FIQHUN NISA’ FIL HAJJ (FIQIH WANITA DALAM HAJI)
PENDAHULUAN
Haji adalah merupakan ibadat fardhu yang diwajibkan, tetapi kewajipan haji agak berlainan dengan ibadah-ibadah yang lain dari segi konsep dan kefardhuannya, di mana ibadat haji hanya diwajibkan ke atas umat Islam yang berkemampuan mengunjungi Baitullah di Makkah baik lelaki maupun perempuan. Ada pun orang-orang yang tidak berkemampuan dari segi bekal perjalanan, kesehatan , keselamatan perjalanan, maka tidak diwajibkan haji. (QS Ali Imraan : 97)
Artinya : Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barang siapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
MANUSIA DAN IBADAH HAJI
Rata-rata umat Islam mengakui tentang kewajipan ibadah Haji yang difardhukan, jika ada umat Islam yang menentang dan mengingkari kefardhuannya maka kufurlah ia. Walau bagaimana pun, umat Islam pada keseluruhannya berkaitan dengan ibadah haji ini terbahagi kepada beberapa golongan
-
Golongan yang berkemampuan untuk mengerjakan ibadah Haji sehingga mereka telah
mengerjakannya beberapa kali dan
berkemampuan
untuk mengerjakannya beberapa kali lagi jika mereka mau.
-
Golongan yang hanya berkemampuan untuk menunaikan ibadah Haji walaupun sekali
saja dalam hidupnya, walaupun sudah dilaksanakan atau belum
-
Golongan yang tidak berkemampuan untuk menunaikan ibadah Haji walaupun sekali
dalam hidup sedangkan keinginan dan cita-cita tetap ada.
-
Golongan yang berkemampuan dari segi perbelanjaan/perbekalan dan sebagainya
tetapi belum mengerjakan ibadah Haji dan tidak pernah terlintas untuk
mengerjakannya walaupun ia telah mampu melakukan perjalanan jauh ke
tempat-tempat lain yang lebih jauh daripada Baitullah.
Golongan yang keempat inilah yang dikhawatirkan akan mati sebagai
seorang Yahudi atau Nasrani. Ini berdasarkan hadis Rasulullah S.A.W, artinya :
““Barangsiapa tidak tertahan oleh kebutuhan mendesak, atau sakit yang
menahannya, atau larangan dari penguasa yang zhalim, kemudian tidak menunaikan
haji, hendaklah ia mati dalam keadaan menjadi orang Yahudi jika ia mau, dan
jika mau maka menjadi orang Nasrani”. (HR Ahmad, Abu Ya’la dan Al-Baihaqi.
Hadits ini dhaif namun mempunyai penguat).
TINGKATAN
IBADAH HAJI
Hampir sama seperti ibadah sembahyang dan puasa, ibadah Haji
mempunyai empat tingkatan berbeda :
- Haji
Mardud : ialah haji yang tidak diterima olah Allah SWT karena kekurangan
syarat-syarat dan rukunnya atau sebab-sebab yang lain yang menyebabkan hajinya
tidak diterima atau ditolak oleh Allah SWT.
- Haji
Maqbul : ialah haji yang sah dan diterima oleh Allah SWT dan orang yang
mengerjakan haji maqbul ini dianggap sebagai telah menunaikan perintah Allah
dan telah menyempurnakan rukun Islam yang ke lima tanpa diberi ganjaran pahala.
-
Haji Makhsus : ibadah haji
yang dikerjakan oleh orang-orang yang tertentu yang sempurna segala syarat dan
rukunnya, ia bukan saja sekadar dianggap sah dan diterima oleh Allah tetapi
diampunkan segala dosanya. Haji ini termasuk ke dalam apa yang disabdakan oleh
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Majah, An-Nasai dan Ahmad
daripada Abu Hurairah yang artinya : “Barangsiapa haji ke rumah ini
(Baitullah), kemudian tidak berkata kotor, dan tidak fasik, ia keluar dari
dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya”.
Inilah tingkatan haji yang paling tinggi dan istimewa, tidak semua
bisa mendapatkannya. Haji ini bukan saja sekadar dianggap menunaikan kewajipan,
tetapi selain dari diampunkan segala dosanya, ia juga akan dimasukkan ke dalam
syurga. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh At-Thabrani daripada
Abdullah bin Abas yang artinya : " Haji mabrur itu, tidak ada balasan
baginya melainkan syurga “.
PENGERTIAN
HAJI MABRUR
Haji adalah ibadah khusus, salah satu di antara rukun yang ke lima.
Sesuai pengertian syara’, haji ialah mengunjungi Baitullah dalam bulan-bulan
haji kerana mengerjakan thawaf, sa’i dan wukuf di Arafah dengan syarat yang
tertentu dan menunaikan segala perkara -perkara yang wajib yang berkaitan
dengannya. Adapun perkataan "MABRUR" di segi pengertian
bahasanya ialah perbuatan yang tidak ada syubhat atau keraguan padanya atau hanya
diartikan dengan makna yang diterima. Makna Haji Mabrur pada
istilah ialah haji yang diterima dan balasannya yang luar biasa yaitu syurga,
sedangkan kebalikannya ialah Haji Mardud yaitu haji yang ditolak dan
tidak diterima.
SYARAT-SYARAT
HAJI MABRUR
Untuk mencapai tingkatan haji yang mabrur, tidak semudah seperti
yang dibayangkan tetapi tidak mustahil untuk mendapatkannya. Ia memerlukan
beberapa syarat yang tertentu berdasarkan masa-masa tertentu :
Sebelum
Menunaikan Haji
Ada beberapa perkara yang seharusnya diperhatikan sebelum berangkat
menunaikan fardhu haji yaitu :
-
Niat : semata-mata karena Allah, jangan sekali dicampur-adukkan dengan
perasaan ria dan takabur. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim daripada Umar Al-Khattab yang artinya " Sesungguhnya segala
perbuatan itu bergantung kepada niat, dan sesungguhnya bagi setiap seorang itu
apa yang diniatkan "
-
Uang perbekalan/perbelanjaan : berasal dari
sumber yang halal dan tidak mengandung syubhat
-
Kewajipan yang sempurna : tidak memaksakan diri untuk
menunaikan kewajiban haji padahal ia belum mampu secara syar’i
Semasa
Mengerjakan Haji
Semasa
mengerjakan Haji juga perlu menjaga beberapa perkara :
-
Menyempurnakan segala rukun-rukun Haji
-
Menyempurnakan segala perkara-perkara wajib Haji
-
Membayar segala jenis dam yang dikenakan
-
Tidak melakukan larangan ketika berihram Haji seperti persetubuhan, kemaksiatan
dan kemungkaran. Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 197 yang artinya
: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”.
Setelah
Menunaikan Haji
Orang yang telah menunaikan Haji, dianggap telah membersihkan dirinya
daripada segala dosa dan kesalahan, setelah menunaikan Ibadah Haji, khususnya
setelah kembali ke Tanah Air maka beberapa hal perlu diperhatikan :
-
Sentiasa menjaga diri dalam keadaan bersih dari segala noda dan dosa dengan
menjauhkan perkara-perkara mungkar yang dilarang.
-
Memperbanyakkan amal soleh untuk meningkatkan iman dan ketaqwaan
- Memperbaiki
diri ke arah yang lebih sempurna di segi akhlak dan perbuatan
Dengan
terlaksananya segala apa yang diuraikan seperti di atas, maka besar kemungkinan
seseorang itu akan mencapai ke tahap Haji Mabrur yang diidamkan oleh setiap
pengunjung Baitullah. Amiin.
Khusus bagi wanita yang menunaikan
ibadah haji, terdapat ketentuan-ketentuan yang berbeda dengan haji bagi lelaki.
Antara lain adalah terdapat aturan hal-hal sebagai berikut.

Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah di
dalam kitab shahihnya, bahwa Sayyidah ‘Aisyah Ra. Bertanya kepada Rasululllah
SAW: “Ya Rasululllah! Tidak wajibkah bagi wanita turut berjihad (berperang)?”
Jawab Rasululllah SAW : “Jihad yang diwajibkan bagi mereka tidak berperang,
tetapi haji dan ‘umrah.”



























Tentang thowaf
wada’ bagi wanita yang sedang haidl:
Nabi Muhammad
bersabda:
Diriwayatkan
dari Aisyah r a. ia berkata: Shofiyah binti Huyaiy r a. mengalami haidl setelah
thowaf ifadloh. Kata Aisyah, lalu aku bercerita kepada Rasululloh saw. tentang
haidl Shofiyah, maka Rasululloh saw bertanya: Apakah dia akan menangguhkan
kepulangan kita?, kata Aisyah: ya Rasululloh sesungguhnya Shofiyah telah
melakukan thowaf ifadloh dan thowaf di baitulloh, lalu dia mengalami haidl
setelah thowaf ifadloh. Maka Rasululloh bersabda: Silahkan dia pulang ( tanpa
thowaf wada’ ), Shohih Muslim, hadits no. 754, shohih Bukhori, hadits no. 1733
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas r a. ia berkata jamaah haji diperintahkan untuk thowaf wada’ di
Baitulloh menjelang pulang, kecuali perempuan yang sedang haidl yang diberi
keringanan ( anpa thowaf wada’). Shohih Muslim, hadits no.755. shohih Bukhori
hadits no. 1755
Umroh Romadlon.
Diiriwayatkan
dari Ibnu Abbas r a. bahwasanya Nabi saw. pernah bertanya kepada seorang
perempuan dari kaum Anshor yang bernama Ummu Sinan, apa yang menghalangimu
sehingga tidak turut berhaji bersama kami? Perempuan itu menjawab ada dua
saluran air milik ayah anakku ( yakni milik suaminya ). Ketika suamiku haji,
putranya yang megurus salah satu dari dua saluran air tersebut, sedngkan yang
satu lagi diurus oleh pembantu kami untuk engairi kebun kurma milik kami, maka
Rasululloh bersabda: Jika kau berumroh di bulan Romadlon, berpahala seperti
haji yakni berpahala seperti haji bersamaku. Shohih Muslim, hadits ke 758,
shohih Bukhori hadits no. 1782.
Wanita yang haidl dan nifas bila ingin berihrom
Diriwayatkan ari Aisyah r a. ia berkata: Asma’ binti umais
melahirkan Muhammad bin Abu Bakar di dekat pohon (di Dzul Hulaifah), lalu
Rasululloh mmerintahkan Abu Bakar agar menyuruh Asma’ mandi kemudian berihrom.
Shohihi Muslim, hadit no. 650.
ADAB-ADAB
SEBELUM MENUNAIKAN FARDHU HAJI
Setiap
amalan yang baik akan menjadi lebih sempurna dan diterima oleh Allah SWT, jika
dilakukan mengikut adab-adab tertentu. Dalam mengerjakan Haji, ulama telah
menggariskan beberapa adab sebelum menunaikan Haji yang perlu dipatuhi agar
dapatmemperoleh Haji yang mabrur. Adab-adab tersebut adalah :
1.
Niat Yang Ikhlas
Ikhlas
di dalam niat adalah asas penerimaan segala ibadat . Ikhlas membersihkan jiwa
yang hendak menghdap Allah SWT dari segala penyakit nafsu, seperti : ria, ujub,
sombong dll
2.
Bertaubat Dari Segala Dosa Dan Kezaliman
Hendaklah
bersungguh-sungguh bertaubat dari maksiat dan segala yang dibenci oleh Allah,
membiasakan lidah untuk mengucapkan istighfar dan berusaha serta berazam untuk
meninggalkan maksiat selama-lamanya
3.
Selesaikan Hak-Hak Allah : Shalat, Zakat,
Nazar, Kifarat, Fidyah
4.
Selesaikan Hak-hak Manusia
-Meminta
maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan
-Menyelesaikan
hutang-hutangnya, atau mewakilkannya kepada orang lain untuk ditunaikan
hutang-hutangnya itu
-Menyelesaikan
urusan-urusan yang masih belum terselesaikan dengan orang ataupun pihak lainnya
yang mempunyai urusan
-Mengembalikan
segala amanah yang masih dipegang kepada pemberi amanah
-Menyelesaikan
pembahagian harta pusaka dan hal-hal berkaitan dengannya, seperti wasiat, hibah
dan sebagainya
-Menulis
wasiat menyangkut hak-hak Allah maupun hak-hak kerabat/handai taulan
-
Memberi bekal
untuk keluarga yang ditinggalkan untuk mencukupi kebutuhan sampai dengan
kembali dari menunaikan ibadah haji
5.
Mencari Keridhaan
Berusaha
memperoleh keredhaan dengan cara berpamitan kepada : orang tua, suami, guru,
kerabat/keluarga, sahabat
6.
Memperbaiki diri ke arah yang lebih baik :
-Memahami
maksud dan tujuan haji haji
-
Membuang
sifat-sifat buruk, keji. Melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua
larangan-Nya
-
Jangan menunggu
perubahan setelah sampai di Tanah Suci atau selepas selesai mengerjakan haji,
tetapi ubah diri kita dahulu dari sekarang mengikut hal-hal yang tersirat di
dalam maksud dan tujuan ibadah haji.
-Rajin
ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah
-Banyak
membaca Al-Qur’an, berdoa dan beri’tikaf
7.
Biaya haji berasal dari sumber yang halal, tidak mengandung syubhat
Imam
Syafi’I, Imam Malik, Imam Abu Hanifah mengenai harta haram untuk haji : “Sah
secara zahir, tetapi tidak mabrur dan jauh dari penerimaan/ridha Allah
SWT”.Imam Ahmad bin Hanbal : “Tidak sah hajinya dengan harta haram”.
8.
Mempelajari kaifiah (cara-cara) mengerjakan haji dengan baik sesuai Sunnah
Rasulullah SAW, sebagaimana
sabda beliau : “Pelajarilah manasik haji dariku karena aku tidak tahu, mungkin
aku tidak lagi bisa berhaji setelah tahun ini….. “
KESALAHAN
YANG SERING DILAKUKAN
SHALAT
SUNNAH THAWAF
Kesalahan
yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji di sini adalah angapan mereka, bahwa shalat dua rakaat harus dilakukan dekat
dengan Maqam Ibrahim, sehingga terjadilah desakdesakan, menyakiti orang lain
yang sedang thawaaf, dan mengganggu jalannya thawaf mereka. Anggapan seperti
ini adalah anggapan yang salah, karena shalat dua rakaat setelah thawaf sah
dilakukan dimana saja di Masjidil Haram; bisa di belakang Maqam Ibrahim
sehingga posisi maqam Ibrahim terletak antara dia dan Ka’bah meskipun agak
jauh, bisa juga shalat di halaman (lingkaran) masjid, atau bisa pula di serambi
masjid, sehingga dapat terhindar dari aniaya orang lain, tidak menyakiti orang
lain dan tidak disakiti, dan dapat shalat dengan khusyu’ serta tenang.
Kesalahan
yang lain; bahwa sebagian
jamaah, setelah selesai melakukan shalat dua rakaat, berdiri dan berdo’a ersama-sama
dengan suara keras di bawah pimpinan komando mereka, sehinga menggangu orang
lain yang sedang shalat di belakang Maqam. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman
: “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara lembut,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (qs
Al-A’raf : 55)
SA’I
Kesalahan
yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang sedang melakukan sa’i di sini
adalah bahwa ketika naik ke bukit Shafa dan
Marwa mereka menghadap Ka’bah, bertakbir tiga kali dan mengangkat tangan sambil
mengisyaratkan dengan tangan mereka sebagaimana mereka lakukan dalam shalat,
kemudian turun dari bukit. Hal ini bertentangan dengan sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Untuk itu, hendaknya mereka melakukan sesuai dengan
sunnah jika mungkin, atau meninggalkan kesalahan tersebut dan tidak megada-ada
sesuatu perbuatan yang belum pernah dilakukan olen Nabi shallallahu alaihi
wasallam.
Kesalahan
yang lain; mereka berlari
kecil mulai dari shafa sampai Marwa dan dari Marwa ke Shafa. Hal ini
bertentangan dengan sunnah Rasulullah. Karena lari kecil (menurut sunnah) hanya
dilakukan pada dua tanda hijau saja, sedang sisanya hanya dilakukan jalan
biasa. Hal ini sering terjdi mungkin karena ketidakmengertian atau karena
tergesa-gesa ingin segera
selesai
sa’i.
WUKUF
DI ARAFAH
1.
Mereka turun di luar batas daerah Arafah dan berdiam (berhenti) di tempat
masing-masing (di luar daerah arafah) sampai matahari terbenam, kemudian menuju
ke Muzdalifah tanpa wuquf di Arafah, ini merupakan kesalahan yang besar, karena
wuquf di Arafah merupakan salah satu rukun Haji yang tak sah Haji seseorang
tanpa wuquf di Arafah.
Maka
barang siapa tidak wuquf di Arafah pada saat wuquf, hajinya tidak sah,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Haji itu adalah wuquf di Arafah. Barang
siapa datang pada malam pertemuan tersebut sebelum fajar berarti wuqufnya sah”.
Kesalahan yang fatal terjadi karena mereka tertipu oleh sebagian jamaah.
Sebagian jamaah ada yang turun sebelum sampai daerah Arafah tanpa memperhatikan
tanda-tanda batas daerah Arafah, sehinga haji mereka tidak sah dan orang lain
yang datang kemudian tertipu mengikutinya dan tidak sah pula hajinya.
2.
Mereka meninggalkan Arafah sebelum matahari terbenam. Perbuatan ini adalah
haram, karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
yang berwuquf sampai matahari terbenam dan hilang bulatannya. Di samping itu,
meningalkan Arafah sebelum matahari terbenam adalah perbuatan orang-orang
jahiliyah.
3.
Mereka menghadap ke Jabal Arafah saat berdo’a sementara Kiblat berada di
belakang, kiri, atau kanan mereka. Hal ini bertentangan dengan sunnah
Rasulullah SAW yang berdo’a sambil menghadap Kiblat.
MELEMPAR
JUMROH
1.
