengan tangan mereka sebagaimana mereka lakukan dalam shalat, kemudian turun dari bukit. Hal ini bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Untuk itu, hendaknya mereka melakukan sesuai dengan sunnah jika mungkin, atau meninggalkan kesalahan tersebut dan tidak megada-ada sesuatu perbuatan yang belum pernah dilakukan olen Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Kesalahan yang lain; mereka berlari kecil mulai dari shafa sampai Marwa dan dari Marwa ke Shafa. Hal ini bertentangan dengan sunnah Rasulullah. Karena lari kecil (menurut sunnah) hanya dilakukan pada dua tanda hijau saja, sedang sisanya hanya dilakukan jalan biasa. Hal ini sering terjdi mungkin karena ketidakmengertian atau karena tergesa-gesa ingin segera
selesai sa’i.
WUKUF DI ARAFAH
1. Mereka turun di luar batas daerah Arafah dan berdiam (berhenti) di tempat masing-masing (di luar daerah arafah) sampai matahari terbenam, kemudian menuju ke Muzdalifah tanpa wuquf di Arafah, ini merupakan kesalahan yang besar, karena wuquf di Arafah merupakan salah satu rukun Haji yang tak sah Haji seseorang tanpa wuquf di Arafah.
Maka barang siapa tidak wuquf di Arafah pada saat wuquf, hajinya tidak sah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Haji itu adalah wuquf di Arafah. Barang siapa datang pada malam pertemuan tersebut sebelum fajar berarti wuqufnya sah”. Kesalahan yang fatal terjadi karena mereka tertipu oleh sebagian jamaah. Sebagian jamaah ada yang turun sebelum sampai daerah Arafah tanpa memperhatikan tanda-tanda batas daerah Arafah, sehinga haji mereka tidak sah dan orang lain yang datang kemudian tertipu mengikutinya dan tidak sah pula hajinya.
2. Mereka meninggalkan Arafah sebelum matahari terbenam. Perbuatan ini adalah haram, karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berwuquf sampai matahari terbenam dan hilang bulatannya. Di samping itu, meningalkan Arafah sebelum matahari terbenam adalah perbuatan orang-orang jahiliyah.
3. Mereka menghadap ke Jabal Arafah saat berdo’a sementara Kiblat berada di belakang, kiri, atau kanan mereka. Hal ini bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW yang berdo’a sambil menghadap Kiblat.
MELEMPAR JUMROH
1. Keyakinan mereka, bahwa batu kerikil harus diambil dari Muzdalifah, sehingga mempersulit mereka sendiri dengan harus mencarinya di tengah malam dan membawanya pada hari-hari Mina. Pernah terjadi, seseorang kehilangan satu batu kerikilnya dan sedihnya bukan kepalang. Dia minta tolong kawannya untuk dapat memberikan kepadanya kerikil yang diambil dari Muzdalifah. Padahal sudah jelas hal itu tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau pernah memerintahkan Ibnu Abbas ra untuk mengambilkan kerikil sementara belliau berada di atas kendaraan. Tampaknya waktu itu beliau sedang berada di Jumrah, dan karena saat itulah waktu memerlukannya; maka beliau tidak pernah memerintahkan untuk mengambil kerikil sebelum di Jumrah, karena hal itu tidak perlu dan merepotkan dalam membawanya.
2. Keyakinan mereka, bahwa dengan melempar Jumrah, berarti melempar setan, yang sebenarnya tidak ada dalil yang benar yang dapat dijadikan dasar. Dan sebagaimana telah kita ketahui sebelumya bahwa hikmah disyari’atkan melempar jumrah adalah untuk mendirikan dzikir kepada Allah Azza wajalla, dan untuk itulah mengapa Nabi SAW bertakbir pada setiap lemparan batu kerikil.
3. Mereka melempar dengan kerikil-kerikil besar, sepatu atau sandal, seperti pantopel (sepatu boot), dan kayu. Hal ini adalah suatu kesalahan yang besar dan bertentangan dengan apa yang disyari’atkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada ummatnya dengan perbuatan dan perintahnya, dimana beliau melempar hanya dengan batu kerikil sebesar kerikil untuk pelenting ketepil dan memerintahkan ummatnya melempar jumrah dengan kerikil sebesar itu, serta mengingatkan mereka untuk tidak berlebih-lebihan dalam beragama. Kesalahan besar ini terjadi karena keyakinan mereka, bahwa mereka sedang melempar setan.
4. Mereka maju mendekati jumrah dengan paksa dan kekerasan tanpa rasa khusyu’ kepada Alah dan tanpa rasa kasih sayang kepada sesama hamba Allah yang lain, sehingga dengan perlakuan kasar tersebut terjadilah penganiayaan dan gangguan terhadap orang lain, dan terjadi pula saling caci maki dan saling pukul. Hal ini dapat merubah suasana ibadah dan tempat ibadah ini menjadi pemandangan saling caci dan saling bunuh, menyebabkan mereka keluar dari tujuan disyari’atkan ibadah ini dan keluar dari apa yang dilakukan oleh Nabi SAW.
5. Mereka tidak berdo’a setelah melempar Jumrah Pertama (jumrah Shughra) dan kedua (jumrah Wustha) pada hari-hari tasyriq. Padahal Nabi SAW setelah melempar keduanya berdiam diri, menghadap Kiblat sambil mengangkat kedua tangannya dan berdo’a dengan do’a yang panjang. Orang-orang tidak berdo’a setelah melempar jumrah pertama dan tidak pula berdo’a setelah melempar jumrah kedua, mungkin karena ketidaktahuan mereka tentang sunnah Rasulullah dalam hal ini atau mungkin karena ingin cepat selesai dari ibadah haji. Alangkah baiknya, jika para jamaah haji telah belajar terlebih dahulu hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah haji sebelum melakukan haji agar dapat beribadah kepada Allah dengan penuh pengetahuan dan ilmu, serta dapat mengikuti sunnah Rasulullah. Orang yang akan bepergian ke suatu negara saja bertanya-tanya tentang jalan yang akan dilewati sehingga dapat sampai ke negara tersebut dengan pengetahuan yang cukup, bagaimana halnya dengan orang yang ingin melewati jalan menuju kepada Allah subhanahu wata’ala dan surgaNya??, tentu baginya lebih perlu dan lebih harus bertanya terlebih dahulu sebelum melewati jalan tersebut sehingga sampai ke tujuan.
6. Mereka melempar seluruh kerikil (tujuh batu kerikil) sekaligus dengan satu kepalan. Seharusnya, mereka melempar batu kerikil satu demi satu sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW. Mereka menambah beberapa ucapan do’a yang tidak pernah diucapkan oleh Nabi SAW pada saat melempar. Yang paling utama, hendaknya cukup dengan membaca takbir, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi tanpa di tambah dan dikurangi.
7. Mereka meremehkan atau seenaknya melempar Jumrah dengan mewakilkan kepada orang lain, padahal mereka mampu melakukannya sendiri. Mereka melakukan hal itu (mewakilkan kepada orang lain) agar terbebas dari repotnya berdesak-desakan dan kesulitan melempar. Hal ini bertentangan dengan perintah Allah Ta’ala untuk menyempurnakan Haji, sebagaimana firmannya : “Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS Al-Baqarah : 196). Seharusnya orang yang mampu melempar jumrah hendaknya melakukannya sendiri dan dapat bersabar terhadap kesulitan dan keletihan, karena ibadah haji memang merupakan jihad yang mengandung kesulitan dan pengorbanan.
THAWAF WADA
1. Mereka turun dari Mina, pada hari Nafar, sebelum melempar jumrah, untuk thawaf wada’, kemudian kembali lagi ke Mina untuk melempar jumrah lalu lengsung pulang ke negara mereka dari situ. Ini tidak boleh, karena bertentangan dengan perintah Nabi SAW bahwa saat terahir para jamaah haji adalah di Ka’bah. Orang yang melempar jumrah setelah thawaf wada’ berarti telah menjadikan saat-saat ahirnya adalah di Jumrah dan tidak di Ka’bah. Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri juga tidak pernah thawaf wada’ kecuali ketika akan meninggalkan Makkah, setelah seluruh ibadah Haji beliau selesai.
2. Mereka tetap berada di Makkah setelah thawaf wada’, sehingga saat-saat ahirnya tidak di Ka’bah. Hal ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan dan diterangkan oleh Nabi SAW kepada ummatnya dengan perbuatannya. Nabi SAW telah memerintahkan agar saat-saat ahir jamaah haji adalah di Ka’bah dan beliau sendiri tidak thawaf wada’ kecuali ketika akan meninggalkan Makkah, begitu juga para sahabat beliau melakukan. Hanya para ulama’ memberikan keringanan (membolehkan) untuk tetap berdiam di Makkah setelah thawaf wada’ kepada orang yang memang benar-benar mempunyai kepentingan yang besar, seperti: harus shalat terlebih dahulu karena qamat untuk shalat telah berbunyi, datang jenazah dan harus ikut menshalatkannya, atau ada keperluan yang berkenaan dengan perjalanannya seperti membeli barang, menunggu teman dan lain sebagainya. Adapun jika berdiam di Makkah, setelah thawaf wada’, tanpa alasan-alasan yang diperbolehkan, maka wajib baginya mengulangi thawaf wada’nya kembali.
3. Mereka keluar dari masjid setelah thawaf wada’ dengan berjalan mundur, dengan anggapan hal itu merupakan penghormatan terhadap Ka’bah. Hal ini bertentangan dengan sunnah, bahkan termasuk perbuatan bid’ah yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW dan sabda beliau : “Setiap bid’ah adalah sesat”.
4. Mereka menoleh ke Ka’bah saat sampai di pintu masjid, setelah selesai thawaf wada, dan berdo’a di sana seperti sedang mengucapkan selamat tinggal dan selamat berpisah kepada Ka’bah. Hal ini juga termasuk bid’ah, karena belum pernah tersebut dalam hadits shahih dari Nabi SAW maupun dari Khulafaur Rasyidin.


FATWA MANASIK HAJI UNTUK WANITA
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah
Daar Ibnu Khuzaimah

Segala puji milik Allah Tuhan sekalian alam. Sholawat dan salam semoga tercurahkan untuk penghulu para rasul, nabi kita Muhammad SAW. Inilah beberapa fatwa penting yang amat dibutuhkan oleh jamaah haji baik laki -laki maupun wanita yang hendak beribadah haji sesuai petunjuk agamanya. Dan kami telah mengumpulkan serta memilah fatwa-fatwa tersebut dari kumpulan fatwa Samaahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah dengan harapan akan merata manfaatnya dan akan menjadi rujukan/ panduan yang jelas bagi mereka yang tidak memungkinkan untuk memperdalam masalah hukum-hukum haji. Kami berdoa kepada Allah agar Dia membalas setiap orang yang membaca dan berpartisipasi dalam menyebarkan fatwa ini.

Ø  Wanita berihram dengan mengenakan busana muslimah biasa
Pertanyaan: Bolehkah bagi wanita untuk berihram dengan busana apapun yang ia kehendaki?

Jawab: Ya boleh, Ia boleh berihram dengan busana yang ia kehendaki, tidak ada pakaian khusus untuk ihram bagi wanita sebagaimana persangkaan sebagian orang awam. Akan tetapi yang lebih utama ia berihram dengan busana yang tidak mencolok dan tembus pandang, karena ia akan berkumpul dengan banyak orang. Maka seyogyanya pakaian ihromnya tidak tembus pandang dan mencolok tetapi yang biasa dan tidak mengundang fitnah. Seandainya ia berihram menggunakan pakaian yang mencolok maka ihramnya sah tetapi ia meninggalkan sesuatu yang lebih utama.
Adapun laki-laki yang lebih utama ialah berihram dengan dua lembar kain putih, terdiri dari sarung dan selendang. Dan jika ia berihram dengan pakaian selain warna putih maka tidak mengapa. Terdapat penjelasan dari Rasulullah SAW bahwasannya beliau memakai sorban berwarna hitam. Yang penting tidak mengapa orang laki-laki berihram dengan pakaian selain warna putih.
Ø  Wanita yang melepas pakaian ihram karena alasan haid setelah ia berniat ihram untuk umrah
Pertanyaan: Seorang wanita berihram untuk umrah lalu datang waktu haid, lalu ia menanggalkan pakaian ihramnya dan membatalkan umrahnya lalu pulang (ke negrinya), bagaimana hukumnya?

Jawab: Wanita tersebut tetap dalam keadaan ihram secara hukum, adapun ia menanggalkan pakaian ihramnya tidak mengeluarkannya dari keadaan ihram secara hukum. Dan wajib baginya untuk kembali ke Mekkah lalu menyempurnakan umrahnya dan tidak ada kaffarah (denda) baginya lantaran menanggalkan pakaian umrah serta kepulangannya ke negrinya jika perbuatannya tersebut dilakukan karena unsur ketidak tahuan. Akan tetapi jika ia telah bersuami lalu suaminya menyetubuhinya sebelum ia kembali (ke Mekkah) untuk menunaikan umrah maka hal itu akan merusakkan umrahnya. Walaupun demikian ia wajib menunaikan umrahnya tersebut, walaupun sudah rusak, lalu menggantinya dengan umrah yang lain dan bersamaan dengan itu ia terkena fidyah (tebusan) yaitu sepertujuh unta atau sepertujuh sapi atau seekor kambing yang berumur enam bulan atau satu tahun yang disembelih di Tanah Haram Mekkah lalu dibagikan kepada fakir miskin di Tanah Haram sebagai akibat rusaknya umrah karena bersetubuh. Dan bagi wanita diperbolehkan berihram dengan pakaian apapun yang ia kehendaki. Tidak ada pakaian khusus untuk berihram bagi wanita sebagaimana persangkaan orang awam, akan tetapi yang lebih utama hendaklah pakaian ihramnya tidak mencolok sehingga tidak mengundang fitnah. Wallahu a’lam.

Ø  Hukum melepas jalinan rambut wanita saat ia berihram

Petanyaan: Apakah melepas jalinan rambut atau memakai pacar di tangan atau kedua kakinya saat wanita berihram termasuk larangan ?

Jawab: Tidak mengapa dalam masalah ini. Melepas jalinan rambut tidak mengakibatkan resiko apa-apa dan tidak pula dianggap sengaja memotong rambut. Menguraikan jalinan rambut untuk dicuci atau sebab lain tidak mengapa. Yang dilarang adalah memotong rambut sebelum selesai (tahallul) dari ihramnya. Adapun melepas jalinan rambut atau membilas rambut dengan sesuatu atau menyemirnya dengan pacar dan yang semisalnya maka tidak memudharatkan. Tetapi jika ia mewarnai tangan dan kedua kakinya, hendaklah ia menutupnya dengan pakaian dari pandangan orang lain, karena (bila tidak) akan mengundang fitnah / (menarik pandangan lelaki yang bukan muhrimnya-pent).
- Seandainya ia mencampur pacar dengan sesuatu yang mirip minyak wangi (bagaimana)? Tidak boleh, minyak wangi tidak boleh, terlarang. Tetapi kalau pacar saja tanpa ada tambahan lain tidak mengapa asalkan tangan dan kaki tertutup saat thawaf, sa’i dan saat berada di tengah laki-laki.

Ø  Hukum rambut kepala yang rontok

Pertanyaan: Apa yang seharusnya dilakukan wanita yang sedang berihram jika rambut kepalanya rontok tanpa kesengajaan ?