Keyakinan mereka, bahwa batu kerikil harus diambil dari Muzdalifah, sehingga
mempersulit mereka sendiri dengan harus mencarinya di tengah malam dan
membawanya pada hari-hari Mina. Pernah terjadi, seseorang kehilangan satu batu
kerikilnya dan sedihnya bukan kepalang. Dia minta tolong kawannya untuk dapat
memberikan kepadanya kerikil yang diambil dari Muzdalifah. Padahal sudah jelas
hal itu tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau
pernah memerintahkan Ibnu Abbas ra untuk mengambilkan kerikil sementara belliau
berada di atas kendaraan. Tampaknya waktu itu beliau sedang berada di Jumrah,
dan karena saat itulah waktu memerlukannya; maka beliau tidak pernah
memerintahkan untuk mengambil kerikil sebelum di Jumrah, karena hal itu tidak
perlu dan merepotkan dalam membawanya.
2.
Keyakinan mereka, bahwa dengan melempar Jumrah, berarti melempar setan, yang
sebenarnya tidak ada dalil yang benar yang dapat dijadikan dasar. Dan
sebagaimana telah kita ketahui sebelumya bahwa hikmah disyari’atkan melempar
jumrah adalah untuk mendirikan dzikir kepada Allah Azza wajalla, dan untuk
itulah mengapa Nabi SAW bertakbir pada setiap lemparan batu kerikil.
3.
Mereka melempar dengan kerikil-kerikil besar, sepatu atau sandal, seperti
pantopel (sepatu boot), dan kayu. Hal ini adalah suatu kesalahan yang besar dan
bertentangan dengan apa yang disyari’atkan oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam kepada ummatnya dengan perbuatan dan perintahnya, dimana beliau
melempar hanya dengan batu kerikil sebesar kerikil untuk pelenting ketepil dan
memerintahkan ummatnya melempar jumrah dengan kerikil sebesar itu, serta
mengingatkan mereka untuk tidak berlebih-lebihan dalam beragama. Kesalahan
besar ini terjadi karena keyakinan mereka, bahwa mereka sedang melempar setan.
4.
Mereka maju mendekati jumrah dengan paksa dan kekerasan tanpa rasa khusyu’
kepada Alah dan tanpa rasa kasih sayang kepada sesama hamba Allah yang lain,
sehingga dengan perlakuan kasar tersebut terjadilah penganiayaan dan gangguan
terhadap orang lain, dan terjadi pula saling caci maki dan saling pukul. Hal
ini dapat merubah suasana ibadah dan tempat ibadah ini menjadi pemandangan
saling caci dan saling bunuh, menyebabkan mereka keluar dari tujuan
disyari’atkan ibadah ini dan keluar dari apa yang dilakukan oleh Nabi SAW.
5.
Mereka tidak berdo’a setelah melempar Jumrah Pertama (jumrah Shughra) dan kedua
(jumrah Wustha) pada hari-hari tasyriq. Padahal Nabi SAW setelah melempar
keduanya berdiam diri, menghadap Kiblat sambil mengangkat kedua tangannya dan
berdo’a dengan do’a yang panjang. Orang-orang tidak berdo’a setelah melempar
jumrah pertama dan tidak pula berdo’a setelah melempar jumrah kedua, mungkin
karena ketidaktahuan mereka tentang sunnah Rasulullah dalam hal ini atau
mungkin karena ingin cepat selesai dari ibadah haji. Alangkah baiknya, jika
para jamaah haji telah belajar terlebih dahulu hukum-hukum yang berkenaan
dengan ibadah haji sebelum melakukan haji agar dapat beribadah kepada Allah
dengan penuh pengetahuan dan ilmu, serta dapat mengikuti sunnah Rasulullah.
Orang yang akan bepergian ke suatu negara saja bertanya-tanya tentang jalan yang
akan dilewati sehingga dapat sampai ke negara tersebut dengan pengetahuan yang
cukup, bagaimana halnya dengan orang yang ingin melewati jalan menuju kepada
Allah subhanahu wata’ala dan surgaNya??, tentu baginya lebih perlu dan lebih
harus bertanya terlebih dahulu sebelum melewati jalan tersebut sehingga sampai
ke tujuan.
6.
Mereka melempar seluruh kerikil (tujuh batu kerikil) sekaligus dengan satu
kepalan. Seharusnya, mereka melempar batu kerikil satu demi satu sebagaimana
yang dilakukan oleh Nabi SAW. Mereka menambah beberapa ucapan do’a yang tidak
pernah diucapkan oleh Nabi SAW pada saat melempar. Yang paling utama, hendaknya
cukup dengan membaca takbir, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi tanpa di
tambah dan dikurangi.
7.
Mereka meremehkan atau seenaknya melempar Jumrah dengan mewakilkan kepada orang
lain, padahal mereka mampu melakukannya sendiri. Mereka melakukan hal itu
(mewakilkan kepada orang lain) agar terbebas dari repotnya berdesak-desakan dan
kesulitan melempar. Hal ini bertentangan dengan perintah Allah Ta’ala untuk
menyempurnakan Haji, sebagaimana firmannya : “Dan sempurnakan ibadah haji dan
umrah karena Allah.” (QS Al-Baqarah : 196). Seharusnya orang yang mampu
melempar jumrah hendaknya melakukannya sendiri dan dapat bersabar terhadap kesulitan
dan keletihan, karena ibadah haji memang merupakan jihad yang mengandung
kesulitan dan pengorbanan.
THAWAF
WADA’
1.
Mereka turun dari Mina, pada hari Nafar, sebelum melempar jumrah, untuk thawaf
wada’, kemudian kembali lagi ke Mina untuk melempar jumrah lalu lengsung pulang
ke negara mereka dari situ. Ini tidak boleh, karena bertentangan dengan
perintah Nabi SAW bahwa saat terahir para jamaah haji adalah di Ka’bah. Orang
yang melempar jumrah setelah thawaf wada’ berarti telah menjadikan saat-saat
ahirnya adalah di Jumrah dan tidak di Ka’bah. Nabi shallallahu alaihi wasallam
sendiri juga tidak pernah thawaf wada’ kecuali ketika akan meninggalkan Makkah,
setelah seluruh ibadah Haji beliau selesai.
2.
Mereka tetap berada di Makkah setelah thawaf wada’, sehingga saat-saat ahirnya
tidak di Ka’bah. Hal ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan dan
diterangkan oleh Nabi SAW kepada ummatnya dengan perbuatannya. Nabi SAW telah
memerintahkan agar saat-saat ahir jamaah haji adalah di Ka’bah dan beliau
sendiri tidak thawaf wada’ kecuali ketika akan meninggalkan Makkah, begitu juga
para sahabat beliau melakukan. Hanya para ulama’ memberikan keringanan
(membolehkan) untuk tetap berdiam di Makkah setelah thawaf wada’ kepada orang
yang memang benar-benar mempunyai kepentingan yang besar, seperti: harus shalat
terlebih dahulu karena qamat untuk shalat telah berbunyi, datang jenazah dan
harus ikut menshalatkannya, atau ada keperluan yang berkenaan dengan
perjalanannya seperti membeli barang, menunggu teman dan lain sebagainya.
Adapun jika berdiam di Makkah, setelah thawaf wada’, tanpa alasan-alasan yang
diperbolehkan, maka wajib baginya mengulangi thawaf wada’nya kembali.
3.
Mereka keluar dari masjid setelah thawaf wada’ dengan berjalan mundur, dengan
anggapan hal itu merupakan penghormatan terhadap Ka’bah. Hal ini bertentangan
dengan sunnah, bahkan termasuk perbuatan bid’ah yang diperingatkan oleh
Rasulullah SAW dan sabda beliau : “Setiap bid’ah adalah sesat”.
4.
Mereka menoleh ke Ka’bah saat sampai di pintu masjid, setelah selesai thawaf
wada, dan berdo’a di sana seperti sedang mengucapkan selamat tinggal dan
selamat berpisah kepada Ka’bah. Hal ini juga termasuk bid’ah, karena belum
pernah tersebut dalam hadits shahih dari Nabi SAW maupun dari Khulafaur
Rasyidin.
FATWA MANASIK HAJI UNTUK
WANITA
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah
Daar Ibnu Khuzaimah
Segala puji milik Allah Tuhan sekalian alam. Sholawat dan
salam semoga tercurahkan untuk penghulu para rasul, nabi kita Muhammad SAW. Inilah beberapa
fatwa penting yang amat dibutuhkan oleh jamaah haji baik laki -laki maupun
wanita yang hendak beribadah haji sesuai petunjuk agamanya. Dan kami telah
mengumpulkan serta memilah fatwa-fatwa tersebut dari kumpulan fatwa Samaahatus
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah dengan harapan akan merata
manfaatnya dan akan menjadi rujukan/ panduan yang jelas bagi mereka yang tidak
memungkinkan untuk memperdalam masalah hukum-hukum haji. Kami berdoa kepada
Allah agar Dia membalas setiap orang yang membaca dan berpartisipasi dalam
menyebarkan fatwa ini.
Ø
Wanita berihram dengan mengenakan busana
muslimah biasa
Pertanyaan: Bolehkah bagi wanita untuk berihram dengan
busana apapun yang ia kehendaki?
Jawab: Ya boleh, Ia boleh berihram
dengan busana yang ia kehendaki, tidak ada pakaian khusus untuk ihram bagi
wanita sebagaimana persangkaan sebagian orang awam. Akan tetapi yang lebih
utama ia berihram dengan busana yang tidak mencolok dan tembus pandang, karena
ia akan berkumpul dengan banyak orang. Maka seyogyanya pakaian ihromnya tidak
tembus pandang dan mencolok tetapi yang biasa dan tidak mengundang fitnah.
Seandainya ia berihram menggunakan pakaian yang mencolok maka ihramnya sah
tetapi ia meninggalkan sesuatu yang lebih utama.
Adapun laki-laki yang lebih utama ialah berihram dengan
dua lembar kain putih, terdiri dari sarung dan selendang. Dan jika ia berihram
dengan pakaian selain warna putih maka tidak mengapa. Terdapat penjelasan dari
Rasulullah SAW bahwasannya beliau memakai sorban berwarna
hitam. Yang penting tidak mengapa orang laki-laki berihram dengan pakaian
selain warna putih.
Ø
Wanita yang melepas pakaian ihram karena
alasan haid setelah ia berniat ihram untuk umrah
Pertanyaan: Seorang wanita berihram untuk
umrah lalu datang waktu haid, lalu ia menanggalkan pakaian ihramnya dan
membatalkan umrahnya lalu pulang (ke negrinya), bagaimana hukumnya?
Jawab: Wanita tersebut tetap dalam
keadaan ihram secara hukum, adapun ia menanggalkan pakaian ihramnya tidak
mengeluarkannya dari keadaan ihram secara hukum. Dan wajib baginya untuk
kembali ke Mekkah lalu menyempurnakan umrahnya dan tidak ada kaffarah (denda)
baginya lantaran menanggalkan pakaian umrah serta kepulangannya ke negrinya jika
perbuatannya tersebut dilakukan karena unsur ketidak tahuan. Akan tetapi jika
ia telah bersuami lalu suaminya menyetubuhinya sebelum ia kembali (ke Mekkah)
untuk menunaikan umrah maka hal itu akan merusakkan umrahnya. Walaupun demikian
ia wajib menunaikan umrahnya tersebut, walaupun sudah rusak, lalu menggantinya
dengan umrah yang lain dan bersamaan dengan itu ia terkena fidyah (tebusan)
yaitu sepertujuh unta atau sepertujuh sapi atau seekor kambing yang berumur
enam bulan atau satu tahun yang disembelih di Tanah Haram Mekkah lalu dibagikan
kepada fakir miskin di Tanah Haram sebagai akibat rusaknya umrah karena
bersetubuh. Dan bagi wanita diperbolehkan berihram dengan pakaian apapun yang
ia kehendaki. Tidak ada pakaian khusus untuk berihram bagi wanita sebagaimana
persangkaan orang awam, akan tetapi yang lebih utama hendaklah pakaian ihramnya
tidak mencolok sehingga tidak mengundang fitnah. Wallahu a’lam.
Ø
Hukum melepas jalinan rambut wanita saat ia
berihram
Petanyaan: Apakah melepas jalinan rambut
atau memakai pacar di tangan atau kedua kakinya saat wanita berihram termasuk
larangan ?
Jawab: Tidak mengapa dalam masalah ini.
Melepas jalinan rambut tidak mengakibatkan resiko apa-apa dan tidak pula
dianggap sengaja memotong rambut. Menguraikan jalinan rambut untuk dicuci atau
sebab lain tidak mengapa. Yang dilarang adalah memotong rambut sebelum selesai
(tahallul) dari ihramnya. Adapun melepas jalinan rambut atau membilas rambut
dengan sesuatu atau menyemirnya dengan pacar dan yang semisalnya maka tidak
memudharatkan. Tetapi jika ia mewarnai tangan dan kedua kakinya, hendaklah ia
menutupnya dengan pakaian dari pandangan orang lain, karena (bila tidak) akan
mengundang fitnah / (menarik pandangan lelaki yang bukan muhrimnya-pent).
- Seandainya ia mencampur pacar dengan sesuatu yang mirip
minyak wangi (bagaimana)? Tidak boleh, minyak wangi tidak boleh, terlarang.
Tetapi kalau pacar saja tanpa ada tambahan lain tidak mengapa asalkan tangan
dan kaki tertutup saat thawaf, sa’i dan saat berada di tengah laki-laki.
Ø
Hukum rambut kepala yang rontok
Pertanyaan: Apa yang seharusnya dilakukan wanita yang
sedang berihram jika rambut kepalanya rontok tanpa kesengajaan ?
Jawab: Jika seseorang sedang berihram
baik laki-laki maupun wanita lalu ada beberapa helai rambut yang rontok saat
mengusap kepala baik sewaktu berwudhu maupun mandi maka hal tersebut tidak
memudharatkannya. Begitu juga jenggot, kumis, atau kuku tidak mengapa asalkan
tidak disengaja. Hanya saja yang dilarang jika sengaja memotongnya, adapun
sesuatu yang lepas/jatuh dengan tanpa sengaja tidaklah mengapa karena ia adalah
anggota tubuh yang tidak bernyawa yang mungkin lepas saat bergerak. Wallahu
a’lam.
Petanyaan: Bolehkah wanita yang sedang haid membaca
buku-buku doa pada hari Arafah mengingat padanya terdapat ayat-ayat Al Quran?
Jawab: Tidak ada halangan bagi wanita
haid dan nifas membaca doa-oa yang tertulis saat menjalankan ibadah haji. Dan
juga tidak mengapa membaca Al Quran
menurut pendapat yang benar, karena tidak terdapat nash yang benar dan tegas
yang melarang wanita haid dan nifas untuk membaca Al Quran. Hanya saja terdapat
(keterangan) secara khusus bagi orang yang junub untuk tidak membaca Al Quran
dalam keadaan junub, berdasarkan hadits Ali radliyaallahu ‘anhu. Adapun
wanita haid dan nifas maka terdapat hadits Ibnu Umar radliyaallahu ‘anhuma
: Janganlah wanita haid dan nifas membaca sesuatu dari Al Quran. Akan tetapi
hadits tersebut lemah karena dari riwayat Ismail bin ’Iyasy dari kaum Hijaz,
padahal ia adalah rawi yang dlaif (lemah) jika meriwayatkan dari mereka. Akan
tetapi wanita yang haid dan nifas boleh membaca dalam hati tanpa menyentuh
mushaf Al Quran. Adapun orang yang sedang junub tidak diperbolehkan membaca Al
Quran baik dalam hati maupun langsung dari mushaf sampai ia mandi. Perbedaan
diantara keduanya adalah bahwa orang yang junub masanya singkat dimana
kemungkinannya untuk mandi seketika setelah selesai bersetubuh dengan istrinya
kapan ia mau ia bisa mandi. Dan jika tidak mungkin menggunakan air ia dapat
bertayammum lalu shalat dan membaca (Al Quran).
Adapun
wanita yang haid dan nifas maka bukan kemauannya tetapi semata-mata adalah
kehendak Allah Azza Wa Jalla, kapan ia suci dari haid atau nifasnya ia
harus mandi. Haid membutuhkan waktu beberapa hari demikian juga nifas. Oleh
karena itu dibolehkan bagi kedua golongan tersebut untuk membaca Al Quran agar
tidak lupa dan tidak terlewatkan keutamaan membaca Al Quran. Juga dibolehkan
untuk mempelajari hukum-hukum syariat dari kitab Allah terlebih lagi membaca
buku-buku yang berisi doa-doa yang diambil dari hadits dan ayat Al Quran atau
yang lainnya. Inilah yang benar dan merupakan pendapat yang paling benar dari
dua perkataan para ulama (semoga Allah
merahmati mereka) dalam masalah
ini.
Ø
Hukum menggunakan tablet penunda haid
Pertanyaan: Apakah termasuk perkara yang dibolehkan bagi
seorang wanita untuk menggunakan tablet penunda haid (siklus bulanan) sampai ia
selesai menunaikan kewajiban haji? Dan adakah alternatif lain baginya?
Jawab: Tidak ada halangan bagi seorang
wanita untuk menggunakan tablet penunda haid yang bisa menghalangi haid pada
hari-hari bulan Ramadhan sehingga ia bisa berpuasa bersama kaum muslimin dan
pada musim haji sehingga ia dapat thawaf bersama jamaah haji lain dan tidak
tertinggal dari amalan-amalan haji. Dan jika ada selain tablet yang dapat
mencegah haid maka tidak mengapa selama tidak dilarang oleh syariat dan tidak
pula membahayakan.
Pertanyaan: Bagaimana wanita yang sedang haid shalat
sunnah ihram dua rakaat? Dan bolehkah ia mengulang-ulang dzikir apa saja dalam
hatinya ?
Jawab:
a.
Wanita yang sedang haid tidak boleh sholat
sunnah ihram dua rakaat, ia bisa berihram dengan tanpa shalat. Dan dua rakaat
ihram hukumnya sunnah menurut sebagian besar (jumhur) ulama, dan sebagian lagi
tidak menyukainya karena tidak terdapat nash yang khusus dalam masalah ini.
Jumhur ulama menganggapnya sebagai perkara sunnah berdasarkan keterangan dari
Nabi Muhammad SAW............Allah
Azza Wa Jalla: "Shalatlah Engkau di
lembah (wadi) yang penuh berkah ini dan ucapkan عمرة في
حجة" (Diriwayatkan oleh Bukhari di
kitab Shahihnya), maksudnya di Waadi Al 'Aqiiq saat haji wada'. Dan terdapat
keterangan dari shahabat bahwa beliau shalat lalu berihram, maka dari itu
jumhur ulama menyukai jika niat ihram dilakukan setelah shalat baik shalat
wajib maupun sunnah, berwudhu lalu shalat dua rakaat. Wanita yang sedang haid
dan nifas tidak termasuk orang yang diwajibkan shalat, sehingga keduanya
berihram tanpa diawali dengan shalat, dan juga tidak disyariatkan mengganti
shalat dua rakaat tersebut.
b.
Dibolehkan bagi wanita yang haid untuk
mengulang-ulang lafadh Al Quran menurut pendapat yang benar, baik di dalam hati
dimana hal ini disepakati seluruh ulama. Hanya saja terdapat perbedaan pendapat
apakah ia melafadhkannya atau tidak? Sebagian ulama mengharamkan hal tersebut
serta menjadikan larangan membaca dan menyentuh Al Quran termasuk bagian dari
hukum-hukum haid dan nifas. Dan pendapat yang benar adalah bolehnya membaca Al
Quran di dalam hati tetapi bukan dari mushaf, karena tidak ada nash shahih yang
melarang hal tersebut berbeda dengan orang yang sedang junub, dimana ia
terlarang sehingga mandi atau bertayammum jika tidak mampu mandi sebagaimana
penjelasan terdahulu.
Pertanyaan: Tidak sah lagi bahwa thawaf ifadlah
merupakan rukun dari rukun-rukun haji. Jika wanita haid tidak mengerjakannya
karena sempitnya waktu dan juga tidak ada waktu untuk menunggu masa suci maka
bagaimana hukumnya?
Jawab: Wajib baginya dan walinya untuk
menunggu sampai ia suci lalu bersuci dan melakukan Thawaf Ifadlah berdasarkan
sabda nabi Muhammad SAW tatkala diberitahu bahwa Shafiyyah datang
bulan.................Tatkala diberitahu bahwa ia sudah melakukan Thawaf
Ifadlah beliau bersabda: Berangkatlah
kalian semua. Tetapi jika tidak memungkinkan untuk menunggu dan mungkin
baginya untuk kembali (ke Mekkah) untuk thawaf maka boleh baginya untuk pulang
lalu kembali lagi setelah suci untuk melakukan thawaf. Dan jika tidak
memungkinkan atau khawatir tidak bisa kembali seperti penduduk dari
negeri-negeri yang jauh dari Mekkah al Mukarramah seperti penduduk Maghrib
(Maroko), Indonesia dan yang semisal dengan itu maka dibolehkan baginya untuk
thawaf dengan niat haji (sambil berhati-hati agar darah haid tidak mengalir)
menurut pendapat yang shahih. Dan perbuatannya tersebut dianggap memadai
menurut sebagian ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Al
’Allamah Ibnul Qayyim, semoga Allah merahmati keduanya dan para ulama yang
lain.
Ø Wanita yang haid saat thawaf
ifadlah tetapi tetap diteruskan karena malu
Pertanyaan: Seorang wanita berangkat haji lalu tibalah
masa haidnya sejak lima hari dari tanggal keberangkatannya. Setelah tiba di
miqat ia mandi dan berniat ihram sementara ia belum suci dari haidnya. Ketika
tiba di Makkah al Mukarramah ia tinggal di luar Masjidil Haram dan tidak
melakukan sedikitpun dari amalan haji dan umrah. Ia tinggal di Mina selama dua
hari kemudian suci lalu mandi dan mengerjakan seluruh rangkaian ibadah umrah
dalam keadaan suci. Kemudian ia kembali mengeluarkan darah saat sedang thawaf
ifadlah waktu haji, hanya saja ia merasa malu dan tetap menyempurnakan seluruh
amalan haji. Ia tidak memberitahu walinya kecuali setelah tiba di negaranya,
maka bagaimana hukumnya?
Jawab: Jika kenyataannya seperti yang
disebutkan penanya maka bagi wanita tersebut harus kembali ke Mekkah lalu
thawaf di Ka’bah tujuh putaran dengan niat thawaf haji sebagai pengganti dari
thawafnya saat haid, lalu shalat dua rakaat setelah thawaf di belakang maqam
Ibrahim atau di tempat lain dalam Masjidil Haram. Dengan demikian sempurnalah
hajinya dan wajib baginya menyembelih dam di Mekkah dan dibagikan kepada
orang-orang fakir di Mekkah, jika sudah menikah dan sudah bersetubuh dengan
suaminya sepulang haji. Karena wanita yang sedang berihram tidak boleh
bersetubuh dengan suaminya sebelum thawaf ifadlah, melempar jumrah aqabah saat
hari raya Idul Adha dan memotong rambutnya. Dan ia juga wajib sa’i antara Shafa
dan Marwa jika ia berhaji tamattu’ dan belum melakukan sa’i haji. Adapun jika
ia berhaji qiran atau ifrad maka tidak wajib melakukan sa’i yang kedua jika ia
telah melakukannya bersamaan thawaf qudum. Dan ia juga wajib bertaubat kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas apa yang telah ia perbuat dengan
melakukan thawaf saat haid, keluar dari Mekkah sebelum thawaf dan karena
mengakhirkan thawaf ifadlah dalam jangka waktu yang lama. Kita memohon kepada
Allah agar Ia menerima taubat wanita tersebut.
Ø Wanita yang datang bulan sebelum Thawaf Ifadlah
Pertanyaan: Seorang wanita berhaji bersama
suaminya, dan pada hari Arafah ia dikejutkan dengan datangnya haid. Dan seperti
diketahui bahwa wanita yang haid dapat melakukan apa yang dilakukan oleh jamaah
haji lain kecuali thawaf di ka’bah berdasarkan hadits Aisyah. Akan tetapi
apakah ia tetap tinggal di Mekkah sampai thawaf ifadlah atau apa yang harus ia
lakukan? Dan apa yang harus ia lakukan saat tinggal di Mekkah jika orang-orang
yang bersamanya telah meninggalkan Mekkah?
Jawab: Yang wajib bagi wanita yang
sedang haid atau nifas sebelum ia Thawaf Ifadlah adalah tetap tinggal di Mekkah
sampai sempurna ibadah hajinya berdasarkan sabda nabi SAW tatkala
diberitahu bahwa Shafiyyah sedang haid saat hari raya Idul Adha, beliau
bertanya? : .....Para shahabat menjawab: Wahai Rasulallah, ia sudah melakukan
thawaf ifadlah. Lalu beliau berkata: Berangkatlah kalian semua (Muttafaqun
alaih). Akan tetapi para ulama menyebutkan bahwa jika seorang wanita tidak bisa
menunggu sampai suci boleh baginya untuk pulang ke negerinya lalu balik lagi ke
Mekkah untuk menyempurnakan hajinya berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa
Ta’ala: ”Bertakwalah kalian semua kepada Allah semampu kalian” dan sabda
nabi SAW : ”Apa-apa yang telah aku larang
untuk kalian semua maka jauhilah, dan apa-apa yang aku perintahkan kalian semua
maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian” (Muttafaqun ’alaih).
Dan jika ia telah bersuami maka suaminya tidak boleh
mendekatinya (menyetubuhinya) sampai ia kembali ke Mekkah dan menyempurnakan
hajinya. Adapun thawaf wada’ maka ia gugur atas wanita yang haid dan nifas,
berdasarkan hadits dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Ibnu Abbas radliyaallahu
‘anhuma beliau bersabda: Nabi memerintahkan agar akhir amalan (haji) mereka
adalah dengan thawaf mengelilingi Ka'bah, hanya saja beliau meringankan bagi
wanita yang sedang bulan".
Allah-lah Yang Memberi taufiq.
Ø Wanita yang haid sebelum Thawaf Ifadlah
Pertanyaan: Jika seorang wanita haid sebelum
thawaf ifadlah bagaimana hukumnya? Mengingat ia telah melaksanakan
amalan-amalan haji lainnya sementara haidnya masih berlanjut sampai hari-hari
Tasyriq?
Jawab: Jika seorang wanita haid atau
nifas sebelum thawaf haji (ifadlah), maka yang tetap menjadi kewajibannya
adalah thawaf sampai ia suci. Apabila
telah suci ia harus mandi lalu thawaf untuk hajinya walaupun beberapa hari
setelah selesai haji, bahkan masuk bulan Muharram atau Shafar sekalipun. Tidak
ada batasan waktu, tergantung kemudahan. Dan sebagian ulama berpandangan
bahwasannya tidak boleh mengakhirkan thawaf sampai setelah Bulan Dzulhijjah,
akan tetapi ini adalah pendapat yang tidak ada dalilnya, bahkan yang benar
boleh mengakhirkannya. Akan tetapi bersegera untuk melakukannya jika mampu
adalah lebih utama. Jika ia mengakhirkannya setelah Dzulhijjah maka dianggap
cukup dan ia tidak terkena dam. Karena wanita haid dan nifas adalah termasuk
orang yang memiliki udzur sehingga tidak ada halangan atas keduanya, karena
tidak mungkin menghindar dalam masalah ini. Jika keduanya telah suci bisa
melakukan thawaf baik di bulan Dzulhijjah maupun di bulan Muharram.
Ø Mengumpuli istri setelah thawaf ifadlah
Pertanyaan: Apabila seorang jamaah haji selesai
mengerjakan thawaf ifadlah apakah boleh baginya untuk berkumpul dengan istrinya
selama hari-hari Tasyriq?
Jawab: Apabila seorang jamaah haji selesai
mengerjakan thawaf ifadlah tidak halal baginya untuk mendatangi istrinya
kecuali telah menyempurnakan amalan-amalan lainnya seperti melempar jumrah
aqabah,mencukur atau memendekkan rambut. Dan ketika itu dihalalkan baginya
wanita dan jika belum maka tidak boleh. Thawaf saja tidak cukup tetapi harus
melempar jumrah aqabah pada hari Ied, demikian juga mencukur atau memendekkan
rambut dan melakukan sa'i jika ia belum melakukannya. Dengan ini semua halal
baginya untuk mencampuri istri, adapun tanpa ini semua tidak boleh. Tetapi jika
ia telah melakukan dua dari tiga amalan haji seperti melempar jumrah dan
mencukur atau memendekkan rambut maka dibolehkan baginya pakaian berjahit,
wewangian dan yang semisalnya kecuali jima'. Demikian juga jika ia telah
melempar lalu thawaf atau mencukur maka halal baginya wewangian, pakaian berjahit,
binatang buruan, memotong kuku dan yang semisalnya, akan tetapi tidak halal
baginya berjima dengan istri kecuali dengan berkumpulnya tiga perkara yaitu
melempar jumrah aqabah, mencukur atau memendekkan rambut, thawaf ifadlah dan
sa'i jika ia mempunyai kewajiban sa'i seperti orang yang berhaji tamattu'.
Setelah ini semua barulah halal baginya (bersetubuh dengan) wanita. Wallahu
a'lam.
Ø
Mewakilkan
(orang lain) saat melempar jumrah
Pertanyaan: Apakah boleh mewakilkan orang
yang sudah tua saat melempar jumrah karena alasan sakit atau yang semisalnya?
Jawab: Ya boleh mewakilkan orang yang
sudah tua saat melempar jumrah karena alasan sakit, sudah tua atau masih
terlalu kecil. Demikian pula bagi mereka yang khawatir atas keselamatan orang
lain seperti wanita hamil dan yang memiliki anak kecil dimana ia tidak mendapati
orang yang bisa menjaga anaknya sampai ia kembali dari melempar. Karena
dikhawatirkan terjadi bahaya dan kecelakaan bagi kedua orang tersebut jika
berdesakan dengan banyak orang saat melempar. Para ulama telah menentukan
masalah ini dan mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan Imam
Ahmad dan Ibnu Majah dari Jabir radliyaallahu ‘anhu ia berkata: Kami
berhaji bersama Rasulullah SAW dan ikut bersama kami
wanita dan anak-anak. Maka kami pun bertalbiyah untuk anak-anak dan melempar
jumrah untuk mereka. Termasuk juga argumentasi mereka dalam masalah ini adalah
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : "Bertakwalah kalian semua sesuai
kemampuan kalian" dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: "Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan " (Surat Al
Baqarah:195) dan sabda nabi: "Jika aku memerintahkan kalian suatu perkara
maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian" serta sabda beliau : "Tidak
boleh memberikan mudharat dan tidak pula mendapatkan kemudharatan"
Ø Hukum wanita mengenakan kaos
kaki saat ihram
Pertanyaan: Aku mengenakan kaos kaki hitam
yang menutupi kedua kakiku saat ihram dan akupun thawaf dengannya. Lalu ada
yang mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan ihram dan aku terkena dam. Aku
mohon penjelasan kepada Anda Syaikh yang mulia tentang hukum mengenakan kaos
kaki saat ihram, thawaf dan shalat? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Jawab: Ini adalah perbuatan mulia yang
perlu anda syukuri dikarenakan hal tersebut dapat menutup aurat serta menjauhkan
dari sebab-sebab timbulnya fitnah. Dan yang mengatakan kepada anda bahwa anda
terkena dam dalam masalah tersebut sesungguhnya telah salah dan
berlebih-lebihan. Karena yang dilarang bagi wanita yang berihram adalah
mengenakan kaos tangan saja. Adapun mengenakan kaos di kedua kaki bagi wanita
maka tidak mengapa bahkan merupakan keharusan saat thawaf dan shalat. Dan tidak
ada halangan untuk menutupi keduanya dengan pakaian yang lebar yang menutupi
kedua kakinya pada saat thawaf dan shalat. Dan tidak disyaratkan kaos kakinya
berwarna hitam boleh juga berwarna selain hitam dengan syarat menutup kedua
kaki. Semoga Allah menganugerahkan taufiq kepada kita semua untuk mendapatkan
kebenaran. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.
Ø
Apabila seorang wanita nifas pada hari
kedelapan Dzulhijjah lalu suci sepuluh hari kemudian
Pertanyaan: Wanita yang nifas apabila masa
nifasnya dimulai dari hari tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) dan ia sudah
menyempurnakan semua rukun haji kecuali thawaf dan sa’i, hanya saja ia
memperkirakan akan suci terhitung sepuluh hari lagi, apakah ia bersuci lalu
mandi dan menyelesaikan rukun haji yang belum (ia kerjakan) yaitu thawaf haji?
Jawab: Ya, jika ia nifas pada hari
kedelapan misalnya maka ia harus berhaji lalu wukuf bersama jamaah haji lain di
Arafah dan Muzdalifah. Dan ia juga harus melakukan apa yang dikerjakan jamaah
haji lain seperti melempar jumrah, memotong rambut, menyembelih hadyu dan yang
lainnya. Selanjutnya yang tersisa baginya hanyalah thawaf dan sa’i yang dapat
ia tangguhkan sampai suci. Jika telah suci setelah sepuluh hari, lebih atau
kurang, ia mandi lalu shalat, puasa, thawaf dan sa’i. Dan tidak ada batasan
minimal untuk nifas, mungkin saja seorang wanita suci dalam masa sepuluh hari
atau bisa kurang atau lebih dari itu, tetapi batas maksimalnya adalah empat
puluh hari. Jika telah sempurna empat puluh hari sementara darah belum terhenti
maka ia teranggap sudah suci. Ia harus mandi, sholat, puasa sementara darah
yang masih tersisa menurut pendapat yang benar adalah darah rusak. Ia dapat
shalat walaupun masih ada sisa darah, berpuasa dan halal bagi suaminya untuk
menggaulinya, tetapi hendaknya ia berusaha untuk menahan darah dengan kapas
atau yang semisalnya dan berwudlu setiap akan shalat serta tidak mengapa
baginya untuk menjama’ shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya sebagaimana
nabi SAW telah berwasiat kepada Hamnah binti Jahsy tentang hal itu.
Ø
Hukum wanita yang sedang haid berihram
untuk umrah
Pertanyaan: Seorang wanita bertanya sambil
bercerita: Ia pernah terkena udzur yaitu haid, sementara keluarga mengajaknya
pergi umrah, jika tidak ikut ia akan sendirian di rumah. Lalu ia pun pergi
umrah bersama mereka. Ia menyempurnakan semua syarat umrah seperi thawaf, sa’i
seakan-akan ia tidak dalam keadaan haid. Hal itu karena tidak mengerti dan rasa
malu untuk memberitahu walinya tentang masalah itu terlebih lagi ia seorang
yang buta huruf tidak mengenal baca tulis. Apa yang wajib baginya?
Jawab: Jika ia berihram untuk umrah
bersama keluarga maka wajib baginya untuk mengulang thawaf setelah mandi dan
mengulang potong rambut. Adapun sa’i dianggap mencukupi menurut pendapat yang
paling benar dari dua pendapat ulama. Dan jika ia mengulang sa’i setelah thawaf
tentu lebih baik dan lebih berhati-hati. Dan ia harus bertaubat kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala karena thawaf, sa’i dan shalat sunah thawaf dua rakaat dilakukan
dalam keadaan haid.
Jika ia telah bersuami tidak halal bagi suaminya untuk
menggaulinya sampai ia menyempurnakan umrahnya. Dan jika suami sudah terlanjur
menggaulinya sebelum ia menyempurnakan umrahnya maka ia terkena dam yaitu
seekor kambing berumur enam bulan atau satu tahun yang disembelih di Mekkah
untuk orang-orang fakir. Selain itu ia juga wajib menyempurnakan umrahnya
sebagaimana yang telah kami sebutkan baru saja. Ia juga harus mengerjakan umrah
yang lain dari miqat dimana ia berihram saat umrah pertama sebagai pengganti
umrahnya yang telah rusak. Jika saat ia thawaf dan sa’i bersama keluarga
tersebut karena sungkan dan malu sedang ia tidak berihram untuk umrah dari
miqat, maka tidak ada kewajiban baginya kecuali bertaubat kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, karena umrah dan haji tidak sah tanpa ihram, sedang ihram
sendiri adalah berniat umrah atau haji atau keduanya sekaligus.