Jawab: Jika seseorang sedang berihram baik laki-laki maupun wanita lalu ada beberapa helai rambut yang rontok saat mengusap kepala baik sewaktu berwudhu maupun mandi maka hal tersebut tidak memudharatkannya. Begitu juga jenggot, kumis, atau kuku tidak mengapa asalkan tidak disengaja. Hanya saja yang dilarang jika sengaja memotongnya, adapun sesuatu yang lepas/jatuh dengan tanpa sengaja tidaklah mengapa karena ia adalah anggota tubuh yang tidak bernyawa yang mungkin lepas saat bergerak. Wallahu a’lam.

Petanyaan: Bolehkah wanita yang sedang haid membaca buku-buku doa pada hari Arafah mengingat padanya terdapat ayat-ayat Al Quran?

Jawab: Tidak ada halangan bagi wanita haid dan nifas membaca doa-oa yang tertulis saat menjalankan ibadah haji. Dan juga tidak mengapa  membaca Al Quran menurut pendapat yang benar, karena tidak terdapat nash yang benar dan tegas yang melarang wanita haid dan nifas untuk membaca Al Quran. Hanya saja terdapat (keterangan) secara khusus bagi orang yang junub untuk tidak membaca Al Quran dalam keadaan junub, berdasarkan hadits Ali radliyaallahu ‘anhu. Adapun wanita haid dan nifas maka terdapat hadits Ibnu Umar radliyaallahu ‘anhuma : Janganlah wanita haid dan nifas membaca sesuatu dari Al Quran. Akan tetapi hadits tersebut lemah karena dari riwayat Ismail bin ’Iyasy dari kaum Hijaz, padahal ia adalah rawi yang dlaif (lemah) jika meriwayatkan dari mereka. Akan tetapi wanita yang haid dan nifas boleh membaca dalam hati tanpa menyentuh mushaf Al Quran. Adapun orang yang sedang junub tidak diperbolehkan membaca Al Quran baik dalam hati maupun langsung dari mushaf sampai ia mandi. Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa orang yang junub masanya singkat dimana kemungkinannya untuk mandi seketika setelah selesai bersetubuh dengan istrinya kapan ia mau ia bisa mandi. Dan jika tidak mungkin menggunakan air ia dapat bertayammum lalu shalat dan membaca (Al Quran).

            Adapun wanita yang haid dan nifas maka bukan kemauannya tetapi semata-mata adalah kehendak Allah Azza Wa Jalla, kapan ia suci dari haid atau nifasnya ia harus mandi. Haid membutuhkan waktu beberapa hari demikian juga nifas. Oleh karena itu dibolehkan bagi kedua golongan tersebut untuk membaca Al Quran agar tidak lupa dan tidak terlewatkan keutamaan membaca Al Quran. Juga dibolehkan untuk mempelajari hukum-hukum syariat dari kitab Allah terlebih lagi membaca buku-buku yang berisi doa-doa yang diambil dari hadits dan ayat Al Quran atau yang lainnya. Inilah yang benar dan merupakan pendapat yang paling benar dari dua perkataan  para ulama (semoga Allah merahmati mereka)  dalam masalah ini.

Ø  Hukum menggunakan tablet penunda haid

Pertanyaan: Apakah termasuk perkara yang dibolehkan bagi seorang wanita untuk menggunakan tablet penunda haid (siklus bulanan) sampai ia selesai menunaikan kewajiban haji? Dan adakah alternatif lain baginya?

Jawab: Tidak ada halangan bagi seorang wanita untuk menggunakan tablet penunda haid yang bisa menghalangi haid pada hari-hari bulan Ramadhan sehingga ia bisa berpuasa bersama kaum muslimin dan pada musim haji sehingga ia dapat thawaf bersama jamaah haji lain dan tidak tertinggal dari amalan-amalan haji. Dan jika ada selain tablet yang dapat mencegah haid maka tidak mengapa selama tidak dilarang oleh syariat dan tidak pula membahayakan.

Pertanyaan: Bagaimana wanita yang sedang haid shalat sunnah ihram dua rakaat? Dan bolehkah ia mengulang-ulang dzikir apa saja dalam hatinya ?

Jawab:
a.       Wanita yang sedang haid tidak boleh sholat sunnah ihram dua rakaat, ia bisa berihram dengan tanpa shalat. Dan dua rakaat ihram hukumnya sunnah menurut sebagian besar (jumhur) ulama, dan sebagian lagi tidak menyukainya karena tidak terdapat nash yang khusus dalam masalah ini. Jumhur ulama menganggapnya sebagai perkara sunnah berdasarkan keterangan dari Nabi Muhammad SAW............Allah Azza Wa Jalla: "Shalatlah Engkau di lembah (wadi) yang penuh berkah ini dan ucapkan عمرة في حجة" (Diriwayatkan oleh Bukhari di kitab Shahihnya), maksudnya di Waadi Al 'Aqiiq saat haji wada'. Dan terdapat keterangan dari shahabat bahwa beliau shalat lalu berihram, maka dari itu jumhur ulama menyukai jika niat ihram dilakukan setelah shalat baik shalat wajib maupun sunnah, berwudhu lalu shalat dua rakaat. Wanita yang sedang haid dan nifas tidak termasuk orang yang diwajibkan shalat, sehingga keduanya berihram tanpa diawali dengan shalat, dan juga tidak disyariatkan mengganti shalat dua rakaat tersebut.
b.      Dibolehkan bagi wanita yang haid untuk mengulang-ulang lafadh Al Quran menurut pendapat yang benar, baik di dalam hati dimana hal ini disepakati seluruh ulama. Hanya saja terdapat perbedaan pendapat apakah ia melafadhkannya atau tidak? Sebagian ulama mengharamkan hal tersebut serta menjadikan larangan membaca dan menyentuh Al Quran termasuk bagian dari hukum-hukum haid dan nifas. Dan pendapat yang benar adalah bolehnya membaca Al Quran di dalam hati tetapi bukan dari mushaf, karena tidak ada nash shahih yang melarang hal tersebut berbeda dengan orang yang sedang junub, dimana ia terlarang sehingga mandi atau bertayammum jika tidak mampu mandi sebagaimana penjelasan terdahulu.
Pertanyaan: Tidak sah lagi bahwa thawaf ifadlah merupakan rukun dari rukun-rukun haji. Jika wanita haid tidak mengerjakannya karena sempitnya waktu dan juga tidak ada waktu untuk menunggu masa suci maka bagaimana hukumnya?

Jawab: Wajib baginya dan walinya untuk menunggu sampai ia suci lalu bersuci dan melakukan Thawaf Ifadlah berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW tatkala diberitahu bahwa Shafiyyah datang bulan.................Tatkala diberitahu bahwa ia sudah melakukan Thawaf Ifadlah beliau bersabda: Berangkatlah kalian semua. Tetapi jika tidak memungkinkan untuk menunggu dan mungkin baginya untuk kembali (ke Mekkah) untuk thawaf maka boleh baginya untuk pulang lalu kembali lagi setelah suci untuk melakukan thawaf. Dan jika tidak memungkinkan atau khawatir tidak bisa kembali seperti penduduk dari negeri-negeri yang jauh dari Mekkah al Mukarramah seperti penduduk Maghrib (Maroko), Indonesia dan yang semisal dengan itu maka dibolehkan baginya untuk thawaf dengan niat haji (sambil berhati-hati agar darah haid tidak mengalir) menurut pendapat yang shahih. Dan perbuatannya tersebut dianggap memadai menurut sebagian ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Al ’Allamah Ibnul Qayyim, semoga Allah merahmati keduanya dan para ulama yang lain.

Ø  Wanita yang haid saat thawaf ifadlah tetapi tetap diteruskan karena malu

Pertanyaan: Seorang wanita berangkat haji lalu tibalah masa haidnya sejak lima hari dari tanggal keberangkatannya. Setelah tiba di miqat ia mandi dan berniat ihram sementara ia belum suci dari haidnya. Ketika tiba di Makkah al Mukarramah ia tinggal di luar Masjidil Haram dan tidak melakukan sedikitpun dari amalan haji dan umrah. Ia tinggal di Mina selama dua hari kemudian suci lalu mandi dan mengerjakan seluruh rangkaian ibadah umrah dalam keadaan suci. Kemudian ia kembali mengeluarkan darah saat sedang thawaf ifadlah waktu haji, hanya saja ia merasa malu dan tetap menyempurnakan seluruh amalan haji. Ia tidak memberitahu walinya kecuali setelah tiba di negaranya, maka bagaimana hukumnya?

Jawab: Jika kenyataannya seperti yang disebutkan penanya maka bagi wanita tersebut harus kembali ke Mekkah lalu thawaf di Ka’bah tujuh putaran dengan niat thawaf haji sebagai pengganti dari thawafnya saat haid, lalu shalat dua rakaat setelah thawaf di belakang maqam Ibrahim atau di tempat lain dalam Masjidil Haram. Dengan demikian sempurnalah hajinya dan wajib baginya menyembelih dam di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang fakir di Mekkah, jika sudah menikah dan sudah bersetubuh dengan suaminya sepulang haji. Karena wanita yang sedang berihram tidak boleh bersetubuh dengan suaminya sebelum thawaf ifadlah, melempar jumrah aqabah saat hari raya Idul Adha dan memotong rambutnya. Dan ia juga wajib sa’i antara Shafa dan Marwa jika ia berhaji tamattu’ dan belum melakukan sa’i haji. Adapun jika ia berhaji qiran atau ifrad maka tidak wajib melakukan sa’i yang kedua jika ia telah melakukannya bersamaan thawaf qudum. Dan ia juga wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas apa yang telah ia perbuat dengan melakukan thawaf saat haid, keluar dari Mekkah sebelum thawaf dan karena mengakhirkan thawaf ifadlah dalam jangka waktu yang lama. Kita memohon kepada Allah agar Ia menerima taubat wanita tersebut.

Ø   Wanita yang datang bulan sebelum Thawaf Ifadlah

Pertanyaan: Seorang wanita berhaji bersama suaminya, dan pada hari Arafah ia dikejutkan dengan datangnya haid. Dan seperti diketahui bahwa wanita yang haid dapat melakukan apa yang dilakukan oleh jamaah haji lain kecuali thawaf di ka’bah berdasarkan hadits Aisyah. Akan tetapi apakah ia tetap tinggal di Mekkah sampai thawaf ifadlah atau apa yang harus ia lakukan? Dan apa yang harus ia lakukan saat tinggal di Mekkah jika orang-orang yang bersamanya telah meninggalkan Mekkah?

Jawab: Yang wajib bagi wanita yang sedang haid atau nifas sebelum ia Thawaf Ifadlah adalah tetap tinggal di Mekkah sampai sempurna ibadah hajinya berdasarkan sabda nabi SAW tatkala diberitahu bahwa Shafiyyah sedang haid saat hari raya Idul Adha, beliau bertanya? : .....Para shahabat menjawab: Wahai Rasulallah, ia sudah melakukan thawaf ifadlah. Lalu beliau berkata: Berangkatlah kalian semua (Muttafaqun alaih). Akan tetapi para ulama menyebutkan bahwa jika seorang wanita tidak bisa menunggu sampai suci boleh baginya untuk pulang ke negerinya lalu balik lagi ke Mekkah untuk menyempurnakan hajinya berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: ”Bertakwalah kalian semua kepada Allah semampu kalian” dan sabda nabi SAW : ”Apa-apa yang telah aku larang untuk kalian semua maka jauhilah, dan apa-apa yang aku perintahkan kalian semua maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian” (Muttafaqun ’alaih).
Dan jika ia telah bersuami maka suaminya tidak boleh mendekatinya (menyetubuhinya) sampai ia kembali ke Mekkah dan menyempurnakan hajinya. Adapun thawaf wada’ maka ia gugur atas wanita yang haid dan nifas, berdasarkan hadits dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Ibnu Abbas radliyaallahu ‘anhuma beliau bersabda: Nabi memerintahkan agar akhir amalan (haji) mereka adalah dengan thawaf mengelilingi Ka'bah, hanya saja beliau meringankan bagi wanita yang sedang bulan".    Allah-lah Yang Memberi taufiq.

Ø  Wanita yang haid sebelum Thawaf Ifadlah
Pertanyaan: Jika seorang wanita haid sebelum thawaf ifadlah bagaimana hukumnya? Mengingat ia telah melaksanakan amalan-amalan haji lainnya sementara haidnya masih berlanjut sampai hari-hari Tasyriq?

Jawab: Jika seorang wanita haid atau nifas sebelum thawaf haji (ifadlah), maka yang tetap menjadi kewajibannya adalah thawaf  sampai ia suci. Apabila telah suci ia harus mandi lalu thawaf untuk hajinya walaupun beberapa hari setelah selesai haji, bahkan masuk bulan Muharram atau Shafar sekalipun. Tidak ada batasan waktu, tergantung kemudahan. Dan sebagian ulama berpandangan bahwasannya tidak boleh mengakhirkan thawaf sampai setelah Bulan Dzulhijjah, akan tetapi ini adalah pendapat yang tidak ada dalilnya, bahkan yang benar boleh mengakhirkannya. Akan tetapi bersegera untuk melakukannya jika mampu adalah lebih utama. Jika ia mengakhirkannya setelah Dzulhijjah maka dianggap cukup dan ia tidak terkena dam. Karena wanita haid dan nifas adalah termasuk orang yang memiliki udzur sehingga tidak ada halangan atas keduanya, karena tidak mungkin menghindar dalam masalah ini. Jika keduanya telah suci bisa melakukan thawaf baik di bulan Dzulhijjah maupun di bulan Muharram.

Ø   Mengumpuli istri setelah thawaf ifadlah

Pertanyaan: Apabila seorang jamaah haji selesai mengerjakan thawaf ifadlah apakah boleh baginya untuk berkumpul dengan istrinya selama hari-hari Tasyriq?

Jawab: Apabila seorang jamaah haji selesai mengerjakan thawaf ifadlah tidak halal baginya untuk mendatangi istrinya kecuali telah menyempurnakan amalan-amalan lainnya seperti melempar jumrah aqabah,mencukur atau memendekkan rambut. Dan ketika itu dihalalkan baginya wanita dan jika belum maka tidak boleh. Thawaf saja tidak cukup tetapi harus melempar jumrah aqabah pada hari Ied, demikian juga mencukur atau memendekkan rambut dan melakukan sa'i jika ia belum melakukannya. Dengan ini semua halal baginya untuk mencampuri istri, adapun tanpa ini semua tidak boleh. Tetapi jika ia telah melakukan dua dari tiga amalan haji seperti melempar jumrah dan mencukur atau memendekkan rambut maka dibolehkan baginya pakaian berjahit, wewangian dan yang semisalnya kecuali jima'. Demikian juga jika ia telah melempar lalu thawaf atau mencukur maka halal baginya wewangian, pakaian berjahit, binatang buruan, memotong kuku dan yang semisalnya, akan tetapi tidak halal baginya berjima dengan istri kecuali dengan berkumpulnya tiga perkara yaitu melempar jumrah aqabah, mencukur atau memendekkan rambut, thawaf ifadlah dan sa'i jika ia mempunyai kewajiban sa'i seperti orang yang berhaji tamattu'. Setelah ini semua barulah halal baginya (bersetubuh dengan) wanita. Wallahu a'lam.

Ø   Mewakilkan (orang lain) saat melempar jumrah

Pertanyaan: Apakah boleh mewakilkan orang yang sudah tua saat melempar jumrah karena alasan sakit atau yang semisalnya?

Jawab: Ya boleh mewakilkan orang yang sudah tua saat melempar jumrah karena alasan sakit, sudah tua atau masih terlalu kecil. Demikian pula bagi mereka yang khawatir atas keselamatan orang lain seperti wanita hamil dan yang memiliki anak kecil dimana ia tidak mendapati orang yang bisa menjaga anaknya sampai ia kembali dari melempar. Karena dikhawatirkan terjadi bahaya dan kecelakaan bagi kedua orang tersebut jika berdesakan dengan banyak orang saat melempar. Para ulama telah menentukan masalah ini dan mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Jabir radliyaallahu ‘anhu ia berkata: Kami berhaji bersama Rasulullah SAW dan ikut bersama kami wanita dan anak-anak. Maka kami pun bertalbiyah untuk anak-anak dan melempar jumrah untuk mereka. Termasuk juga argumentasi mereka dalam masalah ini adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : "Bertakwalah kalian semua sesuai kemampuan kalian" dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan " (Surat Al Baqarah:195) dan sabda nabi: "Jika aku memerintahkan kalian suatu perkara maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian" serta sabda beliau : "Tidak boleh memberikan mudharat dan tidak pula mendapatkan kemudharatan"

Ø  Hukum wanita mengenakan kaos kaki saat ihram

Pertanyaan: Aku mengenakan kaos kaki hitam yang menutupi kedua kakiku saat ihram dan akupun thawaf dengannya. Lalu ada yang mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan ihram dan aku terkena dam. Aku mohon penjelasan kepada Anda Syaikh yang mulia tentang hukum mengenakan kaos kaki saat ihram, thawaf dan shalat? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.

Jawab: Ini adalah perbuatan mulia yang perlu anda syukuri dikarenakan hal tersebut dapat menutup aurat serta menjauhkan dari sebab-sebab timbulnya fitnah. Dan yang mengatakan kepada anda bahwa anda terkena dam dalam masalah tersebut sesungguhnya telah salah dan berlebih-lebihan. Karena yang dilarang bagi wanita yang berihram adalah mengenakan kaos tangan saja. Adapun mengenakan kaos di kedua kaki bagi wanita maka tidak mengapa bahkan merupakan keharusan saat thawaf dan shalat. Dan tidak ada halangan untuk menutupi keduanya dengan pakaian yang lebar yang menutupi kedua kakinya pada saat thawaf dan shalat. Dan tidak disyaratkan kaos kakinya berwarna hitam boleh juga berwarna selain hitam dengan syarat menutup kedua kaki. Semoga Allah menganugerahkan taufiq kepada kita semua untuk mendapatkan kebenaran. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.

Ø  Apabila seorang wanita nifas pada hari kedelapan Dzulhijjah lalu suci sepuluh hari kemudian

Pertanyaan: Wanita yang nifas apabila masa nifasnya dimulai dari hari tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) dan ia sudah menyempurnakan semua rukun haji kecuali thawaf dan sa’i, hanya saja ia memperkirakan akan suci terhitung sepuluh hari lagi, apakah ia bersuci lalu mandi dan menyelesaikan rukun haji yang belum (ia kerjakan) yaitu thawaf haji?

Jawab: Ya, jika ia nifas pada hari kedelapan misalnya maka ia harus berhaji lalu wukuf bersama jamaah haji lain di Arafah dan Muzdalifah. Dan ia juga harus melakukan apa yang dikerjakan jamaah haji lain seperti melempar jumrah, memotong rambut, menyembelih hadyu dan yang lainnya. Selanjutnya yang tersisa baginya hanyalah thawaf dan sa’i yang dapat ia tangguhkan sampai suci. Jika telah suci setelah sepuluh hari, lebih atau kurang, ia mandi lalu shalat, puasa, thawaf dan sa’i. Dan tidak ada batasan minimal untuk nifas, mungkin saja seorang wanita suci dalam masa sepuluh hari atau bisa kurang atau lebih dari itu, tetapi batas maksimalnya adalah empat puluh hari. Jika telah sempurna empat puluh hari sementara darah belum terhenti maka ia teranggap sudah suci. Ia harus mandi, sholat, puasa sementara darah yang masih tersisa menurut pendapat yang benar adalah darah rusak. Ia dapat shalat walaupun masih ada sisa darah, berpuasa dan halal bagi suaminya untuk menggaulinya, tetapi hendaknya ia berusaha untuk menahan darah dengan kapas atau yang semisalnya dan berwudlu setiap akan shalat serta tidak mengapa baginya untuk menjama’ shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya sebagaimana nabi SAW telah berwasiat kepada Hamnah binti Jahsy tentang hal itu.

Ø  Hukum wanita yang sedang haid berihram untuk umrah

Pertanyaan: Seorang wanita bertanya sambil bercerita: Ia pernah terkena udzur yaitu haid, sementara keluarga mengajaknya pergi umrah, jika tidak ikut ia akan sendirian di rumah. Lalu ia pun pergi umrah bersama mereka. Ia menyempurnakan semua syarat umrah seperi thawaf, sa’i seakan-akan ia tidak dalam keadaan haid. Hal itu karena tidak mengerti dan rasa malu untuk memberitahu walinya tentang masalah itu terlebih lagi ia seorang yang buta huruf tidak mengenal baca tulis. Apa yang wajib baginya?