TANYA
JAWAB HAJI
Kapankah jatuhnya kewajiban haji itu bagi
seorang Muslim ?
Jawab :
Memang dalam setiap ibadah termasuk ibadah haji salah
satu syaratnya adalah niat yang ikhlas, yaitu berniat hanya untuk Allah semata.
Sebab kalau ibadah itu tak diiringi niat karena Allah swt maka ibadahnya itu
tak akan diterima di sisi Allah swt.Allah swt berfirman, ”Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan)
ketaatan kepada-Nya... ” (Al-Bayyinah: 5). Adapun secara spesifik terdapat
syarat-syarat dalam ibadah haji adalah, Islam, berakal, baligh, merdeka dan
mempunyai kesanggupan atau kemampuan secara fisik, finansial dan aman dalam
perjalanan. Allah swt berfirman, ”...Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan
ke Baitullah...” (Al-Imran: 97).
Maka apabila sudah terpenuhi syarat-syarat di atas sejatinya seorang Muslim
segera menunaikan ibadah haji sebelum maut menjemput. Dalam hal ini Rasulullah
saw bersabda, “Bersegeralah kalian dalam menunaikan haji-yakni haji
wajib-, karena seseorang tak tahu apa yang akan menimpa dirinya” (HR
Ahmad dan Abu Dawud) . Para ulama bahkan bersepakat bahwa ketidak mampuan
seseorang yang didahului dengan kemampuan untuk mengerjakan haji tidak akan
menggugurkan kewajiban haji seseorang.Jadi dianjurkan manakala seorang Muslim
telah memenuhi syarat untuk berhaji maka sebaiknya segera ditunaikan sambil
berusaha untuk meniatkannya karena Allah swt.Wallahua'lam
Bagaimana
hukumnya mengenai acara Waliimatussafar (Ratiban) yang dilaksanakan sebelum
berangkat menunaikan ibadah haji, apakah Rasulullah juga melakukan hal demikian
?
Jawab
:
Waliimatussafar berasal dari akar kata Waliimah yang
berarti jamuan atau pesta dan Safar yang berarti perjalanan. Dengan
demikian kata Waliimatussafar berarti jamuan atau pesta bagi orang yang
hendak melakukan perjalanan jauh. Dalam kaitannya dengan ibadah haji maka
sebenarnya Rasulullah tak pernah melakukan acara Waliimatussafar secara
khusus, dan jika berkeyakinan bahwa acara Waliimatussafar ini merupakan
rangkaian dari ibadah haji maka itu mengada-ngada (bid’ah). Apalagi kalau acara
Waliimatussafar akan merusak ibadah haji itu sendiri seperti mengurangi
keikhlasan, padahal ikhlas itu ruhnya ibadah. Pasalnya tak sedikit orang ingin
menggelar acara Waliimatussafar hanya untuk tujuan tak seharusnya
seperti agar nantinya ia disebut pak/ibu haji, sehingga terjebak dalam
perbuatan Riya. Namun demikian kalau acara Waliimatussafar ini sebagai
bagian dari rangkaian adab-adab safar (melakukan perjalanan jauh) dan bukan
bagian dari rangkaian ibadah haji maka itu malah dianjurkan.
Dalam kontek pertanyaan Anda ini Imam Nawawi dalam
kitabnya Al-Iidhaah telah merinci adab-adab safar itu yang antara lain:
sebelum berangkat meninggalkan rumah dianjurkan untuk shalat dua rakaat dimana
pada rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun dan pada rakaat kedua membaca
Al-Ikhlas, kemudian setelah salam membaca ayat Kursi, surat Al-Quraisy,
Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas yang dilanjutkan dengan berdo’a agar urusannya
dimudahkan.
Adab safar lain yang disebutkan Imam Nawawi adalah:
hendaknya ia mengucapkan wada’ (pamitan) terhadap keluarga, para tetangga dan
para teman dekatnya. Tujuannya adalah untuk meminta maaf terhadap mereka dan
agar mereka mendo’akannya.
Begitu
pula Imam Nawawi menyebutkan adab-adab kepulangan dari safar, di antaranya:
ketika tiba di rumah dianjurkan agar menuju mesjid terdekat untuk kemudian
shalat dua rakaat, dan demikian juga apabila masuk ke rumah dianjurkan untuk
shalat dua rakat lalu berdo’a dan memanjatkan rasa syukur kepada Allah swt.
Adapun niatnya adalah tanpa perlu mengucapkannya dengan lafal-lafal khusus yang
berbahasa Arab, tapi cukup berniat di hati saja tanpa perlu dilafalkan. Jadi
shalat dua rakaat sepulang ibadah haji bukanlah sunah haji tetapi bagian dari
adab safar saja.
Kesimpulannya
adalah jika Waliimatussafar itu dianggap sebagai rangkaian ibadah haji
dan menimbulkan efek negatif seperti riya maka itu sama sekali tak dibenarkan,
tapi jika muatan Waliimatussafar itu ternyata merupakan pengamalan dari
adab-adab safar maka itu dianjurkan. Wallaahua'lam
Bagaimana
hukumnya seorang muslimah pergi haji tanpa disertai mahrom ?
Jawab
:
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum Muslimah
berhaji wajib tanpa mahram. Dr. Yusuf Qardhawi dan Syaikh Athiyyah Shaqr,
mantan Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar, membolehkannya jika ia ditemani orang yang
amanah, atau Muslimah itu merasakan aman dalam perjalanannya baik ketika pergi
maupun pulang, atau bersama dengan sebuah lembaga terpercaya yang mengkoordinir
perjalanan haji itu. Pasalnya, pengharaman tanpa mahram itu karena saddan
adz-dzarai, yaitu upaya preventif atau kuatir atas kondisi wanita. Dan jika
kekuatiran atas keselamatan wanita atau fitnah yang akan menimpa wanita itu
tidak ada, maka boleh baginya pergi haji tanpa mahram. Memang asal hukum
berpergian bagi wanita itu tak boleh sendirian, tapi ia harus ditemani suaminya
atau mahramnya. Nabi saw bersabda, ”Seorang wanita tak boleh berpergian
kecuali dengan mahramnya...”, (HR Bukhari). Hadits lainnya, ”Tak halal
bagi wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berpergian dengan jarak
tempuh sehari semalam tanpa ditemani mahramnya”, (HR Malik, Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah). ”Seorang wanita tak boleh
berpergian jarak tempuh dua hari tanpa suaminya atau mahramnya”, (HR
Bukhari dan Muslim dari Abi Said). Dari Ibnu Umar, ”Tak boleh (wanita)
berpergian tiga hari kecuali dengan mahramnya”. (HR Bukhari dan
Muslim)
Itulah hadits-hadits yang terkait dengan tidak bolehnya
wanita berpergian tanpa disertai suami atau mahramnya. Kendati demikian, Ibnu
Daqiq Al-Ied menyebutkan bahwa Qadhi Abi Al-Walid Al-Yaji, ulama dari mazhab
Maliki, mengecualikan wanita tua yang tak diinginkan lagi (untuk dinikahi).
(Fathul Baari, Jilid 4, h. 447). Al-Atsram meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa
Mahram itu bukan syarat dalam haji wajib. Menurut Al-Auzai, (muslimah) boleh
bersama dengan jamaah orang-orang terpercaya. Sementara Malik mengatakan,
(boleh) bersama dengan jamaah perempuan. Syafi'i mengatakan, bersama Muslimah
lainnya yang terpercaya. Ulama-ulama Syafiiyah berpendapat, boleh sendirian
jika aman. (Al-Furuu, Jilid 3, h. 235-236). Bahkan mazhab Maliki
membolehkan seorang wanita berhaji ikut rombongan laki-laki atau campuran
antara laki-laki dan wanita, tapi syaratnya mereka dapat dipercaya alias
amanah, artinya tak akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Dalil mazhab Syafi'i dan Maliki adalah makna ayat... “Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah...” (Ali 'Imran: 97). Makna ayat ini
masih global, artinya tanpa disebutkan apakah harus bersama suaminya atau
mahramnya, yang penting ia sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Karena
itu kalau seorang wanita terhindar dari kerusakan atau hal-hal tak diinginkan
dalam pelaksanaan haji maka ia wajib berhaji.
Perlu
diperhatikan bahwa kebolehan dari mazhab Syafi'i dan Maliki hanya untuk
perjalanan ibadah wajib, seperti haji wajib, adapun untuk perjalanan yang
sifatnya tak mendesak dan masih ada alternatif lain maka kedua mazhab itu tetap
mengharuskan disertai mahram. Wallaahua'lam
Pantaskah Seorang Muslim Berhaji Tapi
Ibadahnya Bolong-Bolong ?
JAWAB
:
Minimal
dalam sebuah ibadah, termasuk ibadah haji, ada dua syarat agar ibadah itu
diterima di sisi Allah yaitu, ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah saw. Ikhlas artinya bahwa seseorang beribadah
karena Allah semata bukan karena ingin dipuji orang atau karena tujuan lainnya.
Allah swt berfirman, ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah
kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya... (Al-Bayyinah: 5).
Jadi, shalat yang masih bolong-bolong bukanlah penghambat atau penghalang
ibadah haji , artinya meski shalat masih bolong-bolong maka hajinya tetap sah.
Namun perlu diketahui bahwa salah satu tanda haji yang mabrur adalah manakala
seseorang setelah berhaji akan semakin taat kepada Allah swt.
Terakhir yang harus di ketahui adalah, meninggalkan
shalat wajib yang lima waktu termasuk dosa besar dan harus segera bertobat.
Bahkan para ulama menganggap orang yang meninggalkan shalat wajib dengan
sengaja tanpa ada uzur syar'i apapun maka ia telah keluar dari agama Islam
alias kafir. Wallaahua'lam
Sudah
niat haji tetapi kemudian meninggal dunia.Apakah niat orang itu untuk berhaji
akan diterima Allah, dan apakah Allah juga akan memberikan pahala haji bagi
orang itu ?
JAWAB
:
Yang Anda tanyakan sebenarnya berkaitan dengan masalah
niat ibadah atau amal saleh yang tak sempat direalisasikan. Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah saw pernah bersabda, Dari
Abi Al-'Abbas Abdillah bin Abbas bin Abdi Al-Muthallib ra, dari Rasulullah saw
seperti yang ia riwayatkan dari Rabbnya Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, beliau
mengatakan bahwa Allah Yang Maha Tinggi telah menuliskan amalan-amalan baik dan
tercela, lalu ia menjelaskan, maka barangsiapa berkeinginan (berniat) dengan
sebuah amalan baik kemudian ia tak mengerjakannya, maka Allah Yang Maha Suci
dan Maha Tinggi menuliskannya di sisi-Nya sebagai sebuah kebaikan yang
sempurna. Dan jika berkeinginan atas amalan (baik) itu lalu ia mengerjakannya
maka Allah menuliskan di sisi-Nya sepuluh hingga tujuh ratus kali dan lipatan
ganda kebaikan. Jika ia berkeinginan terhadap sebuah kejahatan serta tak
mengerjakannya maka Allah Yang Maha Tinggi menuliskannya di sisi-Nya sebagai
sebuah kebaikan yang sempurna, dan jika ia berkeinginan atas amalan (jahat) itu
lalu ia mengerjakannya maka Allah menuliskannya sebagai sebuah kejahatan. (HR Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits di atas maka dengan niat haji itu ia
akan mendapat pahala kebaikan di sisi Allah. Kendati demikian tentunya ia tak
akan mendapatkan pahala haji, pasalnya ia belum mengerjakan amalan haji.Wallahu'alam
Berhaji dan Masih Memiliki Hutang , atau
berhaji dengan uang pinjaman ?
JAWAB :
Sekali lagi bahwa haji diwajibkan atas Muslim yang
memiliki Istitha’ah (kesanggupan), hal ini didasarkan pada firman Allah
SWT : ”…Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah…”(Ali ‘Imran: 97). Yang dimaksud dengan
kesanggupan itu adalah tersedianya perbekalan (seperti ongkos) untuk
mengantarkannya ke Baitullah dan tersedianya dana untuk menutupi kewajiban-kewajiban
yang harus dipenuhinya selama ia menunaikan haji, seperti kewajiban melunasi
hutang, cicilan motor dan kebutuhan primer sehari-hari lainnya. Dan tak
diperbolehkan menunda pembayaran hutang yang harus segera dilunasi jika memang
ia mampu melunasinya, terlebih si pemberi pinjaman membutuhkan uang tersebut,
karena perbuatan itu termasuk menzalimi pihak lain. Kemudian perlu diketahui
bahwa pada dasarnya pelunasan hutang merupakan hak hamba dan pelaksanaan ibadah
haji merupakan hak Allah, dalam hal ini pemenuhan hak Allah seperti haji ini
lebih luas waktunya ketimbang pemenuhan hak hamba berupa hutang piutang yang
terkadang harus segera dipenuhi. Maka wajarlah ketika Sahabat Nabi Abdullah bin
Aby Aufa bertanya kepada Nabi SAW tentang seorang yang belum berhaji, “Apakah
dia berhutang ? Nabi SAW
menjawab: Tidak! (
H.R.Al-Baihaqy ).
Jika
seseorang berangkat haji tetapi mengakibatkan kewajiban pelunasan hutang
menjadi terganggu, maka ia berdosa karena ia telah menzhalimi pihak lain, namun
demikian hajinya tetap sah. Kalau ada orang yang berhutang kepada
tetangga-tetangganya kemudian mau pergi haji, maka seharusnya ketika akan
berangkat haji maka ia wajib meminta izin terlebih dahulu ke tetangga-tetangga
yang dihutanginya. Jika ia diizinkan maka boleh baginya untuk berangkat haji
dengan syarat ia yakin sepulangnya dari haji dapat melunasi hutang itu, jika
tidak yakin maka sebaiknya ia mununda keberangkatannya, jika masih juga
memaksakan untuk berangkat maka hajinya tetap sah namun ia berdosa karena telah
menzalimi tetangga-tetangga yang dihutanginya dengan tidak segera melunasi
hutang-hutangnya itu.Wallahua’alam
Badal haji untuk orang yang sudah meninggal
dan syarat-syaratnya ?
JAWAB :
Status
haji salah puteranya itu tergantung niat si bapak, sebab segala amalan,
termasuk ibadah haji, tergantung niatnya. Kalau niatnya untuk diri sendiri maka
hajinya sah dan jika niatnya untuk orang lain (badal haji) maka ini berkaitan
dengan syarat-syarat orang yang berhak menggantikan ibadah haji orang lain.
Syarat-syarat orang yang menggantikan haji orang lain adalah: Baligh dan waras
(mukallaf), pernah berhaji untuk dirinya (tak mesti dua kali), hendaknya ia
berniat dengan mengucapkan “Saya berniat Ihram atas nama si Fulan”.
Namun demikian, mazhab Hanafi tak mensyaratkan agar orang yang menggantikan
haji orang lain itu pernah berhaji terlebih dahulu, alasannya dalil tentang
kebolehan badal haji bersifat umum tanpa disebutkan apakah ia pernah berhaji
atau belum. Menurut mereka, hukum orang yang menggantikan haji orang lain
sedang ia sendiri belum berhaji adalah makruh tahrim (yaitu tingkatan makruh
tertinggi). Adapun dalil diperbolehkannya badal haji adalah dari Ibnu Abbas dan
yang lainnya, Seorang wanita dari Juhainah mendatangi Nabi saw dan berkata,
sesungguhnya ibuku telah bernazar hendak berhaji, namun tak juga berhaji sampai
ia meinggal, apakah saya berhaji untuknya? Beliau menjawab, Ya… (HR.
Jamaah). Dan masih ada lagi hadits-hadits lainnya yang intinya membolehkan
badal haji. Wallahua'lam.
Hukum Umrah Berkali-Kali ketika Haji dan di
Luar Haji
JAWAB :
Dalam hidupnya Rasulullah hanya menunaikan 4 kali umrah
yaitu umrah Hudaibiyah pada tahun ke-6 H, umrah berikutnya pada tahun ke-7 H,
umrah Ji'ranah tahun ke-8 H dan umrah ketika beliau berhaji, yang menurut
pendapat paling kuat Rasulullah berhaji dengan cara Qiron, yaitu berihram untuk
haji dan umrah sekaligus atau berihram untuk umrah saja lalu memasukkan niat
haji sebelum Tawaf. Maka jelaslah
bahwa ketika berhaji Rasulullah hanya sekali berumrah.
Adapun
hukum umrah berkali-kali, baik di bulan-bulan haji atau di luar bulan haji,
menurut mayoritas ulama hukumnya sunah, dasarnya adalah: Dari Abi Hurairah
r.a., bahwa Nabi saw bersabda, "Dari umrah ke umrah lainnya adalah penebus
dosa (kaffaarah) di antara keduanya...".(H.R Buhkari dan Muslim).
Dalam kitab Al-Majmu' Imam Nawawi mengatakan, dua atau tiga kali atau
lebih umrah dalam setahun atau dalam sehari taklah dimakruhkan, bahkan tanpa
diragukan lagi, dalam pandangan kami (mazhab Syafi'I) memperbanyaknya
disunnahkan. Menurut Ash-Shan'ani dalam Subulus Salaam mengatakan, sabda
Nabi saw Dari umrah ke umrah lainnya merupakan dalil berulang-ulangnya
umrah, dan itu tak makruh dan tak dibatasi waktu. Perlu diketahui bahwa mereka
yang mengatakan bahwa makruh melakukan umrah berkali-kali dalam satu tahun,
maka kemakruhan ini, menurut mereka, akan hilang manakala ia beberapa kali
memasuki kota Mekkah dari arah di mana di sana ada miqot ihram.Wallahua'alam
Anak Bernazdar Menghajikan Orang Tua Tapi
Belum Pernah Berhaji ?
JAWAB :
Ibadah
haji hukumnya wajib 'Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan oleh
setiap individu Muslim. Karena itu, manakala seorang Muslim telah memiliki
semua persyaratan untuk menunaikan ibadah haji, maka dirinyalah yang lebih
dahulu terkena kewajiban itu, bukan orang lain.