Jawab: Jika ia berihram untuk umrah bersama keluarga maka wajib baginya untuk mengulang thawaf setelah mandi dan mengulang potong rambut. Adapun sa’i dianggap mencukupi menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat ulama. Dan jika ia mengulang sa’i setelah thawaf tentu lebih baik dan lebih berhati-hati. Dan ia harus bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena thawaf, sa’i dan shalat sunah thawaf dua rakaat dilakukan dalam keadaan haid.
Jika ia telah bersuami tidak halal bagi suaminya untuk menggaulinya sampai ia menyempurnakan umrahnya. Dan jika suami sudah terlanjur menggaulinya sebelum ia menyempurnakan umrahnya maka ia terkena dam yaitu seekor kambing berumur enam bulan atau satu tahun yang disembelih di Mekkah untuk orang-orang fakir. Selain itu ia juga wajib menyempurnakan umrahnya sebagaimana yang telah kami sebutkan baru saja. Ia juga harus mengerjakan umrah yang lain dari miqat dimana ia berihram saat umrah pertama sebagai pengganti umrahnya yang telah rusak. Jika saat ia thawaf dan sa’i bersama keluarga tersebut karena sungkan dan malu sedang ia tidak berihram untuk umrah dari miqat, maka tidak ada kewajiban baginya kecuali bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena umrah dan haji tidak sah tanpa ihram, sedang ihram sendiri adalah berniat umrah atau haji atau keduanya sekaligus.
TANYA JAWAB HAJI
Kapankah jatuhnya kewajiban haji itu bagi seorang Muslim ?
Jawab :
Memang dalam setiap ibadah termasuk ibadah haji salah satu syaratnya adalah niat yang ikhlas, yaitu berniat hanya untuk Allah semata. Sebab kalau ibadah itu tak diiringi niat karena Allah swt maka ibadahnya itu tak akan diterima di sisi Allah swt.Allah swt berfirman, ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya... ” (Al-Bayyinah: 5). Adapun secara spesifik terdapat syarat-syarat dalam ibadah haji adalah, Islam, berakal, baligh, merdeka dan mempunyai kesanggupan atau kemampuan secara fisik, finansial dan aman dalam perjalanan. Allah swt berfirman, ”...Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah...” (Al-Imran: 97). Maka apabila sudah terpenuhi syarat-syarat di atas sejatinya seorang Muslim segera menunaikan ibadah haji sebelum maut menjemput. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda, “Bersegeralah kalian dalam menunaikan haji-yakni haji wajib-, karena seseorang tak tahu apa yang akan menimpa dirinya” (HR Ahmad dan Abu Dawud) . Para ulama bahkan bersepakat bahwa ketidak mampuan seseorang yang didahului dengan kemampuan untuk mengerjakan haji tidak akan menggugurkan kewajiban haji seseorang.Jadi dianjurkan manakala seorang Muslim telah memenuhi syarat untuk berhaji maka sebaiknya segera ditunaikan sambil berusaha untuk meniatkannya karena Allah swt.Wallahua'lam
Bagaimana hukumnya mengenai acara Waliimatussafar (Ratiban) yang dilaksanakan sebelum berangkat menunaikan ibadah haji, apakah Rasulullah juga melakukan hal demikian ?
Jawab :
Waliimatussafar berasal dari akar kata Waliimah yang berarti jamuan atau pesta dan Safar yang berarti perjalanan. Dengan demikian kata Waliimatussafar berarti jamuan atau pesta bagi orang yang hendak melakukan perjalanan jauh. Dalam kaitannya dengan ibadah haji maka sebenarnya Rasulullah tak pernah melakukan acara Waliimatussafar secara khusus, dan jika berkeyakinan bahwa acara Waliimatussafar ini merupakan rangkaian dari ibadah haji maka itu mengada-ngada (bid’ah). Apalagi kalau acara Waliimatussafar akan merusak ibadah haji itu sendiri seperti mengurangi keikhlasan, padahal ikhlas itu ruhnya ibadah. Pasalnya tak sedikit orang ingin menggelar acara Waliimatussafar hanya untuk tujuan tak seharusnya seperti agar nantinya ia disebut pak/ibu haji, sehingga terjebak dalam perbuatan Riya. Namun demikian kalau acara Waliimatussafar ini sebagai bagian dari rangkaian adab-adab safar (melakukan perjalanan jauh) dan bukan bagian dari rangkaian ibadah haji maka itu malah dianjurkan.
Dalam kontek pertanyaan Anda ini Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Iidhaah telah merinci adab-adab safar itu yang antara lain: sebelum berangkat meninggalkan rumah dianjurkan untuk shalat dua rakaat dimana pada rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun dan pada rakaat kedua membaca Al-Ikhlas, kemudian setelah salam membaca ayat Kursi, surat Al-Quraisy, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas yang dilanjutkan dengan berdo’a agar urusannya dimudahkan.
Adab safar lain yang disebutkan Imam Nawawi adalah: hendaknya ia mengucapkan wada’ (pamitan) terhadap keluarga, para tetangga dan para teman dekatnya. Tujuannya adalah untuk meminta maaf terhadap mereka dan agar mereka mendo’akannya.
Begitu pula Imam Nawawi menyebutkan adab-adab kepulangan dari safar, di antaranya: ketika tiba di rumah dianjurkan agar menuju mesjid terdekat untuk kemudian shalat dua rakaat, dan demikian juga apabila masuk ke rumah dianjurkan untuk shalat dua rakat lalu berdo’a dan memanjatkan rasa syukur kepada Allah swt. Adapun niatnya adalah tanpa perlu mengucapkannya dengan lafal-lafal khusus yang berbahasa Arab, tapi cukup berniat di hati saja tanpa perlu dilafalkan. Jadi shalat dua rakaat sepulang ibadah haji bukanlah sunah haji tetapi bagian dari adab safar saja.
Kesimpulannya adalah jika Waliimatussafar itu dianggap sebagai rangkaian ibadah haji dan menimbulkan efek negatif seperti riya maka itu sama sekali tak dibenarkan, tapi jika muatan Waliimatussafar itu ternyata merupakan pengamalan dari adab-adab safar maka itu dianjurkan. Wallaahua'lam
Bagaimana hukumnya seorang muslimah pergi haji tanpa disertai mahrom ?
Jawab :
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum Muslimah berhaji wajib tanpa mahram. Dr. Yusuf Qardhawi dan Syaikh Athiyyah Shaqr, mantan Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar, membolehkannya jika ia ditemani orang yang amanah, atau Muslimah itu merasakan aman dalam perjalanannya baik ketika pergi maupun pulang, atau bersama dengan sebuah lembaga terpercaya yang mengkoordinir perjalanan haji itu. Pasalnya, pengharaman tanpa mahram itu karena saddan adz-dzarai, yaitu upaya preventif atau kuatir atas kondisi wanita. Dan jika kekuatiran atas keselamatan wanita atau fitnah yang akan menimpa wanita itu tidak ada, maka boleh baginya pergi haji tanpa mahram. Memang asal hukum berpergian bagi wanita itu tak boleh sendirian, tapi ia harus ditemani suaminya atau mahramnya. Nabi saw bersabda, ”Seorang wanita tak boleh berpergian kecuali dengan mahramnya...”, (HR Bukhari). Hadits lainnya, ”Tak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berpergian dengan jarak tempuh sehari semalam tanpa ditemani mahramnya”, (HR Malik, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah). ”Seorang wanita tak boleh berpergian jarak tempuh dua hari tanpa suaminya atau mahramnya”, (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Said). Dari Ibnu Umar, ”Tak boleh (wanita) berpergian tiga hari kecuali dengan mahramnya”. (HR Bukhari dan Muslim)
Itulah hadits-hadits yang terkait dengan tidak bolehnya wanita berpergian tanpa disertai suami atau mahramnya. Kendati demikian, Ibnu Daqiq Al-Ied menyebutkan bahwa Qadhi Abi Al-Walid Al-Yaji, ulama dari mazhab Maliki, mengecualikan wanita tua yang tak diinginkan lagi (untuk dinikahi). (Fathul Baari, Jilid 4, h. 447). Al-Atsram meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa Mahram itu bukan syarat dalam haji wajib. Menurut Al-Auzai, (muslimah) boleh bersama dengan jamaah orang-orang terpercaya. Sementara Malik mengatakan, (boleh) bersama dengan jamaah perempuan. Syafi'i mengatakan, bersama Muslimah lainnya yang terpercaya. Ulama-ulama Syafiiyah berpendapat, boleh sendirian jika aman. (Al-Furuu, Jilid 3, h. 235-236). Bahkan mazhab Maliki membolehkan seorang wanita berhaji ikut rombongan laki-laki atau campuran antara laki-laki dan wanita, tapi syaratnya mereka dapat dipercaya alias amanah, artinya tak akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Dalil mazhab Syafi'i dan Maliki adalah makna ayat... “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah...” (Ali 'Imran: 97). Makna ayat ini masih global, artinya tanpa disebutkan apakah harus bersama suaminya atau mahramnya, yang penting ia sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Karena itu kalau seorang wanita terhindar dari kerusakan atau hal-hal tak diinginkan dalam pelaksanaan haji maka ia wajib berhaji.
Perlu diperhatikan bahwa kebolehan dari mazhab Syafi'i dan Maliki hanya untuk perjalanan ibadah wajib, seperti haji wajib, adapun untuk perjalanan yang sifatnya tak mendesak dan masih ada alternatif lain maka kedua mazhab itu tetap mengharuskan disertai mahram.  Wallaahua'lam
Pantaskah Seorang Muslim Berhaji Tapi Ibadahnya Bolong-Bolong ?
JAWAB :
Minimal dalam sebuah ibadah, termasuk ibadah haji, ada dua syarat agar ibadah itu diterima di sisi Allah yaitu, ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah saw. Ikhlas artinya bahwa seseorang beribadah karena Allah semata bukan karena ingin dipuji orang atau karena tujuan lainnya. Allah swt berfirman, ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya... (Al-Bayyinah: 5). Jadi, shalat yang masih bolong-bolong bukanlah penghambat atau penghalang ibadah haji , artinya meski shalat masih bolong-bolong maka hajinya tetap sah. Namun perlu diketahui bahwa salah satu tanda haji yang mabrur adalah manakala seseorang setelah berhaji akan semakin taat kepada Allah swt.
Terakhir yang harus di ketahui adalah, meninggalkan shalat wajib yang lima waktu termasuk dosa besar dan harus segera bertobat. Bahkan para ulama menganggap orang yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja tanpa ada uzur syar'i apapun maka ia telah keluar dari agama Islam alias kafir. Wallaahua'lam
Sudah niat haji tetapi kemudian meninggal dunia.Apakah niat orang itu untuk berhaji akan diterima Allah, dan apakah Allah juga akan memberikan pahala haji bagi orang itu ?
JAWAB :
Yang Anda tanyakan sebenarnya berkaitan dengan masalah niat ibadah atau amal saleh yang tak sempat direalisasikan. Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah saw pernah bersabda, Dari Abi Al-'Abbas Abdillah bin Abbas bin Abdi Al-Muthallib ra, dari Rasulullah saw seperti yang ia riwayatkan dari Rabbnya Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, beliau mengatakan bahwa Allah Yang Maha Tinggi telah menuliskan amalan-amalan baik dan tercela, lalu ia menjelaskan, maka barangsiapa berkeinginan (berniat) dengan sebuah amalan baik kemudian ia tak mengerjakannya, maka Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi menuliskannya di sisi-Nya sebagai sebuah kebaikan yang sempurna. Dan jika berkeinginan atas amalan (baik) itu lalu ia mengerjakannya maka Allah menuliskan di sisi-Nya sepuluh hingga tujuh ratus kali dan lipatan ganda kebaikan. Jika ia berkeinginan terhadap sebuah kejahatan serta tak mengerjakannya maka Allah Yang Maha Tinggi menuliskannya di sisi-Nya sebagai sebuah kebaikan yang sempurna, dan jika ia berkeinginan atas amalan (jahat) itu lalu ia mengerjakannya maka Allah menuliskannya sebagai sebuah kejahatan. (HR Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits di atas maka dengan niat haji itu ia akan mendapat pahala kebaikan di sisi Allah. Kendati demikian tentunya ia tak akan mendapatkan pahala haji, pasalnya ia belum mengerjakan amalan haji.Wallahu'alam
Berhaji dan Masih Memiliki Hutang , atau berhaji dengan uang pinjaman ?
JAWAB :
Sekali lagi bahwa haji diwajibkan atas Muslim yang memiliki Istitha’ah (kesanggupan), hal ini didasarkan pada firman Allah SWT  : ”…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(Ali ‘Imran: 97). Yang dimaksud dengan kesanggupan itu adalah tersedianya perbekalan (seperti ongkos) untuk mengantarkannya ke Baitullah dan tersedianya dana untuk menutupi kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya selama ia menunaikan haji, seperti kewajiban melunasi hutang, cicilan motor dan kebutuhan primer sehari-hari lainnya. Dan tak diperbolehkan menunda pembayaran hutang yang harus segera dilunasi jika memang ia mampu melunasinya, terlebih si pemberi pinjaman membutuhkan uang tersebut, karena perbuatan itu termasuk menzalimi pihak lain. Kemudian perlu diketahui bahwa pada dasarnya pelunasan hutang merupakan hak hamba dan pelaksanaan ibadah haji merupakan hak Allah, dalam hal ini pemenuhan hak Allah seperti haji ini lebih luas waktunya ketimbang pemenuhan hak hamba berupa hutang piutang yang terkadang harus segera dipenuhi. Maka wajarlah ketika Sahabat Nabi Abdullah bin Aby Aufa bertanya kepada Nabi SAW tentang seorang yang belum berhaji, “Apakah dia berhutang ? Nabi SAW menjawab: Tidak! ( H.R.Al-Baihaqy ).