Jadi,
memang sebaiknya anak lebih dahulu berhaji ketimbang orang tua. Pasalnya, yang
sebenarnya telah terkena kewajiban haji itu adalah anaknya sendiri bukan orang
tua. Selain itu, hukum fiqih tak menyebutkan siapa yang wajib diutamakan dalam
berhaji antara anak dengan orang tuanya, artinya tidak perlu mendahulukan orang
tua dalam melaksanakan haji ketimbang diri sendiri. Demikian juga dalam kaidah
ushul fiqih dikenal dengan kaidah “Laa Itsaara fi al 'Ibaadah.
Maksudnya “Tidak perlu mendahulukan orang lain dalam hal Ibadah”. Namun
demikian, jika anak tersebut berjanji untuk menghajikan ibunya bila dia sudah
bekerja misalnya, maka dalam kondisi ini anak harus dan wajib menghajikan orang
tua, dan inilah yang dinamakan dengan Nadzar. Allah swt berfirman, ”...dan hendaklah
mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka... (Al-Hajj: 29).Jadi
kesimpulannya, anak tersebut wajib dan harus memberikan biaya naik haji untuk
orang tua meski dia belum naik haji, karena itu berkaitan dengan nadzar
.Wallaahua'lam
Haji Tamattu, Ifrad, atau Qiran?
JAWAB :
Secara sederhana pengertian dari 3 macam cara manasik
haji di atas adalah sebagai berikut : Pertama, Ifrad adalah berihram
untuk haji saja pada waktu haji. Kedua, Qiran adalah berihram untuk haji
dan umrah sekaligus atau berihram untuk umrah saja lalu memasukkan niat haji
sebelum Tawaf. Dan ketiga, Tamattu’ yaitu mengerjakan umrah pada bulan-bulan haji
kemudian setelah itu mengerjakan haji.
Pada dasarnya bagi jemaah dibolehkan untuk menggunakan
salah satu dari 3 macam cara di atas, hal itu ditegaskan oleh hadits, Dari
Aisyah ra berkata, kami pergi bersama Rasulullah saw di tahun haji Wada. Di
antara kami ada yang berniat ihram untuk umrah, ada yang berniat ihram untuk
haji dan umrah dan ada pula yang berniat ihram untuk haji dan Rasulullah saw
sendiri berniat ihram untuk haji. Adapun yang berniat ihram untuk umrah maka ia
dalam keaadaan halal pada hari sampainya, dan adapun yang berniat ihram untuk
haji atau menggabungkan antara haji dan umrah maka ia tak dalam keadaan halal
sampai hari Nahar. (HR Ahmad, Bukhari, Muslim dan Malik). Namun dalam
hadits lain disebutkan bahwa Nabi saw telah menyuruh kepada orang yang tidak
membawa binatang sembelihan agar menjadikan niat hajinya dirubah untuk umrah
dan bertahallul serta bertamattu sampau melakukan ihram untuk haji. Sabda beliau, “Jika tidak karena binatang sembelihanku, tentu
aku menghalalkan diriku sebagaimana yang kalian lakukan…” (HR Muslim). Jadi
berdasarkan hadits itu Nabi saw menjelaskan bahwa beliau tak melakukan Tamattu
karena beliau membawa binatang sembelihan. Ringkasnya, berdasarkan hadits ini,
haji selain Tamattu diperuntukkan bagi mereka yang membawa binatang sembelihan.Wallahua’lam
Jika
sudah haji tetapi sifat buruk tidak berubah, apakah hajinya mabrur ?
JAWAB
:
Nabi saw bersabda, Dari Abi Hurairah ra, ia
mengatakan: Rasulullah saw bersabda, “Haji yang mabrur itu tak ada
ganjarannya selain dari surga… (HR Muslim, Ahmad dan An-Nassai). Haji yang
mabrur artinya haji yang diterima di sisi Allah, karenanya Allah akan memberi
dia Al-Birru, artinya pahala. Seseorang akan dapat meraih haji mabrur manakala hajinya
itu tak dikotori dengan perbuatan-perbuatan dosa. Dengan demikian orang yang
menginginkan haji mabrur maka hendaknya meluruskan niat hajinya itu terlebih
dahulu, yaitu karena Allah bukan karena lainnya, seperti agar dapat
dipanggil bapak/ibu haji, demi popularitas, atau tujuan duniawi lainnya. Dengan
demikian mabrur tidaknya seseorang tak dapat dipastikan dari kaca mata manusia,
karena itu hanya Allah saja yang mengetahuinya. Namun demikian, kita dapat
berusaha untuk meraih gelar mabrur itu, diantaranya niat yang ikhlas, haji dari
uang yang halal dan bersih serta tak mengandung unsur syubhat, mengerjakan
semua amalan sunah dan akhlak dalam berhaji seperti tak mencaci, berbantah-bantahan
dan berkata-kata keji. Memang indikasi mabrur atau tidaknya seseorang dalam
berhaji dapat terlihat dalam kesehariannya pasc ahaji, seperti menunaikan
kewajiban-kewajiban dan sunah agama, berakhlak mulia, banyak bertaubat,
beristigfar dan amalan kebaikan lainnya. Namun kepastian mabrur tidaknya tetap
hanya Allah saja yang Maha Mengetahui. Wallahua’lam
Bagaimana prioritas haji antara suami dan
istri ?
JAWAB :
Prioritas
haji antara suami dan istri dalam sebuah keluarga dapat dijelaskan sebagai
berikut : pertama, kalau dana itu hasil usaha atau harta si suami maka
si suami sama sekali tak diwajibkan untuk menghajikan si istri, pasalnya
kewajiban si suami hanyalah memberikan nafkah kepada istrinya berupa makanan,
pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan primer lainnya. Kendati demikian si suami
dapat saja menghajikan istrinya sebagai bentuk cinta kasih terhadapnya, tentu
ini kalau si suami mempunyai cukup dana dan menginginkan istrinya berhaji. Tapi
kalau hanya memiliki dana cukup untuk dirinya saja, maka bagi si suami sudah
wajib haji. Kedua, bila dana itu dari hasil usaha/atau harta si istri,
maka si istri lebih berhak untuk menunaikan ibadah hajinya terlebih dahulu. Ketiga,
sebenarnya prioritas dalam berhaji itu dapat ditentukan dan dirundingkan sesuai
situasi dan kondisi keluarga Anda, dan langkah ini lebih bijak dan tak
menimbulkan keretakan antara suami-istri. Wallahua’lam
Badal
Haji bagi Orang Uzur
JAWAB
:
Perlu diketahui bahwa Badal haji bukan hanya
diperuntukkan bagi mereka yang telah tiada, tapi Badal haji juga berlaku bagi
mereka yang ditimpa sakit dan didera uzur. Hal
ini sesuai hadits Rasulullah saw, Dari Abdullah bin Abbas ra, ia berkata, Fadhal berkendaraan
dengan membonceng Rasulullah. Tiba-tiba datanglah seorang wanita dari Khats’am.
Fadhal melihat kepadanya demikian pula wanita itu melihat kepada Fadhal. Maka
Rasulullah pun memalingkan muka Fadhal ke arah lain sementara Wanita itu
bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, Allah mewajibkan haji atas
hamba-hamba-Nya dan kebetulan ayahku telah sangat tua renta hingga tak sanggup
lagi berkendaraan, maka apakah saya berhaji untuknya?” Beliau menjawab,
“Boleh”. Dan peristiwa itu ketika haji Wada’. (HR Bukhari).Wallahua’lam
Apa saja yang harus dipersiapkan sebelum
berangkat Haji ?
JAWAB :
1. BARANG BAWAAN
Sebaiknya sebelum berangkat inventarisasikan dulu
barang-barang yang akan dibawa. Sebenarnya masing-masing orang akan mempunyai
kepentingan yang berbeda berkaitan dengan barang yang akan dibawanya. Kendati
demikian berikut ini perlengkapan standard dan pada umumnya dibutuhkan oleh
setiap jemaah haji, yaitu :
Pakaian. Jika Anda pergi saat musim panas maka
siapkan pakaian yang terbuat dari bahan yang tipis dan dapat menyerap keringat.
Pilihlah warna putih atau warna terang agar tak menyimpang panas. Hindarkan
warna hitam. Begitu sebaliknya, jika di musim dingin maka siapkan pakaian
penghangat dan selimut.
Bagi jemaah pria pakaian yang diperlukan adalah, beberapa
potong baju kemeja tangan panjang, beberapa potong oblong (T-Shirt bahan
katun), beberapa potong celana bahan katun, pakaian dalam dan kaos kaki
secukupnya, pakaian tidur dan handuk kecil, baju hangat atau jaket untuk di
dalam pesawat. Bagi jemaah wanita adalah, beberapa potong bajau/blouse tangan
panjang, beberapa baju kurung berleher/lengan panjang, beberapa potong celana
yang panjang longgar, satu-dua potong pakaian tidur, pakaian dalam secukupnya,
beberapa kaos kaki, 3 potong mukena pendek, 4 potong tutup kepala dari katun,
satu jaket untuk di pesawat. Semua pakaian di atas sebaiknya diberi nama agar
tak tertukar ketika dijemur di pemondokan Mekah atau di Medinah. Jangan bawa
pakaian terlalu banyak sebab akan memberatkan.
Mandi dan Cuci. Bawalah perlengkapan mandi dengan merek
seperti yang biasa dipakai sehari-hari di tanah air. Adapun perlengkapan mandi
dan mencuci yang harus dipersiapkan adalah, tas atau kotak sabun, sabun mandi,
sabun cuci, sabun colek, sabun serbuk, sikat gigi dan odol, shampoo, handuk,
parfum/deodoran, gunting kuku, pisau cukur (bagi pria), dan gayung. Saat berada
di asrama haji atau di tanah suci perlengkapan mandi dan mencuci ini sangat
dibutuhkan, begitu pula saat beradad di bandara udara Jeddah.
Makanan. Pihak Depag atau Biro Haji telah menyiapkan
makanan untuk jemaah haji, bahkan ketika tiba di Bandara King Andul Aziz
makanan bagi jemaah telah disiapkan. Untuk mendapatkan makanan siap saji selama
di tanah suci, tidaklah sulit karena banyak di jual di sana. Selain itu,
makanan juga disediakan pada saat tertentu, seperti saat wuquf di Arafah, mabit
di Mina atau di Muzdalifah. Kalau mungkin, bawalah makanan jadi yang bisa tahan
lama, seperti rending, dendeng, sambal teri, serundeng dan lain-lain.
Sebenarnya pemerintah Arab Saudi melarang membawa makanan jadi ini. Namun pada
kenyataannya hampir semua jemaah membawa bekal tersebut tetapi toh tak ada
masalah.
Masak Sendiri. Anda juga boleh memasak sendiri.
Bahan-bahannya banyak tersedia dan mudah didapat, selain itu lebih irit. Yang
agak repot barangkali mengenai kompor dan perabotan masak lainnya. Maka kalau
memang mau praktis, belilah rice cooker multi fungsi yang bisa memasak nasi dan
bisa memasak sayur atau gulai. Rice cooker jenis banyak dijual di Saudi.
Obat-Obatan. Batuk, flu, pilek, infeksi kerongkongan dan
sariawan adalah penyakit yang paling sering menyerang jemaah. Maka bawalah
obat-obatan yang biasa dikonsumsi. Bagi calon jemaah haji yang menderita
penyakit tertentu, sebaiknya menyiapkan obat-obatan seperti yang disarankan
oleh dokter dalam jumlah yang cukup. Vitamin atau multi vitamin sebaiknya
disiapkan juga. Adapun obat-obatan yang biasanya dibutuhkan di tanah suci
adalah, obat batuk, obat flu dan pilek, obat diare, obat kumur, obat luka,
plester, krem pelindung kulit, pelembab bibir, minyak gosok, obat tetes mata
dan obat penunda menstruasi. Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya pelayanan
medis itu telah tersedia baik dari pihak Depag, atau Biro Haji atau pemerintah
Saudi.
Keperluan
Sehari-Hari, yaitu
perlengkapan yang harus disiapkan untuk melakukan perjalanan harian di tanah
suci, seperti ke masjid, ke pasar atau ziarah. Ini perlu demi kenyamanan Anda.
Perlengkapan itu adalah, handuk kecil, kaca mata hitam, kantong kain, masker,
sandal jepit, semprotan air, sepatu kets tipis, buku dan alat tulis yang
mencakup (Al-Qur'an kecil, buku do'a dan zikir, buku manasik haji, buku notes,
spidol), uang bekal tambahan, koper yang agak berbeda dari koper yang dibagikan
pihak Depag atau Biro Haji agar mudah dicari, dan tas tenteng untuk di cabin
pesawat, dan kamera atau handy cam. Adapun buku panduan yang diberikan Depag
saya kira cukup untuk dijadikan rujukan Anda, tapi kalau Anda memandangnya
kurang praktis dn terlalu menjlimet Anda dapat mencari buku panduan lainnya
yang menurut Anda lebih mudah dipahami.
2. MENTAL DAN SPIRITUAL
Pertama yang dilakukan adalah niat yang benar,
artinya menunaikan haji harus karena Allah, bukan karena prestise, karena
sesungguhnya segala amalan itu tergantung niatnya. Kedua, beristikharah
dalam memilih biro perjalanan haji yang sesui dengan tuntunan Rasulullah. Ketiga, minta maaf dan membebaskan diri dari hak-hak
orang lain sebelum keberangkatan. Keempat, meminta restu kepada orang
tua untuk mendapatkan keberkahan. Kelima, menulis wasiat tentang apa
saja yang menjadi haknya dan yang menjadi kewajibannya, karena umur manusia
merupakan rahasia Allah. Keenam, mempelajari tata cara haji dan umrah
secara intensif, hal ini tak lain agar dalam melakukan haji berjalan lancar dan
tak ragu serta sesui dengan tuntunan Nabi saw agar ibadahnya sah serta diterima
di sisi Allah swt. Ketujuh, taubat dengan tulus, hal ini dimaksudkan
agar menjadikan perjalanannya menuju Baitullah merupakan perjalanan Rabbani
yang penuh keberkahan. Kedelapan, memilih teman yang baik. Kesembilan,
pamitan terhadap keluarga dan handai taulan. Wallahua'lam
Bagaimana
hukumnya ikut program PHK agar dapat berhaji ?
JAWAB
:
Pada dasarnya ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka
yang telah memiliki kemampuan. Ini ditegaskan oleh firman Allah swt, ”…Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(Ali ‘Imran: 97).Maka wajarlah
ketika Sahabat Nabi Abdullah bin Aby Aufa bertanya kepada Nabi SAW tentang
seorang yang belum berhaji, “Apakah dia berhutang? Nabi SAW menjawab: Tidak!
( H.R.Al-Baihaqy ).
Berkaitan dengan kasus karyawan yang mengajukan permohonan
untuk di-PHK agar dapat uang pesangon yang besar yang nantinya dipergunakan
untuk berhaji maka itu merupakan hak-nya. Hanya saja hal itu jangan sampai
menyengsarakan yang orang menjadi tanggungannya, seperti anak dan istri. Sebab,
menafkahi keluarga hukumnya wajib dan lebih utama ketimbang berhaji. Kemudian Allah tidak menuntut dari kita di
atas kesanggupan kita.
Tapi kalau memang dia menjamin setelah di-PHK akan dapat
pekerjaan pengganti, apalagi sudah mempunyai pengalaman kerja cukup banyakh,
maka itulah yang seharusnya dilakukan dan dia tak termasuk orang yang menzalimi
keluarga serta insya Allah sah haji-nya. Namun perlu diperhatikan, sebaiknya
direncanakan segala sesuatunya dengan matang sehingga tak mengakibatkan
kemadharatan. Memang sebaiknya haji ditunaikan sesegera mungkin, hal ini pernah
ditegaskan oleh Nabi saw, ”Barangsiapa yang hendak berhaji maka
bersegeralah, karena mungkin ia ditimpa sakit, hilang kendaraan atau ada
keperluan lainnya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Baihaqi dan Ad-Darimi).Kendati
demikian, perintah menyegerakan itu bagi orang yang telah memiliki kemampuan.
Adapun bagi orang yang belum mempunyai kesanggupan maka ia tak dituntut untuk
segera berhaji, lalu jika orang yang belum mempunyai kemampuan itu meninggal
sedang belum berhaji insya Allah ia tak berdosa.Wallahua’lam
Istri pergi haji tanpa izin suami ?
JAWAB :
Pada prinsipnya ketika si istri hendak berhaji maka ia
harus meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Tapi, jika hajinya si istri
itu sifatnya wajib, seperti haji untuk pertama kali, maka ia berhak untuk tetap
pergi meski tak diizinkan oleh suaminya. Pasalnya, haji itu hak Allah dan
merupakan kewajiban agama. Memang mentaati suami itu wajib, tapi mentaati Allah
itu lebih wajib lagi. Kendati demikian, ketika ia berhaji maka ia harus
didampingi mahramnya (orang yang haram dikawininya) atau dengan kelompok wanita
yang dapat dipercayai serta amanah. Jadi, kalau memang hajinya itu sifatnya
wajib, maka itu tetap sah meski tanpa seizin si suami.Wallahua’lam
Jual
tanah untuk biaya pendidikan anak atau berhaji ?
JAWAB :
Haji diwajibkan atas Muslim yang memiliki Istitha’ah
(kesanggupan), hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
”…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(Ali ‘Imran: 97).Yang dimaksud dengan kesanggupan itu adalah tersedianya perbekalan (seperti ongkos) untuk mengantarkannya ke Baitullah dan tersedianya dana untuk menutupi kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikannya selama ia menunaikan haji, seperti memberikan nafkah kepada keluarga yang ditinggalkannya yaitu berupa makanan, pakaian, biaya pendidikan dan kebutuhan primer lainnya. Jadi, jika seseorang belum dapat memenuhi kebutuhan primernya, seperti biaya pendidikan atau sekolah, maka sebenarnya ia tak diwajibkan untuk berhaji, sebab haji diwajibkan setelah ia menunaikan semua kebutuhan pokoknya.Wallahua’lam
”…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(Ali ‘Imran: 97).Yang dimaksud dengan kesanggupan itu adalah tersedianya perbekalan (seperti ongkos) untuk mengantarkannya ke Baitullah dan tersedianya dana untuk menutupi kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikannya selama ia menunaikan haji, seperti memberikan nafkah kepada keluarga yang ditinggalkannya yaitu berupa makanan, pakaian, biaya pendidikan dan kebutuhan primer lainnya. Jadi, jika seseorang belum dapat memenuhi kebutuhan primernya, seperti biaya pendidikan atau sekolah, maka sebenarnya ia tak diwajibkan untuk berhaji, sebab haji diwajibkan setelah ia menunaikan semua kebutuhan pokoknya.Wallahua’lam
Setiap
tahun pergi haji ? (Sedangkan
tetangga dan masyarakat di sekitarnya sangat miskin dan bahkan di kampungnya sendiri
ada sebuah Masjid yang belum selesai dibangun yang masih sangat membutuhkan
dana tambahan)
JAWAB :
Ibadah haji itu wajib ditunaikan hanya sekali dalam
seumur hidupnya, dan mereka yang melakukan haji lebih dari sekali maka hukumnya
sunah. Ini berdasarkan hadits:
Abu Hurairah berkata, Rasulullah telah
berkhutbah di hadapan kami dan mengatakan, “Wahai manusia, Allah telah
mewajibkan haji atas kamu, maka berhajilah.” Lalu seorang laki-laki bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah tiap tahun?” Beliau tetap terdiam sampai pertanyaan
itu diulang tiga kali, maka Nabi saw menjawab, “Andai saya jawab “Ya” maka itu
menjadi wajib sedang kamu tak akan mampu melaksanakannya.” (HR Ahmad, Muslim dan An-Nasai)
Berkaitan dengan pertanyaan ini, perlu sekali di sini
dinukilkan kisah seorang ulama bernama Imam Bisyir Ibnu Al-Harits ketika beliau
ditanya oleh seseorang dengan mengatakan, “Saya memiliki 200 Dirham. Saya ingin
berangkat haji dengan uang itu.” Imam Bisyir bertanya, “Apakah kamu sudah
menunaikan haji?” Orang itu menjawab, “Ya.” Imam Bisyir berkata, “Bukankah aku
sudah tunjukkan sesuatu yang lebih baik dari hal itu?” orang itu menjawab, “Apa
itu?” Imam Bisyir
menjawab, “Pergi dan berikan untuk yatim, janda, fakir miskin, serta ibnu
sabil. Orang itu lalu membagi uangnya yang 200 dirham, kemudian imam Bisyir
berkata, “Ini lebih baik ketimbang haji sunah.” Orang itu berkata, “Akan tetapi, hatiku selalu
teringat kepada Baitullah.” Imam Bisyir berkata kepadanya, “Harta yang
mengandung unsur syubhat (dari sumber yang tak jelas) akan membuat pemiliknya
menafkahkan harta itu sesuai dengan hawa nafsunya, yaitu dirimu.”
Semoga kisah di atas dapat mewakili alasan bagi mereka
yang kerap melakukan ibadah haji atau haji setiap tahun (haji sunah) dan kita
dapat merenungkan dan mengambil hikmah dari kisah itu. Sebenarnya, dalam kasus
ini haruslah diberlakukan fiqih prioritas, yaitu suatu pemahaman mana yang
harus diutamakan, apakah haji sunah atau mengalihkan dana haji sunah itu kepada
bentuk ibadah lain yang lebih bermanfaat, baik dalam skala kecil maupun skala
besar. Contoh skala kecil adalah membantu fakir miskin dan pembangunan
yayasan-yayasan sosial Islam dan mesjid di sekitarnya. Maka akan menjadi kurang
etis atau bahkan berdosa manakala seseorang berhaji setiap tahunnya sementara
salah satu kerabat atau tetangganya kelaparan, atau sakit yang tak
sembuh-sembuh karena tak ada dana untuk pengobatan, atau pembangunan mesjid di
lingkungannya yang tak kunjung usai karena ketiadaan biaya, atau sekolah
pendidikan Islam yang memberikan pendidikan murah atau gratis bagi anak-anak
Muslim menjadi bubar karena tak ada donatur sementara di sekitarnya ada
sekolah-sekolah Kristen yang juga memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak
Muslim. Meski demikian, kalau pun ia memaksakan haji sunahnya, maka hajinya itu
tetap sah, meski berdosa karena mengabaikan sesuatu yang sebenarnya bagi dia merupakan
suatu kewajiban.
Adapun
dalam skala besar, andai dana-dana haji sunah seluruh Indonesia diinfakkan,
maka sungguh umat Islam akan dapat mempunyai dana yang cukup besar yang akan
dipergunakan bagi pemberdayaan umat dan dakwah. Misalnya, untuk mengentaskan
kemiskinan yang mencapai 35 juta jiwa, yang mayoritas umat Islam, atau untuk
membendung gerakan kristenisasi yang didukung dengan dana berlimpah, atau
membangun sekolah-sekolah gratis atau murah bagi Muslim tak mampu dan banyak
hal lain yang dapat dilakukan yang manfaatnya lebih banyak dan luas ketimbang
berhaji sunah yang manfaatnya hanya dirasakan sendiri. Selain itu, banyaknya
mereka yang menunaikan haji sunah juga secara tidak langsung akan menghalangi
(menzalimi) mereka yang tak dapat berangkat haji untuk pertamakalinya (haji
wajib) karena tersandung kuota, pembatasan jemaah haji, ini yang kerap terjadi
pada setiap musim haji di beberapa negara seperti Indonesia. Tentu, upaya-upaya
penyadaran atas mereka yang berkali-kali haji itu haruslah melibatkan berbagai
pihak, seperti para ulama dan ustadz, kebijakan pemerintah dan lembaga-lembaga
Islam.
Walaahu’alam
Bagaimana saya harus memilih Miqot ?
JAWAB
:
Miqot-miqot makani (lokasi) untuk ihram ibadah
haji atau pun umrah ditentukan sendiri oleh Rasulullah saw sebagaimana
disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Biasanya bagi orang Indonesia miqot makaninya di Yalamlam, demikian pula
bagi mereka yang melintasi dan lebih dekat kepada Yalamlam maka miqotnya dari
sana. Berkaitan
dengan Qarnul Manazil, maka tempat itu merupakan miqotnya penduduk Najd dan
orang yang melewatinya. Miqat ini sekarang dinamakan dengan Sailul Kabir yang
jaraknya dengan Mekkah sekitar 78 km. Jadi, kalau memang pesawat yang
ditumpangi ternyata miqatnya lebih dekat kepada Qarnul Manazil, maka memang
sebaiknya berihram dari sana. Demikian juga jika pesawat melewati Yalamlam maka
miqot-nya sebaiknya dari Yalamlam. Dalam hal ini, saya menganjurkan agar tidak
kerepotan mengganti pakaian ihram di dalam pesawat ketika melintasi miqot, maka
sebaiknya mengenakan pakaian ihram dari bandara udara di Jakarta dengan niat
ihram di pesawat saat memasuki miqot yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw.
Adapun memakai dan berniat ihram di Bandara King Bin Abdul Aziz
sebenarnya merupakan fatwa para ulama kontemporer seperti Syekh Abdullah Bin
Zaid, Ketua Dewan Syariah di Qatar, dan ini pendapat golongan mazhab Maliki.
Kemudian perlu diketahui bahwa mazhab Maliki tumbuh dan berkembang bermula dari
kota Medinah bukan dari Iraq, selain itu, Imam Maliki tidaklah kurang dalam
rujukan hadist, bahkan sebaliknya, sebelum kitab-kitab hadits bermunculan
seperti Sahih Bukhari dan Muslim, maka Imam Malik lebih dulu menyusun kitab
hadits yang kemudian dikenal dengan kitab Muwatha.Wallaahua'lam
Bagaimana melakukan Ihram Haji Tamattu ?
JAWAB
:
Bagi seorang yang berhaji Tamattu, maka setelah umrahnya
usai ia kembali menjadil halal, artinya semua larangan ihram untuk umrah tak
lagi berlaku baginya. Lalu, ia menunggu sampai tibanya hari Tarwiyah, tanggal 8
Dzulhijjah, dimana pada tanggal itu ketika waktu zawal (bergesernya matahari)
ia wajib kembali niat berihram untuk haji dengan mengucapkan Talbiyyah Labbaika
hajjan (aku datang memenuhi panggilan-Mu untuk haji). Maka sejak itu semua larangan ihram kembali
berlaku atas dirinya. Adapun
berangkat ke Mina untuk bermalam di sana pada hari Tarwiyah maka hukumnya
adalah sunah. Ini merupakan pendapat semua mazhab, yaitu Hanafi, Maliki,
Syafi'i dan Hanbali. Dengan demikian, boleh baginya pada hari Tarwiyah langsung
menuju ke Arafah untuk wukuf di sana pada tanggal 9 Dzulhijjah. Jadi, bagi
jemaah haji Tamattu, baik itu yang hendak menuju ke Mina atau ke Arafah, maka
ia harus tetap berihram dan niat haji pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika waktu
zawal (bergesernya matahari) dan ini hukumnya wajib.Wallahua'lam
Rambut rontok ketika Ihram ?
JAWAB
:
Memang di antara hal yang dilarang dalam ihram adalah
memotong rambut dengan cara cukur atau yang lainnya. Allah swt berfirman, ”Dan
janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya”. (Al-Baqarah: 196). Termasuk di dalamnya mencukur
atau mencabut rambut atau bulu yang ada pada badan. Lalu ada sebuah riwayat
dari Atha, katanya, "Jika seseorang yang tengah ihram mencabut tiga helai
rambutnya atau lebih, hendaklah ia membayar tebusan dengan menyembelih seekor
kambing." (Diriwayatkan oleh Said Bin Manshur). Dan Syafi'i meriwayatkan
pula dari padanya, bahwa ia mengatakan, "Pada sehelai rambut dendanya
sesukat-makanan-, pada dua helai dua sukat, dan pada tiga helai atau lebih atau
lebih menyembelih seekor kambing”.Berkaitan dengan kasus tersebut, maka hal
tersebut tak dikenai denda apapun dan ihram-nya insya Allah sah.
Pasalnya, rontoknya rambut tidak dicabut dengan sengaja atau tidak dicukur atau
dipotong, karena rambut rontok sendiri. Dan ini di luar batas kemampuan kita
serta Allah swt tak ingin menyulitkan hamba-Nya, ”Allah menghendaki
kemudahan bagimu,dan tak menghendaki kesukaran bagimu. (Al-Baqarah: 185). “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan”. (Al-Baqarah: 78), ”Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu”. (Al-Ahzab: 5). ”Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya”.
(Ath-Thalaq: 7). Bahkan bila seseorang punya penyakit di kepalanya yang
mengharuskannya bercukur, maka hal itu dibolehkan disertai membayar fidyah,
sesuai firman Allah, ”Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya bayar fidyah, yaitu
berpuasa atau bersedekah atau berkorban...”. (Al-Baqarah: 196).Wallaahua'lam
Hukum
pakaian dalam ketika Ihram
JAWAB
:
Dalam ihram terdapat larangan-larangan yang harus ditaati
oleh jemaah. Pada dasarnya, larangan-larangan itu terbagi kepada tiga bagian.
Pertama, larangan bagi jemaah pria dan wanita. Kedua, larangan yang khusus bagi
jemaah pria. Ketiga, larangan yang khusus bagi jemaah wanita. Dan pakaian dalam dapat dikategorikan sebagai pakaian berjahit,
serta pakaian berjahit itu termasuk salah satu larangan yang khusus bagi pria
saja. Dalilnya, “Seorang laki-laki bertanya, "Ya Rasulullah, pakaian
apakah yang dikenakan seorang yang tengah Ihram?" Rasulullah mengatakan,
"Ia tak boleh mengenakan baju (kemeja), tidak pula serban, baju celana dan
celana... (HR. Bukhari). Para ulama sepakat bahwa larangan-larangan dalam hadits di
atas hanya diperuntukkan bagi jemaah pria. Maka, semua baju yang berjahit dan
dibuat seperti bentuk tubuh manusia, seperti pakaian dalam, tak boleh dikenakan
oleh jemaah haji pria. Jadi, para wanita boleh memakai pakaian dalamnya ketika
ihram.Wallaahua'lam
Berihram
ketika Haidh ?
JAWAB :
Wanita
yang tengah haidh boleh berihram untuk haji atau umrah dan ia dapat melakukan
semua rangkaian ibadah haji kecuali Thawaf di Baitullah. Maka ketika hendak Thawaf ia harus menunggu
sampai ia kembali suci. Dasarnya adalah karena Rasulullah telah memerintahkan
Aisyah r.a. agar ia melakukan haji sebagaimana orang-orang berhaji kecuali
Thawaf di Baitullah (Muttafaq 'alaih). Wallahua'lam
Urutan Amalan Ibadah Haji Tamattu'
JAWAB :
Haji Tamattu' adalah cara pengerjaan manasik haji dengan
terlebih dahulu mengerjakan ihram untuk umrah pada bulan-bulan haji, lalu
setelah mengerjakan umrah ia bertahallul dan menunggu sampai tanggal 8
Dzulhijjah, dan pada tanggal 8 Dzulhijjah itu ia kembali berihram untuk niat
haji. Bagi orang yang melakukan haji Tamattu' maka ia harus menyembelih seekor
kambing.
Adapun rinciannya, (1) Sebelum tanggal 8 Dzulhijjah,
ketika Anda tiba di Miqot Yalamlam, Anda mulai berniat ihram dengan pakaian
ihram untuk pengerjaan umrah. Niatnya dengan mengucapkan Labbaika Allaahumma
'Umratan. (2) Setibanya di Mekkah Anda langsung Thawaf Qudum di Ka'bah (3)
Dilanjutkan dengan Sa'i antara Shafa dan Marwah (4) Dan terakhir Anda
bertahallul. Semua amalan di atas merupakan amalan umrah dan dikerjakan sebelum
tanggal 8 Dzulhijjah.
Apabila kita telah bertahallul maka semua larangan bagi
orang yang berihram tak berlaku lagi sampai tiba tanggal 8 Dzulhijjah dimana
pada tanggal itu kita kembali memakai pakaian ihram dan berniat ihram untuk
haji dengan mengucapkan Labbaika Allaahumma Hajjan. Sejak itu semua larangan ihram kembali berlaku.
Berikut
urut-urutan amalan haji Tamattu': (1) Setelah memakai pakaian ihram dan berniat
untuk haji pada tanggal 8 Dzulhijjah, maka dari tempat penginapan Anda pergi ke
Mina. Di Mina Anda
melakukan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Untuk shalat yang
empat rakaat diqashar dengan tanpa dijama' (2) Setelah matahari terbit pada
tanggal 9, Anda berangkat ke Arafah untuk wuquf. Di Arafah Anda shalat Dzuhur
dan Ashar dengan diqashar dan jama' taqdim. (3) Masih di Arafah, setelah
matahari terbenam, Anda bertolak ke Muzdalifah dan shalat Maghrib dan Isya di
sana dengan dijama dan diqashar, lalu mengambil batu kerikil untuk melontar
jumrah Aqabah, dan Anda bermalam di Muzdalifah sampai terbit fajar serta shalat
Shubuh. (4) Pada 10 Dzulhijjah, setelah Shalat Shubuh di Muzdalifah maka Anda
segera bertolak menuju Mina untuk melontar Jumrah Aqabah, menyembelih korban,
tahallul kecil, dan pergi ke Mekkah untuk Thawaf Ifadhah dan Sa'i. Jika Anda
telah menyelesaikan thawaf Ifadhah dan Sa'i maka Anda melakukan Tahallu Kubro,
yang artinya semua larangan ihram tak berlaku lagi bagi Anda. (5) Tanggal 11,
Anda bermalam di Mina dan melontar 3 Jumrah setelah Dzuhur (6) Tanggal 12, Anda
bermalam lagi di Mina dan melontar 3 Jumrah setelah Dzuhur. Setelah itu, jika
Anda hendak mengambil nafar awwal maka Anda harus keluar dari Mina sebelum matahari
terbenam. Tapi kalau Anda hendak mengambil nafar tsani atau setelah
terbenam matahari Anda masih berada di Mina maka Anda harus bermalam satu malam
lagi di Mina. (6) Terakhir sebelum Anda meninggalkan Mekkah maka Anda terlebih
dahulu melakukan thawaf Wada' atau thawaf perpisahan.Wallaahua'lam
Hadats
kecil dalam Thawaf, bagaimana hukumnya ?
JAWAB :
Perlu diketahui bahwa di antara syarat Thawaf menurut
mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali adalah suci dari hadats dan najis. Pasalnya,
menurut mereka Thawaf itu seperti shalat. Hal ini berdasar kepada hadits : ”Thawaf
di Baitullah itu shalat, tapi Allah membolehkan padanya (Thawaf) untuk
berkata-kata, maka barangsiapa berkata-kata padanya hendaklah jangan
berkata-kata kecuali hal yang baik”. (HR Ibnu Hibban dan Hakim).
Adapun menurut mazhab Hanafi, suci dari hadats bukanlah syarat sahnya Thawaf,
dasarnya firman Allah ”…dan hendaklah mereka melakukan Thawaf di sekeliling
rumah yang tua itu (Baitullah)”. (Al-Hajj: 29). Menurut mazhab
Hanafi ayat itu masih bermakna global atau umum, artinya tanpa diembel-embeli
syarat suci dari hadats. Adapun mengenai hadits yang menyebutkan bahwa Thawaf
itu seperti shalat, mazhab Hanafi menjelaskan bahwa hadits di atas hadits Ahad,
dimana hadits Ahad tak bisa mengkhususkan makna surat Al-Hajj ayat 29
itu.
Namun demikian menurut hemat para ulama, suci dari hadats
itu merupakan syarat sahnya Thawaf. Sebab
ini diperkuat oleh hadits lain, yaitu : Aisyah menyebutkan bahwa yang
pertama kali dikerjakan Rasulullah saw ketika tiba, ia berwudhu kemudian
berthawaf di Baitullah. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim) . Bila kita tengah
berthawaf lantas terkena hadats kecil dan belum sempat menyelesaikan satu
putaran penuh (belum sampai ke garis coklat di mana kita memulai Thawaf), maka
thawaf dimulai lagi dari tempat ketika kita terkena hadats kecil tadi.Wallaahua’lam
Doa ketika Thawaf dan Sai dengan bahasa
Indonesia ?