Jika seseorang berangkat haji tetapi mengakibatkan kewajiban pelunasan hutang menjadi terganggu, maka ia berdosa karena ia telah menzhalimi pihak lain, namun demikian hajinya tetap sah. Kalau ada orang yang berhutang kepada tetangga-tetangganya kemudian mau pergi haji, maka seharusnya ketika akan berangkat haji maka ia wajib meminta izin terlebih dahulu ke tetangga-tetangga yang dihutanginya. Jika ia diizinkan maka boleh baginya untuk berangkat haji dengan syarat ia yakin sepulangnya dari haji dapat melunasi hutang itu, jika tidak yakin maka sebaiknya ia mununda keberangkatannya, jika masih juga memaksakan untuk berangkat maka hajinya tetap sah namun ia berdosa karena telah menzalimi tetangga-tetangga yang dihutanginya dengan tidak segera melunasi hutang-hutangnya itu.Wallahua’alam
Badal haji untuk orang yang sudah meninggal dan syarat-syaratnya ?
JAWAB :
Status haji salah puteranya itu tergantung niat si bapak, sebab segala amalan, termasuk ibadah haji, tergantung niatnya. Kalau niatnya untuk diri sendiri maka hajinya sah dan jika niatnya untuk orang lain (badal haji) maka ini berkaitan dengan syarat-syarat orang yang berhak menggantikan ibadah haji orang lain. Syarat-syarat orang yang menggantikan haji orang lain adalah: Baligh dan waras (mukallaf), pernah berhaji untuk dirinya (tak mesti dua kali), hendaknya ia berniat dengan mengucapkan “Saya berniat Ihram atas nama si Fulan”. Namun demikian, mazhab Hanafi tak mensyaratkan agar orang yang menggantikan haji orang lain itu pernah berhaji terlebih dahulu, alasannya dalil tentang kebolehan badal haji bersifat umum tanpa disebutkan apakah ia pernah berhaji atau belum. Menurut mereka, hukum orang yang menggantikan haji orang lain sedang ia sendiri belum berhaji adalah makruh tahrim (yaitu tingkatan makruh tertinggi). Adapun dalil diperbolehkannya badal haji adalah dari Ibnu Abbas dan yang lainnya, Seorang wanita dari Juhainah mendatangi Nabi saw dan berkata, sesungguhnya ibuku telah bernazar hendak berhaji, namun tak juga berhaji sampai ia meinggal, apakah saya berhaji untuknya? Beliau menjawab, Ya… (HR. Jamaah). Dan masih ada lagi hadits-hadits lainnya yang intinya membolehkan badal haji. Wallahua'lam.
Hukum Umrah Berkali-Kali ketika Haji dan di Luar Haji
JAWAB :
Dalam hidupnya Rasulullah hanya menunaikan 4 kali umrah yaitu umrah Hudaibiyah pada tahun ke-6 H, umrah berikutnya pada tahun ke-7 H, umrah Ji'ranah tahun ke-8 H dan umrah ketika beliau berhaji, yang menurut pendapat paling kuat Rasulullah berhaji dengan cara Qiron, yaitu berihram untuk haji dan umrah sekaligus atau berihram untuk umrah saja lalu memasukkan niat haji sebelum Tawaf. Maka jelaslah bahwa ketika berhaji Rasulullah hanya sekali berumrah.
Adapun hukum umrah berkali-kali, baik di bulan-bulan haji atau di luar bulan haji, menurut mayoritas ulama hukumnya sunah, dasarnya adalah: Dari Abi Hurairah r.a., bahwa Nabi saw bersabda, "Dari umrah ke umrah lainnya adalah penebus dosa (kaffaarah) di antara keduanya...".(H.R Buhkari dan Muslim). Dalam kitab Al-Majmu' Imam Nawawi mengatakan, dua atau tiga kali atau lebih umrah dalam setahun atau dalam sehari taklah dimakruhkan, bahkan tanpa diragukan lagi, dalam pandangan kami (mazhab Syafi'I) memperbanyaknya disunnahkan. Menurut Ash-Shan'ani dalam Subulus Salaam mengatakan, sabda Nabi saw Dari umrah ke umrah lainnya merupakan dalil berulang-ulangnya umrah, dan itu tak makruh dan tak dibatasi waktu. Perlu diketahui bahwa mereka yang mengatakan bahwa makruh melakukan umrah berkali-kali dalam satu tahun, maka kemakruhan ini, menurut mereka, akan hilang manakala ia beberapa kali memasuki kota Mekkah dari arah di mana di sana ada miqot ihram.Wallahua'alam
Anak Bernazdar Menghajikan Orang Tua Tapi Belum Pernah Berhaji ?
JAWAB :
Ibadah haji hukumnya wajib 'Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap individu Muslim. Karena itu, manakala seorang Muslim telah memiliki semua persyaratan untuk menunaikan ibadah haji, maka dirinyalah yang lebih dahulu terkena kewajiban itu, bukan orang lain.
Jadi, memang sebaiknya anak lebih dahulu berhaji ketimbang orang tua. Pasalnya, yang sebenarnya telah terkena kewajiban haji itu adalah anaknya sendiri bukan orang tua. Selain itu, hukum fiqih tak menyebutkan siapa yang wajib diutamakan dalam berhaji antara anak dengan orang tuanya, artinya tidak perlu mendahulukan orang tua dalam melaksanakan haji ketimbang diri sendiri. Demikian juga dalam kaidah ushul fiqih dikenal dengan kaidah Laa Itsaara fi al 'Ibaadah. Maksudnya “Tidak perlu mendahulukan orang lain dalam hal Ibadah”. Namun demikian, jika anak tersebut berjanji untuk menghajikan ibunya bila dia sudah bekerja misalnya, maka dalam kondisi ini anak harus dan wajib menghajikan orang tua, dan inilah yang dinamakan dengan Nadzar. Allah swt berfirman, ”...dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka... (Al-Hajj: 29).Jadi kesimpulannya, anak tersebut wajib dan harus memberikan biaya naik haji untuk orang tua meski dia belum naik haji, karena itu berkaitan dengan nadzar .Wallaahua'lam
Haji Tamattu, Ifrad, atau Qiran?
JAWAB :
Secara sederhana pengertian dari 3 macam cara manasik haji di atas adalah sebagai berikut : Pertama, Ifrad adalah berihram untuk haji saja pada waktu haji. Kedua, Qiran adalah berihram untuk haji dan umrah sekaligus atau berihram untuk umrah saja lalu memasukkan niat haji sebelum Tawaf. Dan ketiga, Tamattu’ yaitu mengerjakan umrah pada bulan-bulan haji kemudian setelah itu mengerjakan haji.
Pada dasarnya bagi jemaah dibolehkan untuk menggunakan salah satu dari 3 macam cara di atas, hal itu ditegaskan oleh hadits, Dari Aisyah ra berkata, kami pergi bersama Rasulullah saw di tahun haji Wada. Di antara kami ada yang berniat ihram untuk umrah, ada yang berniat ihram untuk haji dan umrah dan ada pula yang berniat ihram untuk haji dan Rasulullah saw sendiri berniat ihram untuk haji. Adapun yang berniat ihram untuk umrah maka ia dalam keaadaan halal pada hari sampainya, dan adapun yang berniat ihram untuk haji atau menggabungkan antara haji dan umrah maka ia tak dalam keadaan halal sampai hari Nahar. (HR Ahmad, Bukhari, Muslim dan Malik). Namun dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi saw telah menyuruh kepada orang yang tidak membawa binatang sembelihan agar menjadikan niat hajinya dirubah untuk umrah dan bertahallul serta bertamattu sampau melakukan ihram untuk haji. Sabda beliau, “Jika tidak karena binatang sembelihanku, tentu aku menghalalkan diriku sebagaimana yang kalian lakukan…” (HR Muslim). Jadi berdasarkan hadits itu Nabi saw menjelaskan bahwa beliau tak melakukan Tamattu karena beliau membawa binatang sembelihan. Ringkasnya, berdasarkan hadits ini, haji selain Tamattu diperuntukkan bagi mereka yang membawa binatang sembelihan.Wallahua’lam
Jika sudah haji tetapi sifat buruk tidak berubah, apakah hajinya mabrur ?
JAWAB :
Nabi saw bersabda, Dari Abi Hurairah ra, ia mengatakan: Rasulullah saw bersabda, “Haji yang mabrur itu tak ada ganjarannya selain dari surga… (HR Muslim, Ahmad dan An-Nassai). Haji yang mabrur artinya haji yang diterima di sisi Allah, karenanya Allah akan memberi dia Al-Birru, artinya pahala. Seseorang akan dapat meraih haji mabrur manakala hajinya itu tak dikotori dengan perbuatan-perbuatan dosa. Dengan demikian orang yang menginginkan haji mabrur maka hendaknya meluruskan niat hajinya itu terlebih dahulu, yaitu karena Allah bukan karena lainnya, seperti agar dapat dipanggil bapak/ibu haji, demi popularitas, atau tujuan duniawi lainnya. Dengan demikian mabrur tidaknya seseorang tak dapat dipastikan dari kaca mata manusia, karena itu hanya Allah saja yang mengetahuinya. Namun demikian, kita dapat berusaha untuk meraih gelar mabrur itu, diantaranya niat yang ikhlas, haji dari uang yang halal dan bersih serta tak mengandung unsur syubhat, mengerjakan semua amalan sunah dan akhlak dalam berhaji seperti tak mencaci, berbantah-bantahan dan berkata-kata keji. Memang indikasi mabrur atau tidaknya seseorang dalam berhaji dapat terlihat dalam kesehariannya pasc ahaji, seperti menunaikan kewajiban-kewajiban dan sunah agama, berakhlak mulia, banyak bertaubat, beristigfar dan amalan kebaikan lainnya. Namun kepastian mabrur tidaknya tetap hanya Allah saja yang Maha Mengetahui. Wallahua’lam
Bagaimana prioritas haji antara suami dan istri ?
JAWAB :
Prioritas haji antara suami dan istri dalam sebuah keluarga dapat dijelaskan sebagai berikut : pertama, kalau dana itu hasil usaha atau harta si suami maka si suami sama sekali tak diwajibkan untuk menghajikan si istri, pasalnya kewajiban si suami hanyalah memberikan nafkah kepada istrinya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan primer lainnya. Kendati demikian si suami dapat saja menghajikan istrinya sebagai bentuk cinta kasih terhadapnya, tentu ini kalau si suami mempunyai cukup dana dan menginginkan istrinya berhaji. Tapi kalau hanya memiliki dana cukup untuk dirinya saja, maka bagi si suami sudah wajib haji. Kedua, bila dana itu dari hasil usaha/atau harta si istri, maka si istri lebih berhak untuk menunaikan ibadah hajinya terlebih dahulu. Ketiga, sebenarnya prioritas dalam berhaji itu dapat ditentukan dan dirundingkan sesuai situasi dan kondisi keluarga Anda, dan langkah ini lebih bijak dan tak menimbulkan keretakan antara suami-istri.  Wallahua’lam
Badal Haji bagi Orang Uzur
JAWAB :
Perlu diketahui bahwa Badal haji bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah tiada, tapi Badal haji juga berlaku bagi mereka yang ditimpa sakit dan didera uzur. Hal ini sesuai hadits Rasulullah saw, Dari Abdullah bin Abbas ra, ia berkata, Fadhal berkendaraan dengan membonceng Rasulullah. Tiba-tiba datanglah seorang wanita dari Khats’am. Fadhal melihat kepadanya demikian pula wanita itu melihat kepada Fadhal. Maka Rasulullah pun memalingkan muka Fadhal ke arah lain sementara Wanita itu bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, Allah mewajibkan haji atas hamba-hamba-Nya dan kebetulan ayahku telah sangat tua renta hingga tak sanggup lagi berkendaraan, maka apakah saya berhaji untuknya?” Beliau menjawab, “Boleh”. Dan peristiwa itu ketika haji Wada’. (HR Bukhari).Wallahua’lam
Apa saja yang harus dipersiapkan sebelum berangkat Haji ?
JAWAB :
1. BARANG BAWAAN
Sebaiknya sebelum berangkat inventarisasikan dulu barang-barang yang akan dibawa. Sebenarnya masing-masing orang akan mempunyai kepentingan yang berbeda berkaitan dengan barang yang akan dibawanya. Kendati demikian berikut ini perlengkapan standard dan pada umumnya dibutuhkan oleh setiap jemaah haji, yaitu :
Pakaian. Jika Anda pergi saat musim panas maka siapkan pakaian yang terbuat dari bahan yang tipis dan dapat menyerap keringat. Pilihlah warna putih atau warna terang agar tak menyimpang panas. Hindarkan warna hitam. Begitu sebaliknya, jika di musim dingin maka siapkan pakaian penghangat dan selimut.
Bagi jemaah pria pakaian yang diperlukan adalah, beberapa potong baju kemeja tangan panjang, beberapa potong oblong (T-Shirt bahan katun), beberapa potong celana bahan katun, pakaian dalam dan kaos kaki secukupnya, pakaian tidur dan handuk kecil, baju hangat atau jaket untuk di dalam pesawat. Bagi jemaah wanita adalah, beberapa potong bajau/blouse tangan panjang, beberapa baju kurung berleher/lengan panjang, beberapa potong celana yang panjang longgar, satu-dua potong pakaian tidur, pakaian dalam secukupnya, beberapa kaos kaki, 3 potong mukena pendek, 4 potong tutup kepala dari katun, satu jaket untuk di pesawat. Semua pakaian di atas sebaiknya diberi nama agar tak tertukar ketika dijemur di pemondokan Mekah atau di Medinah. Jangan bawa pakaian terlalu banyak sebab akan memberatkan.
Mandi dan Cuci. Bawalah perlengkapan mandi dengan merek seperti yang biasa dipakai sehari-hari di tanah air. Adapun perlengkapan mandi dan mencuci yang harus dipersiapkan adalah, tas atau kotak sabun, sabun mandi, sabun cuci, sabun colek, sabun serbuk, sikat gigi dan odol, shampoo, handuk, parfum/deodoran, gunting kuku, pisau cukur (bagi pria), dan gayung. Saat berada di asrama haji atau di tanah suci perlengkapan mandi dan mencuci ini sangat dibutuhkan, begitu pula saat beradad di bandara udara Jeddah.
Makanan. Pihak Depag atau Biro Haji telah menyiapkan makanan untuk jemaah haji, bahkan ketika tiba di Bandara King Andul Aziz makanan bagi jemaah telah disiapkan. Untuk mendapatkan makanan siap saji selama di tanah suci, tidaklah sulit karena banyak di jual di sana. Selain itu, makanan juga disediakan pada saat tertentu, seperti saat wuquf di Arafah, mabit di Mina atau di Muzdalifah. Kalau mungkin, bawalah makanan jadi yang bisa tahan lama, seperti rending, dendeng, sambal teri, serundeng dan lain-lain. Sebenarnya pemerintah Arab Saudi melarang membawa makanan jadi ini. Namun pada kenyataannya hampir semua jemaah membawa bekal tersebut tetapi toh tak ada masalah.