JAWAB
:
Memang problem orang yang tak mengerti Bahasa Arab adalah
ketika ia berdoa dan terutama ketika membaca Alqur'an maka ia tak memahami
secara langsung apa yang tengah ia minta atau yang tengah ia baca. Akibatnya,
seperti apa yang banyak terjadi, maka ia kurang bisa meresapi dan menghayati
inti dari doanya atau bacaannya itu. Perlu diketahui bahwa ketika seseorang
berthawaf atau berdoa maka boleh baginya berdoa dengan doa yang disukainya dan
dengan bahasa apapun. Karena Allah sendiri toh Maha Mengetahui apa yang
kita minta dan kita mohonkan. Kendati demikian sangat dianjurkan untuk membaca
doa-doa yang ma'tsuur, artinya doa-doa yang datangnya dari Nabi saw,
sebab isinya ringkas, padat dan lebih terhindar dari sikap berlebihan dalam
berdoa. Jadi, kita dibolehkan berdoa apapun dan dengan bahasa apapun ketika
sedang thawaf dan sai. Logikanya sederhana saja, bagaimana kita akan khusyu dalam berdoa sedangkan
kita sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya sedang kita minta. Kendati
demikian, meski dibolehkan berdoa apapun dan dengan bahasa apapun maka kita
tetap harus memperhatikan adab dan etika berdoa. Ringkasnya, Allah dalam
Alqur'an tak pernah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar berdoa dengan bahasa
Arab, tapi Allah hanya berfirman, ”Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo'alah
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..." (QS
Al-Mu'min: 60).Wallaahua'lam
Kebanyakan jamaah haji Indonesia pada hari
Tarwiyah 8 Dzulhijjah langsung menuju ke Arafah dan bermalam di sana, sementara
ada dalil yang menyatakan bahwa Rasulullah saw pada tanggal tersebut menuju
Mina dan bermalam di sana, bagaimana ini ?
JAWAB :
Memang sunahnya bagi jemaah haji agar pada
tanggal 8 Dzulhijjah bertolak ke Mina. Di Mina ia shalat Zhuhur, Ashar,
Maghrib, Isya dan Subuh pada tiap-tiap waktunya dengan cara diqashar
masing-masing dua rakaat kecuali Maghrib dan Subuh. Semua shalat itu tanpa
dijama'. Hal ini seperti hadits Jabir bin Abdullah ketika menceritakan hajinya
Rasulullah saw, katanya : ”Tatkala tiba hari Tarwiyyah, mereka pun bertolak
menuju Mina lalu berihram dengan haji. Rasulullah saw menaiki kendaraannya dan
di sana melakukan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh”.
(HR Muslim).
Kemudian semua mazhab fiqih, yaitu Hanafi,
Maliki, Syafi'i dan Hanbali menjelaskan maksud dalil di atas, mereka semua
sepakat bahwa bermalam di Mina pada hari Tarwiyyah hukumnya sunah dan bukan
merupakan rukun atau wajib haji. Imam Nawawi mengatakan, maka menurut sunah
pula hendaklah seseorang menunaikan shalat yang lima waktu itu di Mina dan
supaya bermalam di sana pada tanggal 8, yang hukumnya ialah sunah serta tak
perlu membayar denda jika ketinggalan. Jadi bertolak dan bermalam ke Mina pada
hari Tarwiyyah hukumnya sunah, tapi kendati demikian jemaah sangat dianjurkan
untuk menjalankan sunah ini.Wallahua'lam
Bagaimana
hukum mencium Hajar Aswad dan tata caranya ?
JAWAB :
Banyak sekali hadits yang menyinggung tentang
mencium Hajar Aswad, di antaranya hadits Rasulullah saw, Dari Abdullah bin Sarjis ra berkata, saya lihat yang botak, Umar
bin Khattab ra, tengah mencium Hajar Aswad sembari berkata, “Demi Allah saya
akan menciummu, dan sungguh saya tahu bahwa kamu hanyalah batu yang tak dapat
memberi manfaat atau pun madharat, dan andai saya tak melihat Rasulullah telah
menciummu maka niscya saya tak akan menciummu.” (HR Muslim) . Adapun mencium Hajar Aswad hukumnya sunah serta tata
cara atau adab-adabnya adalah dimulai dengan menghadap Hajar Aswad ketika
memulai tawaf sembari membaca takbir dan tahlil lalu mengusap Hajar Aswad itu
dengan kedua tangannya kemudian menciumnya dan jika memungkinkan manaruh pipi
di atasnya. Jika cara di atas sangat sulit maka ia boleh menyentuh Hajar Aswad
itu dengan tangannya atau barang lain yang dipegangnya lalu tangan atau barang
itu ia cium. Jika ini juga tak mungkin maka ia boleh memberi isyarat kepada
Hajar Aswad itu dengan tangan atau barang lainnya seperti tongkatnya. Jadi
mencium atau mengusap Hajar Aswad dilakukan sebelum tawaf dimulai. Sabda Nabi
saw, Tatkala Rasulullah saw tiba di Makkah ia mendatangi Hajar Aswad lalu
mengusapnya, kemudian ia berjalan di sebelah kanannya dan berjalan cepat tiga
kali serta berjalan biasa empat kali (bertawaf)..Wallahua’lam
Bagaimaan
hukum mabit di Muzdalifah dan hari Tarwiyyah ?
JAWAB :
Pergi ke Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah
(Tarwiyyah) hukumnya sunah. Sementara itu mabit di Muzdalifah dan melontar
Jumrah merupakan wajib haji, artinya bila tak dikerjakan maka hajinya tetap sah
namun dia harus membayar denda (dam).
Berkaitan dengan bermalam di Muzdalifah para ulama berbeda pendapat
apakah harus bermalam di Muzdalifah sampai fajar menyingsing atau sekedar
singgah saja untuk shalat Maghrib dan 'Isya (dijama'). Dalam hal ini mazhab
Hanbali berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah hanya setengah malam. Sementara
mazhab Maliki berpendapat bahwa di Muzdalifah hanya mampir saja untuk
melaksanakan shalat fardhu dan istirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan
perjalanan ke Mina.
Melihat kondisi jamaah haji dari ke hari kian padat, maka apabila
dengan bermalamnya di Muzdalifah akan menimbulkan kesulitan besar, seperti
padatnya saat melontar Jumrah Aqobah di Mina, maka bagi jamaah yang lemah,
lansia, anak-anak dan sejenisnya lebih baik memilih mazhab Maliki. Perlu
diketahui bahwa biasanya perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah mengalamai
kemacetan sehingga terkadang mengalamai keterlambatan untuk sampai ke
Muzdalifah. Walaahua’lam
Saya telah bersa’i antara Shofa dan Marwah
sebanyak 4 putaran, lalu karena letih akhirnya saya duduk-duduk untuk
istirahat, apakah saya harus mengulang dari awal lagi atau langsung menyempurnakan
Sa’i saya? Kemudian jika wudlu saya batal ketika bersa’i, apakah Sa’i saya yang
telah dilakukan juga ikut batal dan wajib bersa’i kembali dari awal setelah
berwudlu ?
JAWAB :
Menurut mayoritas ahli fiqih, pelaksanaan Sa’i antara Shofa dan
Marwah tanpa terputus-putus hukumnya sunah dan bukan syarat sahnya Sa’i, karena
itu Sa’i yang diselingi dengan duduk-duduk istirahat tetap sah, asalkan
menyempurnakan sisa putaran Sai’nya. Hanya Imam Malik yang mensyaratkan pelaksanaan Sai’ tanpa
terputus-putus atau sekaligus.
Kemudian, suci dari hadats kecil bukanlah syarat sahnya
Sa’i, sebab Nabi saw tak melarang apapun atas Aisyah ketika ia tengah haidh
kecuali dari Tawaf, seperti diriwayatkan Imam Muslim. Bahkan Abdullah Bin Umar
pernah bersa’i antara Shofa dan Marwah, kemudian ia buang air kecil, setelah
itu beliau langsung melanjutkan Sa’inya. Wallahua’lam.
Bagaimana
hukum mabit di Masy’aril Haram ?
JAWAB :
Masy’aril Haram adalah suatu tempat di ujung
Muzdalifah dimana Rasulullah dahulu pernah berdo’a dan memungut batu untuk
selanjutnya melontar di Mina. Untuk saat sekarang, pada saat jemaah haji
bermalam di Muzdalifah, Masy’aril Haram menjadi padat karena disesaki oleh
kendaraan yang tengah mabit. Sebenarnya Masy’aril Haram merupakan daerah bukit
yang nama aslinya adalah Quzah. Memang Masy’aril Haram tersebut dalam Al-Qur’an
bahkan dalam hadits. Allah swt berfirman : ”…Maka apabila kamu telah
bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram…”
(Al-Baqarah: 198). Dalam Hadits Jabir Bin Abdillah ra, bahwa Nabi saw tiba
di Muzdalifah, maka ia pun melakukan shalat Magrib dan ‘Isya di sana dengan
sekali adzan dan dua qomat, tanpa melakukan shalat sunat apapun di antara
keduanya, lalu ia berbaring sampai terbit fajar, maka dikerjakannyalah shalat
Subuh ketika fajar diketahui dengan sekali adzan dan sekali qomat, kemudian ia
menaiki unta Qoshwa hingga tiba di Masy’aril Haram, maka ia pun menghadap
kiblat lalu berdo’a kepada Allah, membaca takbir, tahlil dan tauhid. Ia terus
berdiri, sampai hari telah demikian terang, lalu berangkat sebelum matahari
terbit. (HR Muslim)
Jadi, meski Masy’aril haram tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadits,
tapi mabit di Masy’aril Haram memang tak diperintahkan. Dalam Al-Baqarah ayat
198 dan hadits di atas jelas bahwa setelah Nabi saw mabit di Muzdalifah dan
shalat Subuh lalu beliau berangkat menuju Masy’aril Haram untuk berzikir,
bertahmid, bertahlil, bertauhid dan berdo’a kepada Allah. Amalan di Masy’aril Haram
dapat dilakukan jika memang memungkinkan, pasalnya untuk saat ini, kala musim
haji tiba, maka pada tanggal 10 Dzulhijjah daerah Masy’aril Haram dipadati
dengan kendaraan, sehingga akan menyulitkan jemaah haji sendiri. Sebenarnya yang terpenting bagi jemaah adalah
mabit di Muzdalifah di bagian mana pun, asalkan tempat itu masih dalam wilayah
Muzdalifah. Dan mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji, jika seorang jemaah
haji tak mabit di Muzdalifah maka ia dikenai Dam. Sedangkan datang ke Masy’aril
Haram untuk berzikir dan berdo’a di sana hanya sekedar anjuran saja atau sunah
menurut semua mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Namun demikian
jika yang dimaksud dengan Masy’aril Haram di sini adalah Muzdalifah maka memang
jemaah haji wajib mabit (bermalam) di Masy’aril Haram (baca: Muzdalifah), sebab
nama lain dari Muzdalifah adalah Muzdalifah itu sendiri, lalu Jama’ dan
Masy’aril Haram.Wallahu’alam
Bagaimana
tata cara Melempar Jumroh ?
JAWAB
:
Pertama, ketika melempar jumroh maka tak ada dalil apapun yang
mengharuskan lemparan itu mengenai tiang yang berada di tengah lubang, sebab
tiang itu hanya sekedar tanda saja, jadi kita cukup melempar ke lubangnya saja.
Kedua, hal ini berkaitan dengan hadits, dari Ibnu Umar ra, bahwasanya
dia melempar jumroh dengan tujuh buah batu kerikil sembari bertakbir setelah
masing-masing kerikil...Maka ia mengatakan, "Beginilah saya melihat Nabi
saw melakukannya." (HR Bukhari). Jadi, sesuai hadits di atas maka
sebaiknya Anda mengucapkan Allahu Akbar saja setiap kali melemparkan
satu kali lemparan. Ketiga, berkaitan dengan arah melempar jumroh Ula
dan Wustho, maka ketika kita melemparnya maka jadikanlah Mekkah di sebelah kiri
Anda dan Mina di sebelah kanan kita. Keempat, disunahkan setelah
melempar jumroh Ula dan Wustho untuk berdo'a. Adapun setelah melempar jumroh
Aqabah maka tak disunahkan untuk berdo'a. (HR Bukhari dan Ahmad). Dan tak ada
do'a khusus yang diucapkan setelah melempar jumroh Ula dan Wustho. Artinya,
boleh berdo'a apa saja, baik untuk diri sendiri maupun untuk kaum muslimin.Wallaahua'lam
Apa
yang dimaksud dengan dam (denda) saat berhaji ?
JAWAB
:
Dam
adalah denda atau tebusan bagi mereka yang menunaikan haji atau umrah tetapi
melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Pelanggaran
itu misalnya melakukan larangan-larangan ihram atau tidak dapat menyempurnakan
wajib haji seperti mabit di Mina atau Muzdalifah.
Para
ulama telah bersepakat bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji akan
dikenakan Dam manakala melakukan antara lain pelanggaran-pelanggaran sebagai
berikut yaitu, melakukan haji Qiran atau Tamattu', tidak ihram dari Miqot,
tidak Mabit di Muzdalifah, tidak melontar Jumrah dan bentuk pelanggaran
lainnya. Bagi seorang jemaah yang melakukan pelanggaran maka ia wajib menyembelih
seekor kambing atau sepertujuh unta atau sepertujuh sapi yang dagingnya
dibagi-bagikan untuk fakir miskin.Wallaahu'alam
Bagaimana
kedudukan hukum Shalat Arbain di Masjid Nabawi ?
JAWAB
:
Masjid Nabawi merupakan salah satu dari tiga masjid yang
memiliki keutamaan lebih dibanding masjid-masjid lainnya. Ini didasarkan atas
hadits Rasulullah saw, ”Satu kali
shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi di Medinah), lebih besar pahalanya dari
seribu kali shalat di tempat lainnya, kecuali di Masjid Haram”, (HR Muslim). Karena itu, Nabi saw sangat menganjurkan untuk berkunjung
ke 3 masjid itu. Sabdanya, ”Tidak selayaknya dipersiapkan kendaraan kecuali
untuk pergi ke tiga masjid, yaitu masjidku ini, Masjid Haram dan Masjid
Al-Aqsha”. (HR Muslim)
Adapun yang berkaitan dengan keutamaan mengejar arbain di Masjid Nabawi maka landasan dalilnya adalah, Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw bersabda, "Barangsiapa yang shalat di masjidku sebanyak 40 kali shalat, dan tidak luput satu kali shalat pun, maka Allah memastikan baginya terbebas dari api neraka, terbebas dari siksa serta ia terhindar dari kemunafikan." (HR Ahmad dan Thabrani). Oleh karena itu, biasanya jemaah haji bermukim di Medinah selama 8 hari, hal ini dimaksudkan agar mereka dapat melakukan shalat berjamaah 5 waktu secara berurut-turut selama 8 hari, dengan demikian mereka dapat melakukan shalat sebanyak 40 kali.Wallahua'lam.
Bagaimana
hukumnya melempar Jumrah diwakilkan ?
JAWAB
:
Melontar Jumroh, baik itu pada tanggal 10, 11, 12 atau 13
Dzulhijjah merupakan wajib haji, artinya apabila ditinggalkan maka ia wajib
membayarkan Dam dan hajinya tetap sah. Sabda
Nabi saw, Dari Jabir ra berkata, saya melihat Nabi saw melempar Jumrah dari
atas kendaraannya pada hari Nahar dan beliau bersabda, “Hendaklah kalian
mengambil tata cara manasik kalian dariku, karena aku tak tahu apakah aku masih
dapat berhaji lagi setelah haji ini.” (HR Ahmad, Muslim dan Nasa’i).
Kemudian melontar jumrah boleh diwakilkan atau digantikan oleh orang lain
dikarenakan ditimpa sakit, usia lanjut, wanita hamil, anak-anak atau
orang-orang yang fisiknya lemah dan tak memungkinkan berdesak-desakkan.
Rasulullah
bersabda,
Dari
Jabir ra berkata, kami berhaji bersama Rasulullah saw dan bersama kami ikut
pula wanita-wanita dan anak-anak. Maka kami membaca talbiyyah untuk anak-anak
itu dan kami juga melontar (jumrah) buat mereka.. (HR Ibnu Majah). Wallahua’lam
Kapankah Waktu Melontar Jumrah ?
JAWAB
:
Melontar Jumrah, yaitu Jumrah Aqabah pada tanggal 10, 11,
12 dan 13 Dzulhijjah merupakan wajib haji, artinya apabila tak dikerjakan maka
ia dikenai Dam. Adapun waktu melontar Jumrah Aqabah untuk tanggal 10 Dzulhijjah
yaitu setelah terbitnya matahari. Ini sesuai sabda Rasulullah saw, Janganlah
kalian melontar sampai matahari terbit (HR Khamsah). Dan waktu melontar Jumrah untuk tanggal 11, 12 dan 13 adalah
setelah Zawwal (matahari mulai tergelincir ke arah barat) sampai matahari
tenggelam pada setiap tanggal-tanggal itu. Ini sesuai keterangan Ibnu Abbas, Bahwa
Rasulullah saw telah melontar Jumrah ketika matahari tergelincir ke arah barat..
Kemudian, jika Anda keliru dalam waktu melontar Jumrah maka haji Anda tetap
sah. Terakhir mengenai denda (Dam) maka pelaksanaannya harus di Tanah Haram,
dan jika ia telah pulang ke negaranya maka sebenarnya Anda bisa menitipkannya
agar pelaksanaan Dam itu di Tanah Haram, terlebih saat ini dimana komunikasi
semakin mudah.Wallahua’lam
Bagaimana
pelaksanaan Dam Haji Tamattu’ ?