Masak Sendiri. Anda juga boleh memasak sendiri. Bahan-bahannya banyak tersedia dan mudah didapat, selain itu lebih irit. Yang agak repot barangkali mengenai kompor dan perabotan masak lainnya. Maka kalau memang mau praktis, belilah rice cooker multi fungsi yang bisa memasak nasi dan bisa memasak sayur atau gulai. Rice cooker jenis banyak dijual di Saudi.
Obat-Obatan. Batuk, flu, pilek, infeksi kerongkongan dan sariawan adalah penyakit yang paling sering menyerang jemaah. Maka bawalah obat-obatan yang biasa dikonsumsi. Bagi calon jemaah haji yang menderita penyakit tertentu, sebaiknya menyiapkan obat-obatan seperti yang disarankan oleh dokter dalam jumlah yang cukup. Vitamin atau multi vitamin sebaiknya disiapkan juga. Adapun obat-obatan yang biasanya dibutuhkan di tanah suci adalah, obat batuk, obat flu dan pilek, obat diare, obat kumur, obat luka, plester, krem pelindung kulit, pelembab bibir, minyak gosok, obat tetes mata dan obat penunda menstruasi. Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya pelayanan medis itu telah tersedia baik dari pihak Depag, atau Biro Haji atau pemerintah Saudi.
Keperluan Sehari-Hari, yaitu perlengkapan yang harus disiapkan untuk melakukan perjalanan harian di tanah suci, seperti ke masjid, ke pasar atau ziarah. Ini perlu demi kenyamanan Anda. Perlengkapan itu adalah, handuk kecil, kaca mata hitam, kantong kain, masker, sandal jepit, semprotan air, sepatu kets tipis, buku dan alat tulis yang mencakup (Al-Qur'an kecil, buku do'a dan zikir, buku manasik haji, buku notes, spidol), uang bekal tambahan, koper yang agak berbeda dari koper yang dibagikan pihak Depag atau Biro Haji agar mudah dicari, dan tas tenteng untuk di cabin pesawat, dan kamera atau handy cam. Adapun buku panduan yang diberikan Depag saya kira cukup untuk dijadikan rujukan Anda, tapi kalau Anda memandangnya kurang praktis dn terlalu menjlimet Anda dapat mencari buku panduan lainnya yang menurut Anda lebih mudah dipahami.
2. MENTAL DAN SPIRITUAL
Pertama yang dilakukan adalah niat yang benar, artinya menunaikan haji harus karena Allah, bukan karena prestise, karena sesungguhnya segala amalan itu tergantung niatnya. Kedua, beristikharah dalam memilih biro perjalanan haji yang sesui dengan tuntunan Rasulullah. Ketiga, minta maaf dan membebaskan diri dari hak-hak orang lain sebelum keberangkatan. Keempat, meminta restu kepada orang tua untuk mendapatkan keberkahan. Kelima, menulis wasiat tentang apa saja yang menjadi haknya dan yang menjadi kewajibannya, karena umur manusia merupakan rahasia Allah. Keenam, mempelajari tata cara haji dan umrah secara intensif, hal ini tak lain agar dalam melakukan haji berjalan lancar dan tak ragu serta sesui dengan tuntunan Nabi saw agar ibadahnya sah serta diterima di sisi Allah swt. Ketujuh, taubat dengan tulus, hal ini dimaksudkan agar menjadikan perjalanannya menuju Baitullah merupakan perjalanan Rabbani yang penuh keberkahan. Kedelapan, memilih teman yang baik. Kesembilan, pamitan terhadap keluarga dan handai taulan. Wallahua'lam
Bagaimana hukumnya ikut program PHK agar dapat berhaji ?
JAWAB :
Pada dasarnya ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka yang telah memiliki kemampuan. Ini ditegaskan oleh firman Allah swt, ”…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(Ali ‘Imran: 97).Maka wajarlah ketika Sahabat Nabi Abdullah bin Aby Aufa bertanya kepada Nabi SAW tentang seorang yang belum berhaji, “Apakah dia berhutang? Nabi SAW menjawab: Tidak! ( H.R.Al-Baihaqy ).
Berkaitan dengan kasus karyawan yang mengajukan permohonan untuk di-PHK agar dapat uang pesangon yang besar yang nantinya dipergunakan untuk berhaji maka itu merupakan hak-nya. Hanya saja hal itu jangan sampai menyengsarakan yang orang menjadi tanggungannya, seperti anak dan istri. Sebab, menafkahi keluarga hukumnya wajib dan lebih utama ketimbang berhaji. Kemudian Allah tidak menuntut dari kita di atas kesanggupan kita.
Tapi kalau memang dia menjamin setelah di-PHK akan dapat pekerjaan pengganti, apalagi sudah mempunyai pengalaman kerja cukup banyakh, maka itulah yang seharusnya dilakukan dan dia tak termasuk orang yang menzalimi keluarga serta insya Allah sah haji-nya. Namun perlu diperhatikan, sebaiknya direncanakan segala sesuatunya dengan matang sehingga tak mengakibatkan kemadharatan. Memang sebaiknya haji ditunaikan sesegera mungkin, hal ini pernah ditegaskan oleh Nabi saw, ”Barangsiapa yang hendak berhaji maka bersegeralah, karena mungkin ia ditimpa sakit, hilang kendaraan atau ada keperluan lainnya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Baihaqi dan Ad-Darimi).Kendati demikian, perintah menyegerakan itu bagi orang yang telah memiliki kemampuan. Adapun bagi orang yang belum mempunyai kesanggupan maka ia tak dituntut untuk segera berhaji, lalu jika orang yang belum mempunyai kemampuan itu meninggal sedang belum berhaji insya Allah ia tak berdosa.Wallahua’lam
Istri pergi haji tanpa izin suami ?
JAWAB :
Pada prinsipnya ketika si istri hendak berhaji maka ia harus meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Tapi, jika hajinya si istri itu sifatnya wajib, seperti haji untuk pertama kali, maka ia berhak untuk tetap pergi meski tak diizinkan oleh suaminya. Pasalnya, haji itu hak Allah dan merupakan kewajiban agama. Memang mentaati suami itu wajib, tapi mentaati Allah itu lebih wajib lagi. Kendati demikian, ketika ia berhaji maka ia harus didampingi mahramnya (orang yang haram dikawininya) atau dengan kelompok wanita yang dapat dipercayai serta amanah. Jadi, kalau memang hajinya itu sifatnya wajib, maka itu tetap sah meski tanpa seizin si suami.Wallahua’lam
Jual tanah untuk biaya pendidikan anak atau berhaji ?
JAWAB :
Haji diwajibkan atas Muslim yang memiliki Istitha’ah (kesanggupan), hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(Ali ‘Imran: 97).Yang dimaksud dengan kesanggupan itu adalah tersedianya perbekalan (seperti ongkos) untuk mengantarkannya ke Baitullah dan tersedianya dana untuk menutupi kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikannya selama ia menunaikan haji, seperti memberikan nafkah kepada keluarga yang ditinggalkannya yaitu berupa makanan, pakaian, biaya pendidikan dan kebutuhan primer lainnya. Jadi, jika seseorang belum dapat memenuhi kebutuhan primernya, seperti biaya pendidikan atau sekolah, maka sebenarnya ia tak diwajibkan untuk berhaji, sebab haji diwajibkan setelah ia menunaikan semua kebutuhan pokoknya.Wallahua’lam
Setiap tahun pergi haji ? (Sedangkan tetangga dan masyarakat di sekitarnya sangat miskin dan bahkan di kampungnya sendiri ada sebuah Masjid yang belum selesai dibangun yang masih sangat membutuhkan dana tambahan)
JAWAB :
Ibadah haji itu wajib ditunaikan hanya sekali dalam seumur hidupnya, dan mereka yang melakukan haji lebih dari sekali maka hukumnya sunah. Ini berdasarkan hadits:
Abu Hurairah berkata, Rasulullah telah berkhutbah di hadapan kami dan mengatakan, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan haji atas kamu, maka berhajilah.” Lalu seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tiap tahun?” Beliau tetap terdiam sampai pertanyaan itu diulang tiga kali, maka Nabi saw menjawab, “Andai saya jawab “Ya” maka itu menjadi wajib sedang kamu tak akan mampu melaksanakannya.” (HR Ahmad, Muslim dan An-Nasai)
Berkaitan dengan pertanyaan ini, perlu sekali di sini dinukilkan kisah seorang ulama bernama Imam Bisyir Ibnu Al-Harits ketika beliau ditanya oleh seseorang dengan mengatakan, “Saya memiliki 200 Dirham. Saya ingin berangkat haji dengan uang itu.” Imam Bisyir bertanya, “Apakah kamu sudah menunaikan haji?” Orang itu menjawab, “Ya.” Imam Bisyir berkata, “Bukankah aku sudah tunjukkan sesuatu yang lebih baik dari hal itu?” orang itu menjawab, “Apa itu?” Imam Bisyir menjawab, “Pergi dan berikan untuk yatim, janda, fakir miskin, serta ibnu sabil. Orang itu lalu membagi uangnya yang 200 dirham, kemudian imam Bisyir berkata, “Ini lebih baik ketimbang haji sunah.” Orang itu berkata, “Akan tetapi, hatiku selalu teringat kepada Baitullah.” Imam Bisyir berkata kepadanya, “Harta yang mengandung unsur syubhat (dari sumber yang tak jelas) akan membuat pemiliknya menafkahkan harta itu sesuai dengan hawa nafsunya, yaitu dirimu.”
Semoga kisah di atas dapat mewakili alasan bagi mereka yang kerap melakukan ibadah haji atau haji setiap tahun (haji sunah) dan kita dapat merenungkan dan mengambil hikmah dari kisah itu. Sebenarnya, dalam kasus ini haruslah diberlakukan fiqih prioritas, yaitu suatu pemahaman mana yang harus diutamakan, apakah haji sunah atau mengalihkan dana haji sunah itu kepada bentuk ibadah lain yang lebih bermanfaat, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Contoh skala kecil adalah membantu fakir miskin dan pembangunan yayasan-yayasan sosial Islam dan mesjid di sekitarnya. Maka akan menjadi kurang etis atau bahkan berdosa manakala seseorang berhaji setiap tahunnya sementara salah satu kerabat atau tetangganya kelaparan, atau sakit yang tak sembuh-sembuh karena tak ada dana untuk pengobatan, atau pembangunan mesjid di lingkungannya yang tak kunjung usai karena ketiadaan biaya, atau sekolah pendidikan Islam yang memberikan pendidikan murah atau gratis bagi anak-anak Muslim menjadi bubar karena tak ada donatur sementara di sekitarnya ada sekolah-sekolah Kristen yang juga memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak Muslim. Meski demikian, kalau pun ia memaksakan haji sunahnya, maka hajinya itu tetap sah, meski berdosa karena mengabaikan sesuatu yang sebenarnya bagi dia merupakan suatu kewajiban.
Adapun dalam skala besar, andai dana-dana haji sunah seluruh Indonesia diinfakkan, maka sungguh umat Islam akan dapat mempunyai dana yang cukup besar yang akan dipergunakan bagi pemberdayaan umat dan dakwah. Misalnya, untuk mengentaskan kemiskinan yang mencapai 35 juta jiwa, yang mayoritas umat Islam, atau untuk membendung gerakan kristenisasi yang didukung dengan dana berlimpah, atau membangun sekolah-sekolah gratis atau murah bagi Muslim tak mampu dan banyak hal lain yang dapat dilakukan yang manfaatnya lebih banyak dan luas ketimbang berhaji sunah yang manfaatnya hanya dirasakan sendiri. Selain itu, banyaknya mereka yang menunaikan haji sunah juga secara tidak langsung akan menghalangi (menzalimi) mereka yang tak dapat berangkat haji untuk pertamakalinya (haji wajib) karena tersandung kuota, pembatasan jemaah haji, ini yang kerap terjadi pada setiap musim haji di beberapa negara seperti Indonesia. Tentu, upaya-upaya penyadaran atas mereka yang berkali-kali haji itu haruslah melibatkan berbagai pihak, seperti para ulama dan ustadz, kebijakan pemerintah dan lembaga-lembaga Islam.
Walaahu’alam
Bagaimana saya harus memilih Miqot ?
JAWAB :
Miqot-miqot makani (lokasi) untuk ihram ibadah haji atau pun umrah ditentukan sendiri oleh Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Biasanya bagi orang Indonesia miqot makaninya di Yalamlam, demikian pula bagi mereka yang melintasi dan lebih dekat kepada Yalamlam maka miqotnya dari sana. Berkaitan dengan Qarnul Manazil, maka tempat itu merupakan miqotnya penduduk Najd dan orang yang melewatinya. Miqat ini sekarang dinamakan dengan Sailul Kabir yang jaraknya dengan Mekkah sekitar 78 km. Jadi, kalau memang pesawat yang ditumpangi ternyata miqatnya lebih dekat kepada Qarnul Manazil, maka memang sebaiknya berihram dari sana. Demikian juga jika pesawat melewati Yalamlam maka miqot-nya sebaiknya dari Yalamlam. Dalam hal ini, saya menganjurkan agar tidak kerepotan mengganti pakaian ihram di dalam pesawat ketika melintasi miqot, maka sebaiknya mengenakan pakaian ihram dari bandara udara di Jakarta dengan niat ihram di pesawat saat memasuki miqot yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw. Adapun memakai dan berniat ihram di Bandara King Bin Abdul Aziz sebenarnya merupakan fatwa para ulama kontemporer seperti Syekh Abdullah Bin Zaid, Ketua Dewan Syariah di Qatar, dan ini pendapat golongan mazhab Maliki. Kemudian perlu diketahui bahwa mazhab Maliki tumbuh dan berkembang bermula dari kota Medinah bukan dari Iraq, selain itu, Imam Maliki tidaklah kurang dalam rujukan hadist, bahkan sebaliknya, sebelum kitab-kitab hadits bermunculan seperti Sahih Bukhari dan Muslim, maka Imam Malik lebih dulu menyusun kitab hadits yang kemudian dikenal dengan kitab Muwatha.Wallaahua'lam

Bagaimana melakukan Ihram Haji Tamattu ?
JAWAB :
Bagi seorang yang berhaji Tamattu, maka setelah umrahnya usai ia kembali menjadil halal, artinya semua larangan ihram untuk umrah tak lagi berlaku baginya. Lalu, ia menunggu sampai tibanya hari Tarwiyah, tanggal 8 Dzulhijjah, dimana pada tanggal itu ketika waktu zawal (bergesernya matahari) ia wajib kembali niat berihram untuk haji dengan mengucapkan Talbiyyah Labbaika hajjan (aku datang memenuhi panggilan-Mu untuk haji). Maka sejak itu semua larangan ihram kembali berlaku atas dirinya. Adapun berangkat ke Mina untuk bermalam di sana pada hari Tarwiyah maka hukumnya adalah sunah. Ini merupakan pendapat semua mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Dengan demikian, boleh baginya pada hari Tarwiyah langsung menuju ke Arafah untuk wukuf di sana pada tanggal 9 Dzulhijjah. Jadi, bagi jemaah haji Tamattu, baik itu yang hendak menuju ke Mina atau ke Arafah, maka ia harus tetap berihram dan niat haji pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika waktu zawal (bergesernya matahari) dan ini hukumnya wajib.Wallahua'lam
Rambut rontok ketika Ihram ?
JAWAB :
Memang di antara hal yang dilarang dalam ihram adalah memotong rambut dengan cara cukur atau yang lainnya. Allah swt berfirman, ”Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya”. (Al-Baqarah: 196). Termasuk di dalamnya mencukur atau mencabut rambut atau bulu yang ada pada badan. Lalu ada sebuah riwayat dari Atha, katanya, "Jika seseorang yang tengah ihram mencabut tiga helai rambutnya atau lebih, hendaklah ia membayar tebusan dengan menyembelih seekor kambing." (Diriwayatkan oleh Said Bin Manshur). Dan Syafi'i meriwayatkan pula dari padanya, bahwa ia mengatakan, "Pada sehelai rambut dendanya sesukat-makanan-, pada dua helai dua sukat, dan pada tiga helai atau lebih atau lebih menyembelih seekor kambing”.Berkaitan dengan kasus tersebut, maka hal tersebut tak dikenai denda apapun dan ihram-nya insya Allah sah. Pasalnya, rontoknya rambut tidak dicabut dengan sengaja atau tidak dicukur atau dipotong, karena rambut rontok sendiri. Dan ini di luar batas kemampuan kita serta Allah swt tak ingin menyulitkan hamba-Nya, ”Allah menghendaki kemudahan bagimu,dan tak menghendaki kesukaran bagimu. (Al-Baqarah: 185). “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (Al-Baqarah: 78), ”Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu”. (Al-Ahzab: 5). ”Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya”. (Ath-Thalaq: 7). Bahkan bila seseorang punya penyakit di kepalanya yang mengharuskannya bercukur, maka hal itu dibolehkan disertai membayar fidyah, sesuai firman Allah, ”Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya bayar fidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban...”. (Al-Baqarah: 196).Wallaahua'lam
Hukum pakaian dalam ketika Ihram
JAWAB :
Dalam ihram terdapat larangan-larangan yang harus ditaati oleh jemaah. Pada dasarnya, larangan-larangan itu terbagi kepada tiga bagian. Pertama, larangan bagi jemaah pria dan wanita. Kedua, larangan yang khusus bagi jemaah pria. Ketiga, larangan yang khusus bagi jemaah wanita. Dan pakaian dalam dapat dikategorikan sebagai pakaian berjahit, serta pakaian berjahit itu termasuk salah satu larangan yang khusus bagi pria saja. Dalilnya, “Seorang laki-laki bertanya, "Ya Rasulullah, pakaian apakah yang dikenakan seorang yang tengah Ihram?" Rasulullah mengatakan, "Ia tak boleh mengenakan baju (kemeja), tidak pula serban, baju celana dan celana... (HR. Bukhari). Para ulama sepakat bahwa larangan-larangan dalam hadits di atas hanya diperuntukkan bagi jemaah pria. Maka, semua baju yang berjahit dan dibuat seperti bentuk tubuh manusia, seperti pakaian dalam, tak boleh dikenakan oleh jemaah haji pria. Jadi, para wanita boleh memakai pakaian dalamnya ketika ihram.Wallaahua'lam
Berihram ketika Haidh ?
JAWAB :
Wanita yang tengah haidh boleh berihram untuk haji atau umrah dan ia dapat melakukan semua rangkaian ibadah haji kecuali Thawaf di Baitullah. Maka ketika hendak Thawaf ia harus menunggu sampai ia kembali suci. Dasarnya adalah karena Rasulullah telah memerintahkan Aisyah r.a. agar ia melakukan haji sebagaimana orang-orang berhaji kecuali Thawaf di Baitullah (Muttafaq 'alaih). Wallahua'lam
Urutan Amalan Ibadah Haji Tamattu'
JAWAB :
Haji Tamattu' adalah cara pengerjaan manasik haji dengan terlebih dahulu mengerjakan ihram untuk umrah pada bulan-bulan haji, lalu setelah mengerjakan umrah ia bertahallul dan menunggu sampai tanggal 8 Dzulhijjah, dan pada tanggal 8 Dzulhijjah itu ia kembali berihram untuk niat haji. Bagi orang yang melakukan haji Tamattu' maka ia harus menyembelih seekor kambing.
Adapun rinciannya, (1) Sebelum tanggal 8 Dzulhijjah, ketika Anda tiba di Miqot Yalamlam, Anda mulai berniat ihram dengan pakaian ihram untuk pengerjaan umrah. Niatnya dengan mengucapkan Labbaika Allaahumma 'Umratan. (2) Setibanya di Mekkah Anda langsung Thawaf Qudum di Ka'bah (3) Dilanjutkan dengan Sa'i antara Shafa dan Marwah (4) Dan terakhir Anda bertahallul. Semua amalan di atas merupakan amalan umrah dan dikerjakan sebelum tanggal 8 Dzulhijjah.
Apabila kita telah bertahallul maka semua larangan bagi orang yang berihram tak berlaku lagi sampai tiba tanggal 8 Dzulhijjah dimana pada tanggal itu kita kembali memakai pakaian ihram dan berniat ihram untuk haji dengan mengucapkan Labbaika Allaahumma Hajjan. Sejak itu semua larangan ihram kembali berlaku.
Berikut urut-urutan amalan haji Tamattu': (1) Setelah memakai pakaian ihram dan berniat untuk haji pada tanggal 8 Dzulhijjah, maka dari tempat penginapan Anda pergi ke Mina. Di Mina Anda melakukan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Untuk shalat yang empat rakaat diqashar dengan tanpa dijama' (2) Setelah matahari terbit pada tanggal 9, Anda berangkat ke Arafah untuk wuquf. Di Arafah Anda shalat Dzuhur dan Ashar dengan diqashar dan jama' taqdim. (3) Masih di Arafah, setelah matahari terbenam, Anda bertolak ke Muzdalifah dan shalat Maghrib dan Isya di sana dengan dijama dan diqashar, lalu mengambil batu kerikil untuk melontar jumrah Aqabah, dan Anda bermalam di Muzdalifah sampai terbit fajar serta shalat Shubuh. (4) Pada 10 Dzulhijjah, setelah Shalat Shubuh di Muzdalifah maka Anda segera bertolak menuju Mina untuk melontar Jumrah Aqabah, menyembelih korban, tahallul kecil, dan pergi ke Mekkah untuk Thawaf Ifadhah dan Sa'i. Jika Anda telah menyelesaikan thawaf Ifadhah dan Sa'i maka Anda melakukan Tahallu Kubro, yang artinya semua larangan ihram tak berlaku lagi bagi Anda. (5) Tanggal 11, Anda bermalam di Mina dan melontar 3 Jumrah setelah Dzuhur (6) Tanggal 12, Anda bermalam lagi di Mina dan melontar 3 Jumrah setelah Dzuhur. Setelah itu, jika Anda hendak mengambil nafar awwal maka Anda harus keluar dari Mina sebelum matahari terbenam. Tapi kalau Anda hendak mengambil nafar tsani atau setelah terbenam matahari Anda masih berada di Mina maka Anda harus bermalam satu malam lagi di Mina. (6) Terakhir sebelum Anda meninggalkan Mekkah maka Anda terlebih dahulu melakukan thawaf Wada' atau thawaf perpisahan.Wallaahua'lam
Hadats kecil dalam Thawaf, bagaimana hukumnya ?
JAWAB :
Perlu diketahui bahwa di antara syarat Thawaf menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali adalah suci dari hadats dan najis. Pasalnya, menurut mereka Thawaf itu seperti shalat. Hal ini berdasar kepada hadits : ”Thawaf di Baitullah itu shalat, tapi Allah membolehkan padanya (Thawaf) untuk berkata-kata, maka barangsiapa berkata-kata padanya hendaklah jangan berkata-kata kecuali hal yang baik”. (HR Ibnu Hibban dan Hakim). Adapun menurut mazhab Hanafi, suci dari hadats bukanlah syarat sahnya Thawaf, dasarnya firman Allah ”…dan hendaklah mereka melakukan Thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)”. (Al-Hajj: 29). Menurut mazhab Hanafi ayat itu masih bermakna global atau umum, artinya tanpa diembel-embeli syarat suci dari hadats. Adapun mengenai hadits yang menyebutkan bahwa Thawaf itu seperti shalat, mazhab Hanafi menjelaskan bahwa hadits di atas hadits Ahad, dimana hadits Ahad tak bisa mengkhususkan makna surat Al-Hajj ayat 29 itu.
Namun demikian menurut hemat para ulama, suci dari hadats itu merupakan syarat sahnya Thawaf. Sebab ini diperkuat oleh hadits lain, yaitu : Aisyah menyebutkan bahwa yang pertama kali dikerjakan Rasulullah saw ketika tiba, ia berwudhu kemudian berthawaf di Baitullah. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim) . Bila kita tengah berthawaf lantas terkena hadats kecil dan belum sempat menyelesaikan satu putaran penuh (belum sampai ke garis coklat di mana kita memulai Thawaf), maka thawaf dimulai lagi dari tempat ketika kita terkena hadats kecil tadi.Wallaahua’lam
Doa ketika Thawaf dan Sai dengan bahasa Indonesia ?
JAWAB :
Memang problem orang yang tak mengerti Bahasa Arab adalah ketika ia berdoa dan terutama ketika membaca Alqur'an maka ia tak memahami secara langsung apa yang tengah ia minta atau yang tengah ia baca. Akibatnya, seperti apa yang banyak terjadi, maka ia kurang bisa meresapi dan menghayati inti dari doanya atau bacaannya itu. Perlu diketahui bahwa ketika seseorang berthawaf atau berdoa maka boleh baginya berdoa dengan doa yang disukainya dan dengan bahasa apapun. Karena Allah sendiri toh Maha Mengetahui apa yang kita minta dan kita mohonkan. Kendati demikian sangat dianjurkan untuk membaca doa-doa yang ma'tsuur, artinya doa-doa yang datangnya dari Nabi saw, sebab isinya ringkas, padat dan lebih terhindar dari sikap berlebihan dalam berdoa. Jadi, kita dibolehkan berdoa apapun dan dengan bahasa apapun ketika sedang thawaf dan sai. Logikanya sederhana saja, bagaimana kita akan khusyu dalam berdoa sedangkan kita sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya sedang kita minta. Kendati demikian, meski dibolehkan berdoa apapun dan dengan bahasa apapun maka kita tetap harus memperhatikan adab dan etika berdoa. Ringkasnya, Allah dalam Alqur'an tak pernah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar berdoa dengan bahasa Arab, tapi Allah hanya berfirman, ”Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..." (QS Al-Mu'min: 60).Wallaahua'lam
Kebanyakan jamaah haji Indonesia pada hari Tarwiyah 8 Dzulhijjah langsung menuju ke Arafah dan bermalam di sana, sementara ada dalil yang menyatakan bahwa Rasulullah saw pada tanggal tersebut menuju Mina dan bermalam di sana, bagaimana ini ?
JAWAB :
Memang sunahnya bagi jemaah haji agar pada tanggal 8 Dzulhijjah bertolak ke Mina. Di Mina ia shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh pada tiap-tiap waktunya dengan cara diqashar masing-masing dua rakaat kecuali Maghrib dan Subuh. Semua shalat itu tanpa dijama'. Hal ini seperti hadits Jabir bin Abdullah ketika menceritakan hajinya Rasulullah saw, katanya : ”Tatkala tiba hari Tarwiyyah, mereka pun bertolak menuju Mina lalu berihram dengan haji. Rasulullah saw menaiki kendaraannya dan di sana melakukan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh”. (HR Muslim).
Kemudian semua mazhab fiqih, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali menjelaskan maksud dalil di atas, mereka semua sepakat bahwa bermalam di Mina pada hari Tarwiyyah hukumnya sunah dan bukan merupakan rukun atau wajib haji. Imam Nawawi mengatakan, maka menurut sunah pula hendaklah seseorang menunaikan shalat yang lima waktu itu di Mina dan supaya bermalam di sana pada tanggal 8, yang hukumnya ialah sunah serta tak perlu membayar denda jika ketinggalan. Jadi bertolak dan bermalam ke Mina pada hari Tarwiyyah hukumnya sunah, tapi kendati demikian jemaah sangat dianjurkan untuk menjalankan sunah ini.Wallahua'lam
Bagaimana hukum mencium Hajar Aswad dan tata caranya ?
JAWAB :
Banyak sekali hadits yang menyinggung tentang mencium Hajar Aswad, di antaranya hadits Rasulullah saw, Dari Abdullah bin Sarjis ra berkata, saya lihat yang botak, Umar bin Khattab ra, tengah mencium Hajar Aswad sembari berkata, “Demi Allah saya akan menciummu, dan sungguh saya tahu bahwa kamu hanyalah batu yang tak dapat memberi manfaat atau pun madharat, dan andai saya tak melihat Rasulullah telah menciummu maka niscya saya tak akan menciummu.” (HR Muslim) . Adapun mencium Hajar Aswad hukumnya sunah serta tata cara atau adab-adabnya adalah dimulai dengan menghadap Hajar Aswad ketika memulai tawaf sembari membaca takbir dan tahlil lalu mengusap Hajar Aswad itu dengan kedua tangannya kemudian menciumnya dan jika memungkinkan manaruh pipi di atasnya. Jika cara di atas sangat sulit maka ia boleh menyentuh Hajar Aswad itu dengan tangannya atau barang lain yang dipegangnya lalu tangan atau barang itu ia cium. Jika ini juga tak mungkin maka ia boleh memberi isyarat kepada Hajar Aswad itu dengan tangan atau barang lainnya seperti tongkatnya. Jadi mencium atau mengusap Hajar Aswad dilakukan sebelum tawaf dimulai. Sabda Nabi saw, Tatkala Rasulullah saw tiba di Makkah ia mendatangi Hajar Aswad lalu mengusapnya, kemudian ia berjalan di sebelah kanannya dan berjalan cepat tiga kali serta berjalan biasa empat kali (bertawaf)..Wallahua’lam
Bagaimaan hukum mabit di Muzdalifah dan hari Tarwiyyah ?
JAWAB :
Pergi ke Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah (Tarwiyyah) hukumnya sunah. Sementara itu mabit di Muzdalifah dan melontar Jumrah merupakan wajib haji, artinya bila tak dikerjakan maka hajinya tetap sah namun dia harus membayar denda (dam).
Berkaitan dengan bermalam di Muzdalifah para ulama berbeda pendapat apakah harus bermalam di Muzdalifah sampai fajar menyingsing atau sekedar singgah saja untuk shalat Maghrib dan 'Isya (dijama'). Dalam hal ini mazhab Hanbali berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah hanya setengah malam. Sementara mazhab Maliki berpendapat bahwa di Muzdalifah hanya mampir saja untuk melaksanakan shalat fardhu dan istirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina.
Melihat kondisi jamaah haji dari ke hari kian padat, maka apabila dengan bermalamnya di Muzdalifah akan menimbulkan kesulitan besar, seperti padatnya saat melontar Jumrah Aqobah di Mina, maka bagi jamaah yang lemah, lansia, anak-anak dan sejenisnya lebih baik memilih mazhab Maliki. Perlu diketahui bahwa biasanya perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah mengalamai kemacetan sehingga terkadang mengalamai keterlambatan untuk sampai ke Muzdalifah. Walaahua’lam
Saya telah bersa’i antara Shofa dan Marwah sebanyak 4 putaran, lalu karena letih akhirnya saya duduk-duduk untuk istirahat, apakah saya harus mengulang dari awal lagi atau langsung menyempurnakan Sa’i saya? Kemudian jika wudlu saya batal ketika bersa’i, apakah Sa’i saya yang telah dilakukan juga ikut batal dan wajib bersa’i kembali dari awal setelah berwudlu ?
JAWAB :
Menurut mayoritas ahli fiqih, pelaksanaan Sa’i antara Shofa dan Marwah tanpa terputus-putus hukumnya sunah dan bukan syarat sahnya Sa’i, karena itu Sa’i yang diselingi dengan duduk-duduk istirahat tetap sah, asalkan menyempurnakan sisa putaran Sai’nya. Hanya Imam Malik yang mensyaratkan pelaksanaan Sai’ tanpa terputus-putus atau sekaligus.
Kemudian, suci dari hadats kecil bukanlah syarat sahnya Sa’i, sebab Nabi saw tak melarang apapun atas Aisyah ketika ia tengah haidh kecuali dari Tawaf, seperti diriwayatkan Imam Muslim. Bahkan Abdullah Bin Umar pernah bersa’i antara Shofa dan Marwah, kemudian ia buang air kecil, setelah itu beliau langsung melanjutkan Sa’inya. Wallahua’lam.
Bagaimana hukum mabit di Masy’aril Haram ?
JAWAB :
Masy’aril Haram adalah suatu tempat di ujung Muzdalifah dimana Rasulullah dahulu pernah berdo’a dan memungut batu untuk selanjutnya melontar di Mina. Untuk saat sekarang, pada saat jemaah haji bermalam di Muzdalifah, Masy’aril Haram menjadi padat karena disesaki oleh kendaraan yang tengah mabit. Sebenarnya Masy’aril Haram merupakan daerah bukit yang nama aslinya adalah Quzah. Memang Masy’aril Haram tersebut dalam Al-Qur’an bahkan dalam hadits. Allah swt berfirman : ”…Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram…” (Al-Baqarah: 198). Dalam Hadits Jabir Bin Abdillah ra, bahwa Nabi saw tiba di Muzdalifah, maka ia pun melakukan shalat Magrib dan ‘Isya di sana dengan sekali adzan dan dua qomat, tanpa melakukan shalat sunat apapun di antara keduanya, lalu ia berbaring sampai terbit fajar, maka dikerjakannyalah shalat Subuh ketika fajar diketahui dengan sekali adzan dan sekali qomat, kemudian ia menaiki unta Qoshwa hingga tiba di Masy’aril Haram, maka ia pun menghadap kiblat lalu berdo’a kepada Allah, membaca takbir, tahlil dan tauhid. Ia terus berdiri, sampai hari telah demikian terang, lalu berangkat sebelum matahari terbit. (HR Muslim)
Jadi, meski Masy’aril haram tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadits, tapi mabit di Masy’aril Haram memang tak diperintahkan. Dalam Al-Baqarah ayat 198 dan hadits di atas jelas bahwa setelah Nabi saw mabit di Muzdalifah dan shalat Subuh lalu beliau berangkat menuju Masy’aril Haram untuk berzikir, bertahmid, bertahlil, bertauhid dan berdo’a kepada Allah. Amalan di Masy’aril Haram dapat dilakukan jika memang memungkinkan, pasalnya untuk saat ini, kala musim haji tiba, maka pada tanggal 10 Dzulhijjah daerah Masy’aril Haram dipadati dengan kendaraan, sehingga akan menyulitkan jemaah haji sendiri.  Sebenarnya yang terpenting bagi jemaah adalah mabit di Muzdalifah di bagian mana pun, asalkan tempat itu masih dalam wilayah Muzdalifah. Dan mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji, jika seorang jemaah haji tak mabit di Muzdalifah maka ia dikenai Dam. Sedangkan datang ke Masy’aril Haram untuk berzikir dan berdo’a di sana hanya sekedar anjuran saja atau sunah menurut semua mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Namun demikian jika yang dimaksud dengan Masy’aril Haram di sini adalah Muzdalifah maka memang jemaah haji wajib mabit (bermalam) di Masy’aril Haram (baca: Muzdalifah), sebab nama lain dari Muzdalifah adalah Muzdalifah itu sendiri, lalu Jama’ dan Masy’aril Haram.Wallahu’alam
Bagaimana tata cara Melempar Jumroh ?
JAWAB :
Pertama, ketika melempar jumroh maka tak ada dalil apapun yang mengharuskan lemparan itu mengenai tiang yang berada di tengah lubang, sebab tiang itu hanya sekedar tanda saja, jadi kita cukup melempar ke lubangnya saja. Kedua, hal ini berkaitan dengan hadits, dari Ibnu Umar ra, bahwasanya dia melempar jumroh dengan tujuh buah batu kerikil sembari bertakbir setelah masing-masing kerikil...Maka ia mengatakan, "Beginilah saya melihat Nabi saw melakukannya." (HR Bukhari). Jadi, sesuai hadits di atas maka sebaiknya Anda mengucapkan Allahu Akbar saja setiap kali melemparkan satu kali lemparan. Ketiga, berkaitan dengan arah melempar jumroh Ula dan Wustho, maka ketika kita melemparnya maka jadikanlah Mekkah di sebelah kiri Anda dan Mina di sebelah kanan kita. Keempat, disunahkan setelah melempar jumroh Ula dan Wustho untuk berdo'a. Adapun setelah melempar jumroh Aqabah maka tak disunahkan untuk berdo'a. (HR Bukhari dan Ahmad). Dan tak ada do'a khusus yang diucapkan setelah melempar jumroh Ula dan Wustho. Artinya, boleh berdo'a apa saja, baik untuk diri sendiri maupun untuk kaum muslimin.Wallaahua'lam
Apa yang dimaksud dengan dam (denda) saat berhaji ?
JAWAB :
Dam adalah denda atau tebusan bagi mereka yang menunaikan haji atau umrah tetapi melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Pelanggaran itu misalnya melakukan larangan-larangan ihram atau tidak dapat menyempurnakan wajib haji seperti mabit di Mina atau Muzdalifah.
Para ulama telah bersepakat bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji akan dikenakan Dam manakala melakukan antara lain pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut yaitu, melakukan haji Qiran atau Tamattu', tidak ihram dari Miqot, tidak Mabit di Muzdalifah, tidak melontar Jumrah dan bentuk pelanggaran lainnya. Bagi seorang jemaah yang melakukan pelanggaran maka ia wajib menyembelih seekor kambing atau sepertujuh unta atau sepertujuh sapi yang dagingnya dibagi-bagikan untuk fakir miskin.Wallaahu'alam
Bagaimana kedudukan hukum Shalat Arbain di Masjid Nabawi ?
JAWAB :
Masjid Nabawi merupakan salah satu dari tiga masjid yang memiliki keutamaan lebih dibanding masjid-masjid lainnya. Ini didasarkan atas hadits Rasulullah saw,  ”Satu kali shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi di Medinah), lebih besar pahalanya dari seribu kali shalat di tempat lainnya, kecuali di Masjid Haram”, (HR Muslim). Karena itu, Nabi saw sangat menganjurkan untuk berkunjung ke 3 masjid itu. Sabdanya, ”Tidak selayaknya dipersiapkan kendaraan kecuali untuk pergi ke tiga masjid, yaitu masjidku ini, Masjid Haram dan Masjid Al-Aqsha”. (HR Muslim)

Adapun yang berkaitan dengan keutamaan mengejar arbain di Masjid Nabawi maka landasan dalilnya adalah, Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw bersabda, "Barangsiapa yang shalat di masjidku sebanyak 40 kali shalat, dan tidak luput satu kali shalat pun, maka Allah memastikan baginya terbebas dari api neraka, terbebas dari siksa serta ia terhindar dari kemunafikan." (HR Ahmad dan Thabrani). Oleh karena itu, biasanya jemaah haji bermukim di Medinah selama 8 hari, hal ini dimaksudkan agar mereka dapat melakukan shalat berjamaah 5 waktu secara berurut-turut selama 8 hari, dengan demikian mereka dapat melakukan shalat sebanyak 40 kali.Wallahua'lam.
Bagaimana hukumnya melempar Jumrah diwakilkan ?
JAWAB :
Melontar Jumroh, baik itu pada tanggal 10, 11, 12 atau 13 Dzulhijjah merupakan wajib haji, artinya apabila ditinggalkan maka ia wajib membayarkan Dam dan hajinya tetap sah. Sabda Nabi saw, Dari Jabir ra berkata, saya melihat Nabi saw melempar Jumrah dari atas kendaraannya pada hari Nahar dan beliau bersabda, “Hendaklah kalian mengambil tata cara manasik kalian dariku, karena aku tak tahu apakah aku masih dapat berhaji lagi setelah haji ini.” (HR Ahmad, Muslim dan Nasa’i). Kemudian melontar jumrah boleh diwakilkan atau digantikan oleh orang lain dikarenakan ditimpa sakit, usia lanjut, wanita hamil, anak-anak atau orang-orang yang fisiknya lemah dan tak memungkinkan berdesak-desakkan.
Rasulullah bersabda,
Dari Jabir ra berkata, kami berhaji bersama Rasulullah saw dan bersama kami ikut pula wanita-wanita dan anak-anak. Maka kami membaca talbiyyah untuk anak-anak itu dan kami juga melontar (jumrah) buat mereka.. (HR Ibnu Majah). Wallahua’lam
Kapankah Waktu Melontar Jumrah ?
JAWAB :
Melontar Jumrah, yaitu Jumrah Aqabah pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah merupakan wajib haji, artinya apabila tak dikerjakan maka ia dikenai Dam. Adapun waktu melontar Jumrah Aqabah untuk tanggal 10 Dzulhijjah yaitu setelah terbitnya matahari. Ini sesuai sabda Rasulullah saw, Janganlah kalian melontar sampai matahari terbit (HR Khamsah). Dan waktu melontar Jumrah untuk tanggal 11, 12 dan 13 adalah setelah Zawwal (matahari mulai tergelincir ke arah barat) sampai matahari tenggelam pada setiap tanggal-tanggal itu. Ini sesuai keterangan Ibnu Abbas, Bahwa Rasulullah saw telah melontar Jumrah ketika matahari tergelincir ke arah barat.. Kemudian, jika Anda keliru dalam waktu melontar Jumrah maka haji Anda tetap sah. Terakhir mengenai denda (Dam) maka pelaksanaannya harus di Tanah Haram, dan jika ia telah pulang ke negaranya maka sebenarnya Anda bisa menitipkannya agar pelaksanaan Dam itu di Tanah Haram, terlebih saat ini dimana komunikasi semakin mudah.Wallahua’lam
Bagaimana pelaksanaan Dam Haji Tamattu’ ?
JAWAB :
Dam adalah denda atau tebusan bagi mereka yang menunaikan ibadah haji atau umrah tetapi melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan, seperti melakukan haji Qiran atau Tamatu. Jenis Dam itu meliputi unta, sapi dan kambing domba atau kambing kacang. Sapi atau unta cukup untuk tujuh orang. Adapun syarat-syarat hewan Dam dan teknisnya adalah, (1) Usianya mencapai 5 tahun untuk unta, 2 tahun untuk sapi, 1 tahun untuk kambing kacang dan 6 bulan untuk kambing domba. Ini seperti hadits yang diriwayatkan Imam Muslim. (2) Hewan Dam itu tidak memiliki cacat atau aib seperti buta sebelah, sakit-sakitan, pincang dan amat kurus. (3) Hewan Dam itu disembelih di Mina atau Mekkah atau di tanah suci lainnya sesuai hadits : ”Seluruh Arafah adalah tempat wukuf, seluruh Mina adalah tempat penyembelihan, seluruh Muzdalifah adalah tempat wukuf dan setiap penjuru Mekkah adalah jalan dan tempat penyembelihan”. (HR Abu Dawud). (4) Waktu penyembelihan pada hari raya Iedul Adha usai shalat atau setelah matahari meninggi sepanjang satu tombak (kira-kira jam 07.00 pagi hari) atau pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Wallahua’lam
Apa kaitannya antara Shalat Arbain dengan amalan haji ?
JAWAB :
Dalam ibadah haji ada yang namanya Rukun, Wajib dan Sunah Haji. Rukun Haji adalah amalan-amalan haji yang apabila tidak dikerjakan maka hajinya tidak sah dan harus diulang. Rukun Haji itu adalah: (1) Ihram, yaitu niat memulai ibadah haji. (2) Wuquf di Arafah. (3) Thawaf Ifadhah. (4) Sa'i antara Shafa dan Marwah. Kemudian yang kedua adalah Wajib Haji, yaitu amalan-amalan haji yang apabila ditinggalkan maka hajinya tetap sah namun ia harus membayar Dam atau denda. Wajib Haji itu adalah: (1) Ihram dari Miqot (2) Wuquf di Arafah sampai terbenam matahari pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah (3) Mabit di Muzdalifah pada malam Iedul Adha sampai shalat Subuh (4) Melontar Jumrah 'Aqabah pada hari raya dan melontar jumrah pada hari-hari Tasyriq (5) Cukur gundul (6) Mabit di Mina (7) Thawaf Wada'
Jadi sebenarnya shalat Arbain di Madinah atau bahkan berziarah ke Madinah sama sekali bukan bagian dari rangkaian amalan haji atau manasik haji. Shalat Arbain itu bukan bagian dari Rukun atau pun Wajib Haji. Dengan demikian apabila tak shalat Arbain di Masjid Nabawi maka haji Anda tetap sah.Wallaahu'alam
Apa yang dimaksud dengan Haji Akbar ?
JAWAB :
Sebenarnya kata Al-Hajj Al-Akbar (Haji Akbar) terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pertama, hadits Rasulullah saw, Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw berdiri pada hari Nahar (10 Dzulhijjah) dalam haji yang beliau tunaikan. Beliau berkata,”Hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari Nahar.” Maka beliau mengatakan, “Ini adalah Hari Haji Akbar.” (HR Abu Dawud). Kedua, kata Al-Hajj Al-Akbar terdapat dalam Al-Qur’an, ”Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar…” (At-Taubah : 3). Para ahli tafsir berbeda pendapat ketika menafsirkan Al-Hajj Al-Akbar di sini, yaitu, (1) Haji Akbar adalah Hari Nahar; (2) Haji Akbar adalah hari Arafah; (3) Haji Akbar adalah semua amalan yang ada pada hari Nahar; (4) Haji Akbar adalah haji yang terjadi pada tahun ke-9 Hijriyah.
Kendati demikian, dari penafsiran-penafsiran Haji Akbar di atas, tak ada satu pun yang mendefinisikan Haji Akbar itu adalah haji yang apabila hari Arafahnya jatuh pada hari Jum’at. Jadi, tak ada satu dalil pun yang menunjukkan bahwa Haji Akbar adalah haji yang apabila hari Arafahnya jatuh pada hari Jum’at, dan definisi keliru inilah yang memang dikenal masyarakat kita.Wallahua’lam
Tawaf Ifadhah tanpa pakaian Ihram ?
JAWAB :
Setelah Anda melontar Jumrah pada 10 Dzulhijjah maka Anda melakukan Tahallul pertama atau Tahallul Al-Ashghar (kecil), ini artinya Anda tak terikat lagi dengan larangan-larangan ihram, seperti larangan mengenakan pakaian berjahit, kecuali menggauli isteri. Jadi, setelah melontar jumrah aqobah Anda diperbolehkan memakai pakaian seperti biasa (pakaian berjahit) untuk kemudian pergi ke Mekkah untuk melakukan tawaf ifadhah. Adapun Tahallul pertama ini ditandai dengan mencukur gundul atau memendekkan rambut, kendati demikian mencukur gundul lebih utama. Pencukuran rambut ini khusus bagi jemaah pria, adapun bagi jemaah wanita tidak ada.Wallahua'lam
Saya mau bertanya, adakah hadits yang menerangkan berapa kilometer jaraknya antara Miqat dengan Ka'bah ?. Dan yang sering diajarkan pembimbing haji bahwa ihram akan dikenakan di Bandara King Abdul Aziz, padahal miqat jama'ah Indonesia (gelombang-2) adalah di Yalamlam. Bagaimana saya harus bersikap ?
JAWAB :
Dalam hadits-hadits Rasulullah saw tak disebutkan tentang jarak antara tempat-tempat miqat itu dengan Ka'bah. Nabi saw hanya menyebutkan nama-nama daerah untuk tempat miqat serta untuk penduduk-penduduk mana saja tempat-tempat miqat tersebut. Kendati demikian dapat saya sebutkan jarak antara miqat-miqat itu dengan kota Mekkah sebagai berikut :
Zulhulayfah (Bier Ali), letaknya sekitar 420 km dari Mekkah, merupakan miqat bagi orang yang datang dari arah Medinah dan orang yang melaluinya. Miqat ini merupakan miqat terjauh dari Mekkah.
Al-Juhfah, sekitar 187 km dari Mekkah, merupakan miqatnya jemaah yang datang dari Syam (Suriah), Mesir, Maroko atau yang searah. Setelah hilangnya ciri-ciri Al-Juhfah, maka miqat ini diganti dengan miqat lainnya yakni Rabigh, jaraknya sekitar 186 km dari Mekkah.
Yalamlam, sebuah bukit di sebelah selatan sekitar 120 km dari Mekkah, merupakan miqatnya orang Yaman dan Asia. Miqat ini juga dinamakan dengan Sa'diyah.
Qarnul Manazil, yakni miqat penduduk Najd dan orang yang melewatinya. Miqat ini sekarang dinamakan Sailul Kabir, jaraknya dengan Mekkah sekitar 78 km.
Dzatu Irqin, sekitar 100 km ke utara Mekkah. Miqat ini dinamakan juga dengan Dharibah dan diperuntukkan bagi penduduk Irak serta yang searah dengan mereka.
Untuk jemaah haji asal Indonesia biasanya Miqat Makaninya dari Yalamlam. Jika Anda melewati Yalamlam serta belum berniat dan memakai pakaian ihram maka Anda terkena Dam.
Biasanya ketika di pesawat ada pengumuman bahwa pesawat sebentar lagi akan lewat Yalamlam, namun demikian masalahnya adalah akan terjadi kesulitan besar manakala semua jemaah mandi, shalat dan berpakaian ihram dalam pesawat, karena itu sebagai jalan keluarnya Anda dibolehkan memakai pakaian ihram sebelum sampai di miqat atau sebelum naik pesawat atau di Asrama haji beberapa saat sebelum Anda ke bandara, tapi niat ihram dan talbiyyahnya harus ketika sampai di miqat. Dan inilah yang menurut hemat saya lebih mudah dan saya anjurkan, sebab dengan cara ini Anda tak melewati miqat Yalamlam.  Adapun memakai dan berniat ihram di Bandara King Bin Abdul Aziz sebenarnya merupakan fatwa para ulama kontemporer seperti Syekh Abdullah Bin Zaid, Ketua Dewan Syariah di Qatar, dan ini pendapat golongan mazhab Maliki.Wallahua'lam
Mencium Hajar Aswad, hukumnya ?
JAWAB :
Sebenarnya mencium hajar aswad bukanlah suatu keharusan. Begitu pula mencium hajar aswad bukan termasuk rukun atau wajib haji tapi hanya termasuk sunah dalam Thawaf. Adapun dalil disyariatkannya mencium hajar aswad adalah, Dari Abdullah bin Sarjis ra, ia berkata, "Saya melihat yang botak, Umar bin Khattab ra mencium hajar aswad sembari mengatakan, "Demi Allah saya akan menciummu, dan sungguh saya tahu bahwa kamu hanyalah batu dan kami tak dapat memberi manfaat atau madharat, dan andai saya tak melihat Rasulullah saw menciummu tentullah saya juga tak akan menciummu." (HR Muslim).. Adapun ketika mencium hajar aswad tak ada do'a khusus, tapi yang ada adalah berdo'a ketika mengusap hajar aswad. Dalilnya, Bahwa Nabi saw datang ke Ka'bah, lalu diusapnya hajar aswad sambil membaca "Bismillaah allaahu akbar" (HR Ahmad) Wallahua'lam
Berapa kali seorang jamaah haji Tamattu’ melakukan Tahalul (termasuk umrahnya) ? Jika mencukur gundul itu disunahkan, pada Tahalul yang manakah kita harus mencukur gundul ?. Ada yang mengatakah bahwa thawaf adalah pengganti shalat Tahiyatul Masjid, jika ya, apakah setiap kali kita akan shalat di masjid Al-Haram harus didahului dengan thawaf ?. Dan samakah jumlah putarannya ?
JAWAB :
Bagi jamaah yang melakukan haji Tamattu maka ia akan menjalani tiga kali Tahallul. Pertama, Tahalull dari Umrah, kedua Tahallul Al-Ashghar atau Kecil, yaitu setelah melontar Jumrah Aqabah pada hari Raya Iedul Adha, dan terakhir Tahallul Al-Akbar, yaitu setelah thawaf Ifadhah dan Sai. Terkait dengan mencukur gundul, maka itu dilakukan pada Tahallul Al-Ashghar. Dan terakhir terkait dengan shalat Tahiyyatul Masjid, maka para ulama berbeda pendapat. Pertama mengatakan bahwa thawaf sebagai pengganti shalat Tahiyyatul Masjid di Masjid Al-Haram. Imam Nawawi mengatakan, Tahiyyat Al-Masjidil Haram itu Thawaf bagi orang pendatang, adapun bagi yang bermukim maka hukum Al-Masjidil Al-Haram dan selainnya dalam hal ini adalah sama. (lihat Fathul Baari, Juz. 2/412). Adapunn cara thawaf itu putarannya sama saja. Kedua mengatakan bahwa hukum Masjid Al-Haram dengan masjid lainnya sama saja. Artinya, Thawaf tak dapat dijadikan sebagai pengganti dari shalat Tahiyyatul Masjid. Alasannya, hadits yang berkenaan dengan perintah shalat Tahiyyatul Masjid bersifat global alias mencakup juga Masjid Al-Haram. Wallaahua'lam
Oleh pembimbing kami, untuk menghindari kecelakaan saat melontar Jumroh maka kami hanya melakukan mabit di Mina selama semalam saja, yaitu pada tanggal 12 Dzulhijjah, kemudian pada paginya sebelum subuh sekitar pukul 02.00 dini hari kami dibimbing untuk melontar Jumroh Aqobah yang dianggap sebagai lontaran tanggal 10 Dzulhijjah, kemudian dilanjutkan dengan lontaran untuk tanggal 11, 12,13 Dzulhijjah yaitu dengan mengulang-ulang lontaran ke Wustho, Ula dan Aqobah sebanyak 3 putaran. Menurut pembimbing kami, kami hanya dikenakan membayar dam (denda) sebesar 2 Mud (bukan seekor kambing ). Mohon penjelasannya .
JAWAB :
Mabit di Mina merupakan wajib haji, maka minimal Anda harus mabit di Mina pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah jika Anda mengambil Nafar Awal, atau maksimal sampai tanggal 13 Dzulhijjah jika Anda mangambil Nafar Tsani. Jika Anda mabit di Mina tak sebagaimana mestinya, seperti hanya satu malam saja, maka Anda harus menyembelih seekor kambing atau sepertujuh unta atau sapi di Mekkah.
Adapun melontar Jumrah Aqobah yang dilakukan pada pagi tanggal 12 Dzulhijjah yang dianggap sebagai lontaran tanggal 10 Dzulhijjah, maka lontarannya dianggap terlambat, sebab batas akhir melontar Jumrah Aqobah untuk tanggal 10 Dzulhijjah adalah sampai akhir siang tanggal 10 Dzulhijjah, dalilnya adalah: "Seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw, saya melontar setelah saya ada di sore hari. Maka Nabi menjawab, tak mengapa.". Akibatnya Anda telah mengakhirkan wajib haji dan menurut mazhab Hanafi dan Maliki Anda harus menyembelih satu ekor kambing. Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hanbali Anda tak diwajibkan menyembelih seekor kambing, sebab keterlambatan Anda masih pada hari-hari Tasyriq, yaitu 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
Kemudian melontar Jumrah Ula, Wushta dan Aqobah pada tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah waktunya setelah Zawwal (matahari mulai tergelincir ke arah barat) sampai matahari tenggelam. Ini sesuai keterangan Ibnu Abbas, Bahwa Rasulullah saw telah melontar Jumrah ketika matahari tergelincir ke arah barat.. Namun demikian, pada saat ini jumlah jamaah haji makin banyak, sehingga ketika melontar jumrah memicu banyak korban, dalam hal ini dibolehkan baginya untuk melontar jumrah sebelum zawwal, pendapat kebolehan ini dikemukakan oleh tiga imam besar dari golongan tabi'in yaitu 'Atha Bin Abi Rabah, Thawuf dan Abu Ja'far Al-Baqir.
Mencermati cara melontar Anda yang dilakukan pada tanggal 12 Dzulhijjah, dimana Anda melontar sekaligus untuk tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, maka berarti lontaran Anda untuk tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah mengalami keterlambatan, sedangkan Anda mempercepat lontaran Anda untuk tanggal 13, artinya Anda melontar sebelum zawwal. Karena itu lontaran Anda untuk tanggal 11 dan 12, menurut mazhab Syafi'i dan Hanafi hukumnya sah, adapun lontaran Anda untuk tanggal 13, menurut pendapat tiga imam besar tabi'in di atas maka lontaran sah. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa berbagai keringanan yang Anda lakukan dalam melontar itu akan mengurangi keutamaan ibadah haji Anda, dan sebenarnya keringanan itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang lemah, lansia, wanita hamil dan sejenisnya.Wallahua'lam
Apakah hadits tentang shalat arbain di masjid Nabawi itu derajatnya shahih? Apakah kita boleh melakukan ibadah mahdhah berdasar atas hadits yang tidak shohih apalagi dhaif ?
JAWAB :
Hadits yang Anda tanyakan itu adalah sebagai berikut, Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw bersabda, "Barangsiapa yang shalat di masjidku sebanyak 40 kali shalat, dan tidak luput satu kali shalat pun, maka Allah memastikan baginya terbebas dari api neraka, terbebas dari siksa serta ia terhindar dari kemunafikan."
Hadits di atas dikeluarkan dalam Majma' Az-Zawaaid, dan kata penulisnya hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani di dalam Al-Ausath dan para perawinya Tsiqaat terpercaya. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh Turmudzi. Al-Mundziri mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh rawi-rawi yang shahih. Dengan demikian, hadits di atas merupakan hadits shahih dan dalam ilmu hadits dikenal kaidah bahwa penggunaan hadits dhaif dalam fasal Targhiib wa Tarhiib, yaitu hadits pemberi motivasi atau ancaman, dapat ditolerir dalam batas tertentu. Apalagi hadits ihwal arbain itu rawi-rawinya terpercaya.Wallahua'lam
Apakah Hijir Ismail itu makam Nabi Ismail dan Ibunya, ataukah bekasnya saja kemudian dipindahkan ke tempat lain?
JAWAB :
Hijir Ismail adalah salah satu bagian dari Ka'bah yang dahulunya adalah bagian dari Ka'bah itu sendiri. Hijir ini dipagari oleh tembok rendah (al-Hatim) berbentuk setengah lingkaran dan kerap dipakai jamaah untuk shalat sunat. Menurut para sejarawan, Hijir Ismail ini dahulu adalah tapak rumah keluarga Ibrahim. Di situlah Nabi Ismail tinggal semasa hidupnya dan kemudian menjadi kuburan beliau dan juga ibundanya Siti Hajar.
Ketika Ka'bah dipugar oleh suku Quraisy pada tahun 606 M, yaitu sewaktu Nabi Muhamad saw berusia sekitar 35 tahun, mereka kehabisan dana yang halal untuk dapat membangun Ka'bah seukuran aslinya, karenanya mereka mengurangi panjang tembok sisi barat dan sisi timur di bagian utara sekitar 3 meter. Itulah sebabnya luas Ka'bah menjadi berkurang sedang luas Hijir Ismail menjadi bertambah. Itu pula sebabnya orang yang melakukan Tawaf harus mengitari pula Hijir Ismail dan tak sah tawafnya kalau tak mengitari Hijir Ismail, pasalnya sebagian Hijir Ismail adalah termasuk bagian dari Ka'bah. Jadi, memang para ahli sejarah menyatakan Hijir Ismail merupakan bekas tapak rumah keluarga Nabi Ibrahim yang kemudian menjadi pusara kuburan Nabi Ismail dan ibundanya Wallahua'lam