JAWAB
:
Dam adalah denda atau tebusan bagi mereka yang menunaikan
ibadah haji atau umrah tetapi melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan
yang telah ditetapkan, seperti melakukan haji Qiran atau Tamatu. Jenis Dam itu meliputi unta, sapi dan kambing
domba atau kambing kacang. Sapi atau unta cukup untuk tujuh orang. Adapun
syarat-syarat hewan Dam dan teknisnya adalah, (1) Usianya mencapai 5 tahun
untuk unta, 2 tahun untuk sapi, 1 tahun untuk kambing kacang dan 6 bulan untuk
kambing domba. Ini seperti hadits yang diriwayatkan Imam Muslim. (2) Hewan Dam
itu tidak memiliki cacat atau aib seperti buta sebelah, sakit-sakitan, pincang
dan amat kurus. (3) Hewan Dam itu disembelih di Mina atau Mekkah atau di tanah
suci lainnya sesuai hadits : ”Seluruh Arafah adalah tempat wukuf, seluruh
Mina adalah tempat penyembelihan, seluruh Muzdalifah adalah tempat wukuf dan
setiap penjuru Mekkah adalah jalan dan tempat penyembelihan”. (HR
Abu Dawud). (4) Waktu penyembelihan pada hari raya Iedul Adha usai shalat atau
setelah matahari meninggi sepanjang satu tombak (kira-kira jam 07.00 pagi hari)
atau pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Wallahua’lam
Apa
kaitannya antara Shalat Arbain dengan amalan haji ?
JAWAB
:
Dalam ibadah haji ada yang namanya Rukun, Wajib dan
Sunah Haji. Rukun Haji adalah amalan-amalan haji yang apabila tidak dikerjakan maka hajinya tidak
sah dan harus diulang. Rukun Haji itu adalah: (1) Ihram, yaitu niat memulai ibadah haji. (2) Wuquf
di Arafah. (3) Thawaf Ifadhah. (4) Sa'i antara Shafa dan Marwah. Kemudian yang kedua adalah Wajib Haji, yaitu amalan-amalan
haji yang apabila ditinggalkan maka hajinya tetap sah namun ia harus membayar
Dam atau denda. Wajib Haji itu adalah: (1) Ihram dari Miqot (2) Wuquf di Arafah
sampai terbenam matahari pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah (3) Mabit di
Muzdalifah pada malam Iedul Adha sampai shalat Subuh (4) Melontar Jumrah
'Aqabah pada hari raya dan melontar jumrah pada hari-hari Tasyriq (5) Cukur
gundul (6) Mabit di Mina (7) Thawaf Wada'
Jadi
sebenarnya shalat Arbain di Madinah atau bahkan berziarah ke Madinah sama
sekali bukan bagian dari rangkaian amalan haji atau manasik haji. Shalat Arbain itu bukan bagian dari Rukun atau
pun Wajib Haji. Dengan demikian apabila tak shalat Arbain di Masjid Nabawi maka
haji Anda tetap sah.Wallaahu'alam
Apa
yang dimaksud dengan Haji Akbar ?
JAWAB
:
Sebenarnya kata Al-Hajj Al-Akbar (Haji Akbar)
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pertama, hadits Rasulullah saw, Dari
Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw berdiri pada hari Nahar (10 Dzulhijjah)
dalam haji yang beliau tunaikan. Beliau berkata,”Hari apakah ini?” Mereka
menjawab, “Hari Nahar.” Maka beliau mengatakan, “Ini adalah Hari Haji Akbar.”
(HR Abu Dawud). Kedua, kata Al-Hajj Al-Akbar terdapat dalam
Al-Qur’an, ”Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya
kepada umat manusia pada hari haji akbar…” (At-Taubah : 3). Para ahli tafsir berbeda pendapat ketika menafsirkan Al-Hajj
Al-Akbar di sini, yaitu, (1) Haji Akbar adalah Hari Nahar; (2) Haji Akbar
adalah hari Arafah; (3) Haji Akbar adalah semua amalan yang ada pada hari
Nahar; (4) Haji Akbar adalah haji yang terjadi pada tahun ke-9 Hijriyah.
Kendati
demikian, dari penafsiran-penafsiran Haji Akbar di atas, tak ada satu pun yang
mendefinisikan Haji Akbar itu adalah haji yang apabila hari Arafahnya jatuh
pada hari Jum’at. Jadi, tak ada satu dalil pun yang menunjukkan bahwa Haji
Akbar adalah haji yang apabila hari Arafahnya jatuh pada hari Jum’at, dan
definisi keliru inilah yang memang dikenal masyarakat kita.Wallahua’lam
Tawaf
Ifadhah tanpa pakaian Ihram ?
JAWAB
:
Setelah
Anda melontar Jumrah pada 10 Dzulhijjah maka Anda melakukan Tahallul pertama
atau Tahallul Al-Ashghar (kecil), ini artinya Anda tak terikat lagi
dengan larangan-larangan ihram, seperti larangan mengenakan pakaian berjahit,
kecuali menggauli isteri. Jadi, setelah melontar jumrah aqobah Anda
diperbolehkan memakai pakaian seperti biasa (pakaian berjahit) untuk kemudian
pergi ke Mekkah untuk melakukan tawaf ifadhah. Adapun Tahallul pertama ini
ditandai dengan mencukur gundul atau memendekkan rambut, kendati demikian
mencukur gundul lebih utama. Pencukuran rambut ini khusus bagi jemaah pria,
adapun bagi jemaah wanita tidak ada.Wallahua'lam
Saya mau bertanya, adakah hadits yang
menerangkan berapa kilometer jaraknya antara Miqat dengan Ka'bah ?. Dan yang
sering diajarkan pembimbing haji bahwa ihram akan dikenakan di Bandara King
Abdul Aziz, padahal miqat jama'ah Indonesia (gelombang-2) adalah di Yalamlam.
Bagaimana saya harus bersikap ?
JAWAB :
Dalam hadits-hadits Rasulullah saw tak disebutkan tentang
jarak antara tempat-tempat miqat itu dengan Ka'bah. Nabi saw hanya menyebutkan
nama-nama daerah untuk tempat miqat serta untuk penduduk-penduduk mana saja
tempat-tempat miqat tersebut. Kendati demikian dapat saya sebutkan jarak antara
miqat-miqat itu dengan kota Mekkah sebagai berikut :
Zulhulayfah (Bier Ali), letaknya sekitar 420 km dari Mekkah,
merupakan miqat bagi orang yang datang dari arah Medinah dan orang yang
melaluinya. Miqat ini merupakan miqat terjauh dari Mekkah.
Al-Juhfah, sekitar 187 km dari Mekkah, merupakan
miqatnya jemaah yang datang dari Syam (Suriah), Mesir, Maroko atau yang searah.
Setelah hilangnya ciri-ciri Al-Juhfah, maka miqat ini diganti dengan miqat
lainnya yakni Rabigh, jaraknya sekitar 186 km dari Mekkah.
Yalamlam, sebuah bukit di sebelah selatan sekitar 120
km dari Mekkah, merupakan miqatnya orang Yaman dan Asia. Miqat ini juga
dinamakan dengan Sa'diyah.
Qarnul Manazil, yakni miqat penduduk Najd dan orang yang
melewatinya. Miqat ini sekarang dinamakan Sailul Kabir, jaraknya dengan Mekkah
sekitar 78 km.
Dzatu
Irqin, sekitar 100 km ke utara Mekkah.
Miqat ini dinamakan juga dengan Dharibah dan diperuntukkan bagi penduduk Irak
serta yang searah dengan mereka.
Untuk
jemaah haji asal Indonesia biasanya Miqat Makaninya dari Yalamlam. Jika Anda melewati Yalamlam serta belum
berniat dan memakai pakaian ihram maka Anda terkena Dam.
Biasanya ketika di pesawat ada pengumuman bahwa pesawat
sebentar lagi akan lewat Yalamlam, namun demikian masalahnya adalah akan
terjadi kesulitan besar manakala semua jemaah mandi, shalat dan berpakaian
ihram dalam pesawat, karena itu sebagai jalan keluarnya Anda dibolehkan memakai
pakaian ihram sebelum sampai di miqat atau sebelum naik pesawat atau di Asrama
haji beberapa saat sebelum Anda ke bandara, tapi niat ihram dan talbiyyahnya
harus ketika sampai di miqat. Dan inilah yang menurut hemat saya lebih mudah
dan saya anjurkan, sebab dengan cara ini Anda tak melewati miqat Yalamlam. Adapun memakai dan berniat ihram di Bandara
King Bin Abdul Aziz sebenarnya merupakan fatwa para ulama kontemporer seperti
Syekh Abdullah Bin Zaid, Ketua Dewan Syariah di Qatar, dan ini pendapat golongan
mazhab Maliki.Wallahua'lam
Mencium
Hajar Aswad, hukumnya ?
JAWAB
:
Sebenarnya mencium hajar aswad bukanlah suatu keharusan.
Begitu pula mencium hajar aswad bukan termasuk rukun atau wajib haji tapi hanya
termasuk sunah dalam Thawaf. Adapun dalil
disyariatkannya mencium hajar aswad adalah, Dari Abdullah bin Sarjis ra, ia
berkata, "Saya melihat yang botak, Umar bin Khattab ra mencium hajar aswad
sembari mengatakan, "Demi Allah saya akan menciummu, dan sungguh saya tahu
bahwa kamu hanyalah batu dan kami tak dapat memberi manfaat atau madharat, dan
andai saya tak melihat Rasulullah saw menciummu tentullah saya juga tak akan
menciummu." (HR Muslim).. Adapun ketika mencium hajar aswad tak ada
do'a khusus, tapi yang ada adalah berdo'a ketika mengusap hajar aswad.
Dalilnya, Bahwa Nabi saw datang ke Ka'bah, lalu diusapnya hajar aswad sambil
membaca "Bismillaah allaahu akbar" (HR Ahmad) Wallahua'lam
Berapa
kali seorang jamaah haji Tamattu’ melakukan Tahalul (termasuk umrahnya) ? Jika
mencukur gundul itu disunahkan, pada Tahalul yang manakah kita harus mencukur
gundul ?. Ada yang mengatakah bahwa thawaf adalah pengganti shalat Tahiyatul
Masjid, jika ya, apakah setiap kali kita akan shalat di masjid Al-Haram harus
didahului dengan thawaf ?. Dan samakah jumlah putarannya ?
JAWAB
:
Bagi jamaah yang melakukan haji Tamattu maka ia akan
menjalani tiga kali Tahallul. Pertama, Tahalull dari Umrah, kedua Tahallul
Al-Ashghar atau Kecil, yaitu setelah melontar Jumrah Aqabah pada hari Raya
Iedul Adha, dan terakhir Tahallul Al-Akbar, yaitu setelah thawaf Ifadhah dan
Sai. Terkait dengan mencukur gundul, maka itu dilakukan pada Tahallul
Al-Ashghar. Dan terakhir terkait dengan shalat Tahiyyatul Masjid, maka para ulama
berbeda pendapat. Pertama mengatakan bahwa thawaf sebagai pengganti shalat
Tahiyyatul Masjid di Masjid Al-Haram. Imam Nawawi mengatakan, Tahiyyat
Al-Masjidil Haram itu Thawaf bagi orang pendatang, adapun bagi yang bermukim
maka hukum Al-Masjidil Al-Haram dan selainnya dalam hal ini adalah sama. (lihat
Fathul Baari, Juz. 2/412). Adapunn cara thawaf itu putarannya sama saja. Kedua
mengatakan bahwa hukum Masjid Al-Haram dengan masjid lainnya sama saja.
Artinya, Thawaf tak dapat dijadikan sebagai pengganti dari shalat Tahiyyatul
Masjid. Alasannya, hadits yang berkenaan dengan perintah shalat Tahiyyatul
Masjid bersifat global alias mencakup juga Masjid Al-Haram. Wallaahua'lam
Oleh pembimbing kami, untuk menghindari
kecelakaan saat melontar Jumroh maka kami hanya melakukan mabit di Mina selama
semalam saja, yaitu pada tanggal 12 Dzulhijjah, kemudian pada paginya sebelum
subuh sekitar pukul 02.00 dini hari kami dibimbing untuk melontar Jumroh Aqobah
yang dianggap sebagai lontaran tanggal 10 Dzulhijjah, kemudian dilanjutkan
dengan lontaran untuk tanggal 11, 12,13 Dzulhijjah yaitu dengan mengulang-ulang
lontaran ke Wustho, Ula dan Aqobah sebanyak 3 putaran. Menurut pembimbing kami,
kami hanya dikenakan membayar dam (denda) sebesar 2 Mud (bukan seekor kambing
). Mohon penjelasannya .
JAWAB :
Mabit di Mina merupakan wajib haji, maka minimal Anda
harus mabit di Mina pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah jika Anda mengambil Nafar
Awal, atau maksimal sampai tanggal 13 Dzulhijjah jika Anda mangambil Nafar
Tsani. Jika Anda mabit di Mina tak sebagaimana mestinya, seperti hanya satu
malam saja, maka Anda harus menyembelih seekor kambing atau sepertujuh unta
atau sapi di Mekkah.
Adapun melontar Jumrah Aqobah yang dilakukan pada pagi
tanggal 12 Dzulhijjah yang dianggap sebagai lontaran tanggal 10 Dzulhijjah,
maka lontarannya dianggap terlambat, sebab batas akhir melontar Jumrah Aqobah
untuk tanggal 10 Dzulhijjah adalah sampai akhir siang tanggal 10 Dzulhijjah,
dalilnya adalah: "Seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw, saya
melontar setelah saya ada di sore hari. Maka Nabi menjawab, tak mengapa.".
Akibatnya Anda telah mengakhirkan wajib haji dan menurut mazhab Hanafi dan
Maliki Anda harus menyembelih satu ekor kambing. Adapun menurut mazhab Syafi'i
dan Hanbali Anda tak diwajibkan menyembelih seekor kambing, sebab keterlambatan
Anda masih pada hari-hari Tasyriq, yaitu 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
Kemudian
melontar Jumrah Ula, Wushta dan Aqobah pada tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah
waktunya setelah Zawwal (matahari mulai tergelincir ke arah barat) sampai
matahari tenggelam. Ini sesuai keterangan Ibnu Abbas, Bahwa Rasulullah saw
telah melontar Jumrah ketika matahari tergelincir ke arah barat.. Namun
demikian, pada saat ini jumlah jamaah haji makin banyak, sehingga ketika
melontar jumrah memicu banyak korban, dalam hal ini dibolehkan baginya untuk
melontar jumrah sebelum zawwal, pendapat kebolehan ini dikemukakan oleh tiga
imam besar dari golongan tabi'in yaitu 'Atha Bin Abi Rabah, Thawuf dan Abu
Ja'far Al-Baqir.
Mencermati
cara melontar Anda yang dilakukan pada tanggal 12 Dzulhijjah, dimana Anda
melontar sekaligus untuk tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, maka berarti
lontaran Anda untuk tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah mengalami keterlambatan,
sedangkan Anda mempercepat lontaran Anda untuk tanggal 13, artinya Anda
melontar sebelum zawwal. Karena itu lontaran Anda untuk tanggal 11 dan 12,
menurut mazhab Syafi'i dan Hanafi hukumnya sah, adapun lontaran Anda untuk
tanggal 13, menurut pendapat tiga imam besar tabi'in di atas maka lontaran sah.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa berbagai keringanan yang Anda lakukan
dalam melontar itu akan mengurangi keutamaan ibadah haji Anda, dan sebenarnya
keringanan itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang lemah, lansia, wanita hamil
dan sejenisnya.Wallahua'lam
Apakah hadits tentang shalat arbain di masjid
Nabawi itu derajatnya shahih? Apakah kita boleh melakukan ibadah mahdhah
berdasar atas hadits yang tidak shohih apalagi dhaif ?
JAWAB :
Hadits yang Anda tanyakan itu adalah sebagai berikut, Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw bersabda, "Barangsiapa
yang shalat di masjidku sebanyak 40 kali shalat, dan tidak luput satu kali
shalat pun, maka Allah memastikan baginya terbebas dari api neraka, terbebas
dari siksa serta ia terhindar dari kemunafikan."
Hadits
di atas dikeluarkan dalam Majma' Az-Zawaaid, dan kata penulisnya hadits
ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani di dalam Al-Ausath dan para
perawinya Tsiqaat terpercaya. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh Turmudzi.
Al-Mundziri mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh rawi-rawi yang
shahih. Dengan demikian, hadits di atas merupakan hadits shahih dan dalam ilmu
hadits dikenal kaidah bahwa penggunaan hadits dhaif dalam fasal Targhiib wa
Tarhiib, yaitu hadits pemberi motivasi atau ancaman, dapat ditolerir dalam
batas tertentu. Apalagi hadits ihwal arbain itu rawi-rawinya terpercaya.Wallahua'lam
Apakah Hijir Ismail itu makam Nabi Ismail dan
Ibunya, ataukah bekasnya saja kemudian dipindahkan ke tempat lain?
JAWAB :
Hijir Ismail adalah salah satu bagian dari Ka'bah yang
dahulunya adalah bagian dari Ka'bah itu sendiri. Hijir ini dipagari oleh tembok
rendah (al-Hatim) berbentuk setengah lingkaran dan kerap dipakai jamaah untuk
shalat sunat. Menurut para sejarawan, Hijir Ismail ini dahulu adalah tapak
rumah keluarga Ibrahim. Di situlah Nabi Ismail tinggal semasa hidupnya dan
kemudian menjadi kuburan beliau dan juga ibundanya Siti Hajar.
Ketika
Ka'bah dipugar oleh suku Quraisy pada tahun 606 M, yaitu sewaktu Nabi Muhamad
saw berusia sekitar 35 tahun, mereka kehabisan dana yang halal untuk dapat
membangun Ka'bah seukuran aslinya, karenanya mereka mengurangi panjang tembok
sisi barat dan sisi timur di bagian utara sekitar 3 meter. Itulah sebabnya luas
Ka'bah menjadi berkurang sedang luas Hijir Ismail menjadi bertambah. Itu pula
sebabnya orang yang melakukan Tawaf harus mengitari pula Hijir Ismail dan tak
sah tawafnya kalau tak mengitari Hijir Ismail, pasalnya sebagian Hijir Ismail
adalah termasuk bagian dari Ka'bah. Jadi, memang para ahli sejarah menyatakan
Hijir Ismail merupakan bekas tapak rumah keluarga Nabi Ibrahim yang kemudian
menjadi pusara kuburan Nabi Ismail dan ibundanya Wallahua'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar