EFEKTIVITAS PENERAPAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN
ILMU AGAMA DAN UMUM DI PESANTREN HIDAYATULLAH SURABAYA
Mihmidaty ya’cub
Abstrak:
Penelitian tentang penerapan contextual teaching and learning(CTL) dalam pembelajaran ilmu agama dan
umum di pondok pesantren Hidayatullah Suirabaya bertujuan untuk mengetahui
bagaimana cara guru di pondok pesantren ini menerapkan model pembelajaran contextual
teaching and learning dengan tujuh komponennya yaitu konstruktifisme (constructivism),
bertanya (question), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection),
dan penilaian sebenarnya (authentic assessment), dan efektifitas
penerapannya berupa kemampuan siswa menguasai ilmu agama dan umum. Jenis penelitian
ini digunakan diskriptif kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah semua
santri PP Hidayatullah 155 orang dan semua guru/ ustadz berjumlah 61orang.
Sampel purposive digunakan untuk penentuan responden dari santri/siswa yaitu
kelas II SMU saja (14 orang), sedangkan untuk guru, populasinya dijadikan
responden. Teknik pengumpulan data digunakan angket dan observasi untuk guru
dan test untuk siswa/santri.Hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru yang
mengajar ilmu agama dan umum di PP. Hidayatullah Surabaya telah melaksanakan contextual
teaching and learning(CTL) dalam pembelajarannya, dengan menerapkan tujuh
komponen tersebut diatas. Dan hasil test kemampuan siswa/santri dalam ilmu
agama adalah baik sekali dengan nilai prestasi rata-rata kelas 8 (delapan) dan
hasil test kemampuan mereka dalam ilmu umum adalah cukup dengan nilai prestasi
rata-rata kelas 6,5(enam komaa lima).
Hal ini menunjukkan bahwa penerapan contextual teaching and learning(CTL)
dalam pembelajaran ilmu agama dan umum di PP.Hidayatullah sudah efektif,
terutama dalam pembelajaran agama.
Kata
Kunci: Penerapan contextual
teaching and learning(CYL) di pondok pesantren.
PENDAHULUAN
Pondok pesantren adalah suatu
lembaga pendidikan Islam yang pada masa awalnya menggunakan system pendidikan
yang masih tradisional, tempat belajarnya di masjid, materi yang dipelajari
khusus pelajaran agama Islam, gurunya kiai/ustadz, kurikulumnya dari kitab
kuning saja.[1]
Namun pada perkembangannya
dilapangan dewasa ini pondok pesantren telah banyak yang berubah menjadi pondok
pesantren modern, dalam arti telah ada lembaga pendidikan formal, baik berupa
madrasah di bawah naungan Departemen Agama maupun sekolah umum dibawah
Departemen Pendidikan Nasional.[2]
Bahkan telah mengakses peralatan dan pendekatan pembelajaran modern dewasa ini.
Sehingga pondok pesantren berhasil mencetak para kader penerus perjuangan
bangsa dalam semua bidang kahidupan.
Di sisi lain, seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam dunia pendidikan muncul pula
teori-teori baru tentang model-model pembelajaran produktif antara lain adalah contextual
teaching and learning(CTL) yaitu konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.[3]
Pengertian tersebut memberi isyarat
bahwa belajar bukan hanya sekedar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan saja,
tetapi juga untuk mempersiapkan siswa meraih kesuksesan dalam kehidupannya
kelak. Untuk ini maka dalam proses belajar mengajar senantiasa mengaitkan
dengan kahidupan nyata dan lebih mengaktifkan siswa. Sejauh ini pendidikan kita
masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai rangkaian fakta-fakta
yang harus dihafal, kelas masih terfokus pada guru sebagai sumber utama ilmu
pengetahuan, ceramah menjadi pilihan utama strategi pembelajaran.
Untuk mengaktifkan dan lebih
memberdayakan siswa, maka mutlak diperlukan adanya perubahan strategi belajar
yang tidak hanya mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi juga
mendorong mereka mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Dengan
strategi CTL ini siswa diharapkan belajar melalui “mengalami” bukan
“menghafal”. Siswa belajar dari mengalami sendiri, mengkonstruksikan,
kemudian memberi makna pada pengetahuan
itu untuk mencocokkan masalah dalam kehidupannya. Tugas
guru mengatur strategi belajar membantu mengembangkan pengetahuan lama dan baru
dan menfasilitasi belajar.
Dalam penerapannya, contextual teaching
and learning(CTL) ini melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif
ya’ni konstruktifisme (constructivism), bertanya (question),
menemukan (inquiry),masyarakat belajar (learning community),
pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang
sebenarnya (authentic assessment).[4]
Konstruktifisme (constructivism)
merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperkuat melalui
konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil
dan diingat, tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata.[5]
Dengan dasar ini, pembelajaran harus
dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima”. Pada umumnya cara
merealisasi komponen ini dalam pembelajaran adalah dengan merancang
pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, berlatih
secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan ide dan
sebagainya.
Sedangkan komponen CTL questioan
atau bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang bernasis CTL. Semua ilmu pengatahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula
dari bertanya. Salah satu faktor psikologi yang mendorong seseorang untuk
belajar adalah adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih
luas.[6]
Komponen ini diterapkan di kelas dengan kegiatan
bertanya antara siswa dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa,
antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. Aktivitas bertanya
juga terjadi ketika berdiskusi, bekerja kolompok, ketika menemui kesulitan,
ketika mengamati dan sebagainya.
Adapun inquiry atau
menemukan, merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL.
Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan dari hasil
menemukan sendiri. Keaktifan belajar akan terjadi apabila siswa aktif mengalami
sendiri. Belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk
dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa . mereka terlibat
langsung, mengamati, menghayati dan terlibat langsung dalam perbuatan serta
bertanggung jawab terhadap hasilnya, guru sebagai pembimbing dan pengarah.[7]
Dalam rangka merealisasikan koponen inquiry
ini di kelas, guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada
kegiatan menemukan materi yang diajarkan. Siklus inquiry pada umumnya
meliputi : observasi, bertanya, mengajukan dugaan (hipothesis),
pengumpulan data dan penyimpulan.
Learning community atau
masyarakat belajar yang merupakan salah satu komponen dari CTL tersebut diatas,
konsepnya adalah “menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama
dengan orang lain”.[8]
Hal ini bisa berbentuk belajar dalam kelompok. Kelompok siswa ini bisa
bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah bahkan bisa melibatkan siswa di
kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang
“ahli” ke kelas.
Model pembelajaran sebagaimana
tersebut diatas dapat mendorong siswa berfikir kritis, siswa mengekpresikan
pendapatnya secara bebas, siswa menyumbangkan buah pikirannya untuk memecahkan
masalah dan mengambil satu alternative jawaban atau lebih dengan seksama.[9]
Hal ini akan mengembangkan daya piker siswa dan kepekaan terhadap situasi
kehidupan dimana ia berada.
Selanjutnya adalah komponen CTL
berupa modeling atau pemodelan, maksudnya dalam sebuah pembelajaran
ketrampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru dan diamati
siswa.[10]
Belajar dengan cara ini hasilnya lebih melekat dalam diri siswa dan lebih mudah
diterapkan dalam kehidupan, misalnya belajar sholat dengan ceramah dan
menghafal, belum dapat mengerjakan sholat , dan yang meniru model, akan
sebaliknya. Yang bertindak sebagai model, bisa guru, seorang siswa, beberapa
siswa, seorang ahli yang didatangkan di kelas, masyarakat, dan lain-lain.
Komponen CTL berikutnya adalah reflection
atau refleksi, adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu.[11]
Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan
yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Dengan kata lain refleksi adalah merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas
atau pengetahuan yang baru diterima.
Dalam penerapannya, guru agar
memberi dorongan dan kesempatan kepada siswa
agar mereka
melakukan refleksi, berupa respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan
yang baru diterima, pernyataan langsung tentang pelajaran, kesan dan saran,
diskusi, siswa menyampaikan hasil karya, dan lain-lain.
Adapun komponen CTL yang terakhir
adalah authentic assessment atau penilaian sebenarnya, adalah proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaraan perkembangan belajar
siswa. Hal ini perlu dipantau di
sepanjang proses pembelajaran, tidak hanya diakhir periode (cawu/ semester),
tetapi bersamaan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan
pembelajaran, melalui “pengumpulan kertas kerja siswa (portofolio),
hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance) dan test
tulis (paper and pen)”[12]
Hal tersebut memberi isyarat pada
para pendidik agar dapat melaksanakan penilaian dengan didukung data yang
valid, reliable dan menyeluruh, sehingga hasil yang diperoleh dari penilaian
kelas CTL dapat memenuhi sasaran untuk mencapai tujuan pendidikan dengan
sebaik-baiknya.
Model pembelajaran CTL dengan tujuh komponennya yang telah
diuraikan diatas, bagaimana penerapannya di PP Hidayatullah Surabaya yang
dilaksanakan oleh para guru/ ustadznya dan bagaimana hasilnya, mengingat bahwa
pondok pesantren ini adalah termasuk pondok pesantren modern, dalam arti telah
didirikan lembaga pendidikan agama dan umum didalamnya dalam bentuk full day
school tingkat SD, SLTP dan SLTA, merupakan lembaga pendidikan Islam yang
menjadi tumpuan harapan masyarakat yang menyekolahkan anaknya untuk mendalami
ilmu-ilmu agama dalam rangka mempersiapkan kebahagiaan akhirat dan ilmu-ilmu
umum guna mempersiapkan kebahagiaan dunia.
Tujuan
dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui penerapan dan
efektifitas dari model CTL di PP. Hidayatullah dalam mempersiapkan santri
menguasai ilmu agama dan umum. Sedangkan tujuan secara khusus adalah untuk
mengetahui cara guru menerapkan CTL dalam pembelajaran ilmu-ilmu agama dan umum
serta hasil penerapannya dalam pembelajaran ilmu-ilmu agama dan umum pula.
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberi sumbangan moril/ spirituil kepada para pendidik di PP
Hidayatullah maupun di sekolah atau madrasah pada umumnya untuk meningkatkan
kegiatan proses belajar mengajar dengan menerapkan model CTL dalam pembelajaran
ilmu agama dan umum sehingga dapat menseimbangkan antara kepentingan duniawi
dan ukhrowi untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang sebaik-baiknya. Dan
juga dapat menambah teori-teori mengenai penerapan model pembelajaran CTL di
pondok pesantren dan efektifitasnya dalam pembelajaran ilmu agama dan umum,
yang mana CTL ini sedang gencar-gencarnya dibahas dalam dunia pendidikan. Kemudian
teori-teori tersebur dapat menjadi bahan untuk diuji kebenarannya di kemudian
hari seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan sekaligus
dapat menambah bahan kepustakaan tentang CTL di pondok pesantren.
METODOLOGI
PENELITIAN.
Variabel yang merupakan obyek atau
sasaran dalam penelitian ini adalah:1. Variabel bebas (independent
variable), terdiri dari a. Cara guru menerapkan CTL dalam pembelajaran ilmu
agama. b. Cara guru menerapkan CTL dalam pembelajaran ilmu umum. 2. Variabel
tergantung (dependen variable) yaitu: a. Hasil penerapan CTL dalam
pembelajaran ilmu agama. b. Hasil penerapan CTL dalam pembelajarana ilmu umum.
Jenis data yang ingin diperoleh
dalam penelitian unu adalah: 1. Cara guru menerapkan CTL dalam pembelajaran
ilmu agama dengan tujuh komponennya. 2. Cara guru menerapkan CTL dalam
pembelajaran ilmu umum dengan tujuh komponennya. 3. Hasil penerapan CTL dalam
pelajaran agama: a. Aqidah/ tauhid. b. Syari’ah/ ibadah. c. Bahasa Arab. 4.
Hasil penerapan CTL dalam pelajaran umum: a. IPA. b. IPS. c. Bahasa Inggris. .
Sumber data dalam penelitian ini
adalah semua (populasi) guru/ ustadz bidang studi, karena jumlahnya hanya 61
orang, memungkinkan untuk dijadikan responden semuanya.
Sedangkan untuk
siswa menggunakan sample purposive, dengan mengambil orang-orang yang dipilih
menurut cirri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sample itu sehingga relevan
dengan desain penelitian, yaitu siswa kelas II SMU saja, karena dianggap sudah
menguasai pelajaran-pelajaran agama dan umum pada kelas sebawahnya, yang
berjumlah 14 orang.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan: 1. Angket untuk memperolah data dari guru tentang
cara penerapan CTL dalam pembelajaran ilmu agama dan umum.2. Intervew dan
observasi digunakan sebagai pelengkap angket, dalam arti bila ada hal-hal yang
perlu penjelasan atau pengamatan langsung. 3. Test digunakan untuk memperoleh
data tantang hasil penerapan CTL dalam pembelajaran ilmu agama dan umum.
Analisa datanya menggunakan analisa
kuantitatif, baik untuk hasil angket, interview, obserfasi maupun hasil test.
Desain analisanya adalah menghubungkan kesimpulan dari cara guru
menerapkan komponen CTL dalam pelajaran agama (X) dengan kesimpulan kemampuan
santri/ siswa dalam pelajaran agama (X1), dan menghubungkan kesimpulan dari
cara guru menerapkan komponen CTL dalam pelajaran umum (Y) dengan kesimpulan
kemampuan santri/ siswa dalam pelajaran umum (Y1). Apabila guru telah
melaksanakan komponen CTL dan kemampuan atau pestasi belajar santri/ siswa baik
sekali, baik atau cukup ( tidak kurang dan gagal), berarti penerapan komponen
CTL sudah efektif, dan sebaliknya.
Adapun hipotesis dalam penelitian
ini adalah: A. Ha: 1. Para guru agama
PP.Hidayatullah telah menerapkan model pembelajaran CTL dengan tujuh komponennya.
2. Para guru umum PP.Hidayatullah telah
menerapkan model pembelajaran CTL dengan tujuh komponennya. 3. Penerapan CTL di
PP Hidayatullah dalam pembelajaran ilmu agama sudah efektif, dibuktikan dengan
para guru agama.telah menerapkan komponen CTL dan hasil prestasi belajarnya
baik sekali, baik atau cukup. 4. Penerapan CTL di PP.Hidayatullah dalam
pembelajaran ilmu umum sudah efektif, dibuktikan dengan para guru umum telah
menerapkan komponen CTL dan hasil prestasi belajarnya baik sekali, baik atau
cukup. B. Ho: 1. Para guru agama PP
Hidayatullah belum menerapkan model pembelajaran CTL dengan tujuh komponennya.
2. Para guru umum PP Hidayatullah belum
menerapkan model pembelajaran CTL dengan tujuh komponennya. 3. Penerapan CTL di
Pp Hidayatullah dalam pembelajaran agama belum efektif, dibuktikan dengan para
guru menerapkan CTl tetapi prestasi
belajar siswanya kurang atau gagal. 4. Penerapan CTL di PP.Hidayatullah dalam
pembelajaran ilmu umum belum efektif, dibuktikan dengan para guru menerapkan CTL tetapi prestasi belajar
siswanya kurang atau gagal.
HASIL PENELITIAN
pertama adalah cara guru menerapkan model pembelajaran CTL dalam
pembelajaran ilmu agama dengan tujuh komponennya. Responden guru bidang studi
agama berjumlah 29 orang.
Dalam penerapan komponen constructivism, 26 orang(89,65%)
menyatakan dengan praktek mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis
tugas, mendemonstrasikan suatu materi dan menciptakan idea, 2 orang (6,90%)
sama dengan di atas tanpa menciptakan idea, dan 1 orang (3,45%) dengan praktek
mengerjakan sesuatu dan menulis tugas saja.
Sedangkan dalam penerapan komponen question, 25 orang (86,20%)
dengan nertanya antara siswa dengan siswa (ketika diskusi dan kerja kelompok)
dan antara siswa dengan guru, dan 4 orang (13.80%) dengan bertanya antara siswa
dengan siswa, antara siswa dengan guru dan guru dengan siswa. Dan dalam
penerapan komponen inquiry, 20 orang guru (68,97%) menyatakan dengan
cara observasi, bertanya, mengumpulkan data dan menyimpulkan, 9 orang
(31.03%) dengan cara bertanya,
mengumpulkan data dan menyimpulkan.
Adapun penerapan komponen learning community, 18 orang (62,07%)
menyatakan dengan pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar dan bekerja
dengan kelas sederajat, 7orang (24,13%) sama dengan atas ditambah dengan
mendatangkan seorang ahli ke kelas, dan 4 orang (13.80%) dengan pembentukan
kelompok, bekerja dengan kelas sederajat dan belajar dengan masyarakat.
Sedangkan penerapan komponen modeling, 22 orang (75,87%) menyatakan guru
sebagai model memberi contoh tentang materi pelajaran, satu siswa dijadikan
model mempraktekkan materi pelajaran dan beberapa siswa diminta
mendemonstrasikan sesuatu, dan 7 orang (24,13%) menyatakan sama dengan diatas
ditambah dengan mendatangkan ahli sebagai model di kelas.
Dan untuk penerapan komponen reflection, 21 orang (72.42%)
menyatakan siswa menyampaikan respon terhadap pengetahuan yang baru diterima,
diskusi dan siswa menyampaikan hasil karyanya, 5 orang (17,23%) menyatakan sama
dengan tersebut diatas tanpa diskusi, 3 orang (10,35%) menyatakan siswa
mwnyampaikan respon terhadap pengetahuan yang baru diterima saja. Kemudian
dalam penerapan komponen authentic assessment, 24 orang (82,77%)
menyatakan penilaian dilaksanakan selama proses pembelajaran dan sesudahnya,
yang dinilai pengetahuan dan ketrampilan, secara berkesinambungan dan
terintegrasi, dan 5 orang (17,23) menjawa seperti diatas tanpa terintegrasi.
Kedua adalah cara guru menerapkan model pembelajaran CTL dalam
pembelajaran ilmu umum dengan tujuh komponennya. Responden guru bidang studi
umum berjumlah 32 orang.
Cara guru menerapkan komponen constructivism dalam pelajaran ilmu
umum di kelas, 20 orang (62,50%) menyatakan dengan praktek mengerjakan sesuatu,
menulis tugas/karangan dan mendemonstrsikan suatu materi. Sedangkan yang 12
orang (37,50%) menyatakan sama dengan tersebut diatas, ditambah dengan
menciptakan ide dan berlatih secara fisik.
Adapun dalam penerapan komponen question, 23 orang (71,87%)
melaksanakan dengan cara bertanya antara siswa dengan siswa (ketika diskusi dan
kerja kelompok) dan antara siswa dengan guru. 9 orang (28,13%) menyatakan sama
dengan tersebut diatas di tambah dengan antara siswa dengan orang lain yang
didatangkan ke kelas. Sedangkan penerapan komponen inquiry, 26 orang
(81,25%) menyatakan dengan cara observasi bertanya, mengumpulkan data dan
menyimpulkan. 4 orang (12,50%) menjawab sama dengan diatas, ditambah mengajukan
dugaan. Dan 2 orang yang lain (6,25%) menjawab dengan bertanya, mengajukan
dugaan dan mengumpulkan data.
Sedangkan dalam penerapan komponen learning community, 23 orang
(71.87%) menjawab dengan pembentukan kelompok kecil dan kelompok besar dan
bekerja dengan kelas sederajat. Dan 9 orang (28,13%) menjawab sama dengan
diatas, ditambah dengan mendatangkan ahli ke kelas. Adapun penerapan koponen modeling,
23 orang (71,87%) menjawab guru sebagai model memberi contoh tentang materi
pelajaran, satu siswa dijadikan model untuk praktek materi pelajaran dan
beberapa siswa diminta mendemonstrasikan sesuatu. Dan 9 orang (28.13%) menjawab
sama dengan dengan diatas, di tambah dengan mendatangkan ahli atau orang lain
sebagai model di kelas.
Dalam penerapan komponen reflection , 21 orang (65,62%) menyatakan
siswa menyampaikan respon terhadap aktivitas atau pengetahuan yang diterima,
pernyataan langsung tentang pelajaran yang diperoleh, diskusi, dan siswa
menyampaikan hasil karyanya. 7 orang (21,88%) menyatakan sama dengan tersebut
diatas, tanpa menyampaikan hasil karya. Dan 4 orang (12,50%) menyatakan siswa
menyampaikan pernyataan langsung tentang pelajaran yang diperoleh dan
menyampaikan hasil karyanya.
Dan dalam penerapkan komponen authentic Assessment adalah 21 orang
(65,62%) menjawab penilaian dilaksanakan selama proses pembelajaran dan
sesudahnya, yang dinilai pengetahuan dan ketrampilan, penilaian
berkesinambungan dan terintegarasi. 6 orang (18,75%) menjawab sama dengan
diatas tanpa menilai pengetahuan dan ketrampilan. Dan 5 orang (15,62%) menjawab
penilaian dilaksanakan selama proses pembelajaran dan sesudahnya, yang dinilai
pengetahuan dan ketrampilan, dan berkesinambungan.
Ketiga adalah hasil test kemampuan siswa dalam pelajaran agama dan umum.
PEMBAHASAN
I. Hasil angket, interview dan observasi
a. Tentang cara guru menerapkan model pembelajaran CTL dalam pembelajaran
ilmu-ilmu agama dan umum dengan tujuh komponennya:
Sebagian besar guru agama
menerapkan komponen CTl construktivism
dengan praktek mengerjakan suatu materi pelajaran, berlatih secara fisik,
menulis karangan/ tugas, mendemonstrasikan suatu materi, dan menciptakan ide.
Sedangkan penerapannya dalam pelajaran umum adalah juga demikian, hanya dalam
berlatih secara fisik dan menciptakan ide kurang menyeluruh. Dengan demikian
dapat disimpulakan bahwa guru pengajar materi agama dan umum telah melaksanakan
komponen ini dalam CTL. seperti tersebut diatas.
Pada umumnya guru agama menerapkan
komponen inquiry dalam CTL ini dengan cara mengajak siswa/santri
melakukan observasi, bertanya, mengumpulkan data dan menyimpulkan. Dan guru
materi umum juga menerapkan hal yang sama, maka dapat disimpulkan bahwa guru di
PP Hidayatullah telah menerapkan komponen ini dalam proses pembelajarannya dengan
tindakan tersebut diatas.
Guru agama dan umum sama, sebagian
besar menerapkan komponen question dalam pembelajarannya dengan cara
mengkondisikan siswa bertanya dengan siswa yang lain ( ketika diskusi, kerja
kelompok dan lain-lain) dan bertanya antara siswa dengan guru.
Dalam penerapan komponen learning community juga demikian antara
guru agama dan umum sama yaitu dengan cara membentuk kelompok kecil atau
kelompok besar dan bekerja dengan kelas sederajat. Ada juga sebagian kecil yang mendatangkan
seorang ahli di kelas. Dan dalam penerapan komponen modeling, guru agama
dan umum sama yaitu menjadikan dirinya sebagai model memberi contoh tentang
materi pelajaran, satu siswa dijadikan model mempraktekkan materi pelajaran dan
beberapa siswa diminta untuk mendemonstrasikan sesuatu, ada juga sebagian kecil
yang mendatangkan ahli ke kelas.
Adapun guru agama dan umum dalam menerapkan komponen CTL berupa reflection
adalah dengan cara siswa menyampaikan respon terhadap kejadian atau
pengetahuan yang baru diterima, pernyataan langsung tentang pelajaran tertentu,
diskusi dan siswa menyampaikan hasil karyanya. Sedangkan dalam penerapan komponen authentic
assessment dalam mengajar agama dan umum
adalah dengan melaksanakan penilaian selama proses belajar dan
sesudahnya, yang dinilai pengetahuan dan ketrampilan, berkesinambungan dan
terintegrasi.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa guru-guru agama dan
umum di PP Hidayatullah Surabaya telah menerapkan CTL dan melaksanakan tujuh
komponennya dengan baik. Dengan demikian maka hipotesis Ha.1. dan 2.bahwa guru agama dan umum di PP
Hidayatullah Surabaya
telah melaksanakan model pembelajaran CTL dengan tujuh komponennya, diterima. Dan Ho.1.dan 2. ditolak, yaitu
bahwa guru agama dan umum di PP. Hidayatullah
Surabaya belum menerapkan model pembelajaran CTL dengan tujuh komponennya.
2.
Analisa Hasil Test
Hasil test
kemampuan siswa dalam pembelajaran agama dianalisa secara kuantitatif dalam
bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 1
Distribusi Hasil Test Kemampuan Siswa Dalam Pelajaran Aqidah
|
|||||||
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
||
Interval
|
F
|
X
|
FX
|
M
|
Kriteria Kemampuan berdasarkan scor
|
||
39-40
|
-
|
39,5
|
0
|
32,21 = 32
|
32 - 40 Baik sekali
|
||
37-38
|
2
|
37,5
|
75
|
|
28 - 31 Baik
|
||
35-36
|
1
|
35,5
|
35,5
|
|
24 - 27 Cukup
|
||
33-34
|
4
|
33,5
|
134
|
|
20 - 23 Kurang
|
||
31-32
|
2
|
31,5
|
63
|
|
0 - 19 Gagal
|
||
29-30
|
3
|
29,5
|
88,5
|
|
|
||
27-28
|
2
|
27,5
|
55
|
|
|
||
|
14
|
|
451
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
||
Dari tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa kemampuan
santri dalam pelajaran ibadah rata-rata adalah baik sekali
|
|||||||
Tabel
2: Distribusi Hasil Tes Kemampuan Santri Dalam Pelajaran Ibadah/Fiqih
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
||
Interval
|
F
|
X
|
FX
|
M
|
Kriteria
Kemampuan
|
||
Berdasarkan
Skor
|
|||||||
39-40
|
1
|
39,5
|
39,5
|
33,64 = 34
|
32 - 40
Baik Sekali
|
||
37-38
|
4
|
37,5
|
150
|
28 - 31 Baik
|
|||
35-36
|
2
|
35,5
|
71
|
|
24 - 27 Cukup
|
||
33-34
|
1
|
33,5
|
33,5
|
|
20 - 23 Kurang
|
||
31-32
|
2
|
31,5
|
63
|
|
0 - 19 Gagal
|
||
29-30
|
2
|
29,5
|
59
|
|
|
||
27-28
|
2
|
27,5
|
55
|
|
|
||
|
14
|
|
471
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
||
Tabel
3
|
|||||||
Distribusi
Hasil Tes Kemampuan Santri Dalam Pelajaran Bahasa Arab
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
||
Interval
|
F
|
X
|
FX
|
M
|
Kriteria
Kemampuan
|
||
Berdasarkan
Skor
|
|||||||
39-40
|
4
|
39
|
156
|
31,07 = 31
|
32 - 40
Baik Sekali
|
||
37-38
|
1
|
36
|
36
|
28 - 31 Baik
|
|||
35-36
|
1
|
33
|
33
|
|
24 - 27 Cukup
|
||
33-34
|
2
|
30
|
60
|
|
20 - 23 Kurang
|
||
31-32
|
4
|
27
|
108
|
|
0 - 19 Gagal
|
||
29-30
|
-
|
24
|
-
|
|
|
||
27-28
|
2
|
21
|
42
|
|
|
||
|
|
|
435
|
|
|
||
Dalam tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan siswa dalam pelajaran Bahasa Arab rata-rata kelas adalah baik ( 31).
Setelah diketahui
kemampuan agama rata-rata kelas per mata test berdasarkan skor, maka dibawah
ini diutarakan rata-rata kelas untuk semua test berdasarkan nilai dengan
rumusan sebagai berikut:

Jenis mata test
Kriteria kemampuan
berdasarakan nilai :
8 - 10 Baik Sekali; 7
– 7,9
Baik; 6 – 6,9 Cukup; 5 – 5,9
Kurang; 0 – 4,9 Gagal.[13] Untuk mengubah score menjasi nilai dengan
rumus

x 10
£ Soal tes
Aqidah =
32

40
Ibadah/Fiqih = 34

40
Bahasa Arab = 31

40
Jumlah = 24.25

3
Dari uraian diatas
dapat diketahui bahwa rata-rata kemampuan siswa dalam pelajaran agama
berdasarkan nilai adalah 8 (delapan) berarti baik sekali. Dengan demikian
hipotesis Ha. 3. diterima yaitu bahwa penerapan CTL di PP.Hidayatullah dalam
pembelajaran ilmu agama sudah efektif, terbukti dengan para guru agama telah
menerapkan komponen CTL dan hasil prestasi belajar siswanya baik sekali. Dan sebaliknya
Ho 3. di tolak.
|
||||||||
Tabel
4 : Distribusi Hasil Tes Kemampuan Santri Dalam Pelajaran IPA
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|||
Interval
|
F
|
X
|
FX
|
M
|
Kriteria
Kemampuan berdasarkan Scor
|
|||
43-45
|
1
|
42
|
42
|
35,71 = 36
|
48 - 60 Baik Sekali
|
|||
40-42
|
4
|
41
|
164
|
|
42 - 47 Baik
|
|||
37-39
|
1
|
38
|
38
|
|
36 - 41 Cukup
|
|||
34-36
|
4
|
35
|
140
|
|
30 - 35 Kurang
|
|||
31-33
|
1
|
32
|
32
|
|
0 - 29 Gagal
|
|||
28-30
|
2
|
29
|
58
|
|
|
|||
25-27
|
1
|
26
|
26
|
|
|
|||
|
14
|
|
500
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|||
Berdasarkan table 4 tersebut di atas menunjukan bahwa
kemampuan santr dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) rata – rata kelas
adalah cukup (36)
|
||||||||
Tabel
5 Distribusi Hasil Tes Kemampuan Santri Dalam Pelajaran Sosial
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|||
Interval
|
F
|
X
|
FX
|
M
|
Kriteria
Kemampuan
|
|||
Berdasarkan
Skor
|
||||||||
44-46
|
1
|
45
|
45
|
36,64 = 37
|
48 - 60 Baik
Sekali
|
|||
41-43
|
3
|
42
|
126
|
42 - 47 Baik
|
||||
38-40
|
3
|
39
|
117
|
|
36 - 41 Cukup
|
|||
35-37
|
3
|
36
|
108
|
|
30 - 35 Kurang
|
|||
32-34
|
-
|
33
|
-
|
|
0 - 29 Gagal
|
|||
29-31
|
3
|
30
|
90
|
|
|
|||
26-28
|
1
|
27
|
27
|
|
|
|||
|
14
|
|
513
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|||
Berdasarkan
tabel 5 tersebut diatas dapt diketahui bahwa kemampuan santri daam mata
pelajaran sosial rata-rata kelas adalah cukup (37)
|
||||||||
Tabel 6 : Hasil
Tes Kemampuan Santri Dalam Pelajaran Bahasa Inggris
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|||
Interval
|
F
|
X
|
FX
|
M
|
Kriteria
Kemampuan
|
|||
Berdasarkan
Skor
|
||||||||
43-46
|
3
|
44,5
|
133,5
|
35,92 = 36
|
40 – 50 Baik Sekali
|
|||
39-42
|
5
|
40,5
|
202,5
|
35 – 39 Baik
|
||||
35-38
|
2
|
36,5
|
73
|
|
30 – 34 Cukup
|
|||
31-34
|
-
|
32,5
|
-
|
|
25 – 29 Kurang
|
|||
27-30
|
-
|
28,5
|
-
|
|
0 – 24 Gagal
|
|||
23-26
|
3
|
24.5
|
73,5
|
|
|
|||
19-22
|
1
|
20,5
|
20,5
|
|
|
|||
|
|
|
503
|
|
|
|||
Dalam tabel 6 ini dapat diketahui bahwa
kemampuan santri dalam mata pelajaran Bahasa Inggris rata-rata kelas adalah
baik (36)
Setelah diketahui
kemampuan pelajaran uumum rata-rata kelas permata test berdasarkan skor,
selanjutnya akan dicari rata-rata kelas untuk semua mata test pelajaran umum
berdasarkan nilai dengan rumus sebagaimana dalam pelajaran agama. Penjabarannya
adalah sebagai berikut:
IPA = 36 x
10 = 6
60
IPS = 37
x 10 = 6,16
60
B.Inggris =
36 x 10 =
7,2
50
Jumlah =
19,36 x 6,45 =6,5
3
Dari uraian diatas
dapat diketahui bahwa rata-rata kemampuan siswa/ santri dalam pelajaran umum
berdasarkan nilai adalah 6,5 (enam koma lima) artinya menurut kriteria
kemampuan pelajaran umum berdasarkan nilai adalah cukup.
Dengan demikian,
maka hipotesis Ha 4. diterima, yaitu bahwa penerapan CTL di PP.Hidayatullah
Surabaya dalam pembelajaran ilmu umum sudah efektif, dibuktikan dengan para
guru telah melaksanakan komponen CTL dan hasil prestasi belajar siswanya cukup
( tidak kurang atau gagal ) dan sebaliknya hipotesis Ho. 4 di tolak.
Kalau dilihat efektifitas
penerapan CTL pada pelajaran agama, lebih efektif dari pada pelajaran umum,
terbukti dari kemampuan siswa pada pelajaran agama adalah 8 ( baik sekali) dan
pada pelajaran umum 6,5 (cukup). Hal ini
disebabkan karena sarana laboratorium
yang masih kurang memadai.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Para guru/ ustadz
di PP Hidayatullah Surabaya telah menerapkan CTL dalam pembelajaran ilmu-ilmu
agama dan umum dengan menerapkan tujuh komponennya, yaitu konsruktifisme (constructivism),
menemukan (inquiry), bertanya (question), masyarakat belajar (Learning
community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection) dan
penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Hal ini menambah teori
bahwa pembelajaran di pondok pesantren tidak hanya mempelajari ilmu agama saja
dengan kurikulum hanya dari kitab kuning tetapi juga sudah mempelajari
ilmu-ilmu umum untuk mempersiapkan santri terjun dalam semua bidang kehidupan,
dan sudah menerapkan model pembelajara contextual teaching and learning,
yang mana pada umumnya masih menggunakan
sistem bandongan, sorogan dan wetonan atau klassikal.
Penerapan CTL di PP.Hidayatullah
dalam pembelajaran ilmu agama dan ilmu umum ternyata sudah efektif, dibuktikan
dengan para guru/ ustadz telah menerapkan komponen CTL dan hasilnya, untuk mata
pelajara agama baik sekali dan pelajaran umum cukup ( tidak kurang atau gagal
). Hal ini menambah teori bahwa pembelajaran di kelas dengan menggunakan model
pembeljaran CTL hasilnya lebih baik. Tampak dalam prestasi belajar ilmu agama.
Sedangkan pada pelajaran umum, memang pada umumnya prestasi belajar ilmu ini di
pondok pesantren masih kurang, dan di PP Hidayatullah sudah mencapai prestasi
cukup.
Saran
Berdasarkan temuan
penelitian ini, dapat dibuat saran sebagai berikut: 1. Pengasuh pondok pesantren
hendaknya tidak segan-segan untuk mengadopsi ilmu-ilmu modern dan teknologi
terutama yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran, termasuk menyediakan
sarana dan prasarana modern yang dapat mengakses IPTEK modern untuk
menyetarakan kehidupan dengan dunia modern tetapi masih tetap dengan corak
Islami. 2. Para guru hendaknya selalu
meningkatkan pengetahuandan ketrampilan tentang ilmu dan model-model
pembelajaran produktif yang terus berkembang di dunia pendidikan.3. Pemerintah
hendaknya lebih memperhatikan pondok pesantren dengan pengadaan sarana
prasarana seauai dengan tuntutan perkembangan zaman, serta
pelatihan-pelatihan,yang mana pondok pesantren ini juga merupakan lembaga
pendidikan yang terbukti telah mempu menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas.
Endnotes
1.Azyumardi Azra,Pendidikan Islam Tradisi dan Modern
Menuju Millenium Baru (Jakarta :PT.Logos Wacana Ilmu,1999),62
2.Ibid,hal. 75.
3.Nur Hadi,Pendekatan Kontekstual (Conteztual Teaching
and Learning) (Malang: Universitas Negeri Malang,2002), 5.
4.Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,Second Yunior
Sicondary Edication Projec,Contextual Teaching and Learning – A Practical
Approach (Jakarta:Sagric
International,2002),4
5.Zahorik,John A,Contextual Teaching and Learning
(Fast Back:1995),390.
6.Tadjab,Ilmu Jiwa Pendidikan (Surabaya: Karya
Aditama,1995),54.
7.Dimyati dan Mudjiono,Belajar
dan Pembelajaran (Jakarta: Rineksa Cipta,1999),48.
8.Hur Hadi, Contextual Teaching and Learning,13.
9.Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan
Baru (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,1997),205.
10.Nur Hadi, Contextual Teaching,13.
11. Ibid, hal.16.
12 Balitbang DepDikNas, Kurikulum Berbasis Kompetensi
Ringkasan KBM (Jakarta:
Balitbang @cbn net,id,2002),2
13.Muhibbin, Psikologi Pendidikan, 159
DAFTAR
RUJUKAN
Ali Imron, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1996)
Ali Mudlofir,Persepsi Mahasiswa Tentang Pembelajaran Bahasa
Arab Intensif Di IAIN Sunan Ampel Surabaya,NIZAMIA
(Jurnal Pendidikan Islam), 7 (2) : 133.
Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modern Menuju Millenium Baru (Jakarta:PT.Logos
Wacana,1999)
Arifin A.M., Kapita Selecta Pendidikan Islam dan umum
(Jakarta:Bumi Aksara,1991)
Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam
(Jakarta: Mulia Offset,1989)
Baltbang Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum
Berbasis Kompetensi, Ringkasan KBM. (Jakarta:
Balitbang cbn, net,id,2002)
Departemen Pendidikan Nasional Second Junior Secondary,
Education Project, Contextual Teaching and Learning-A Practical Approach
(Jakatra: Seagric International,2002)
Dimyati dan Mudjiono, Belajar
dan Pembelajaran (Jakarta : Rineksa Cipta,1999)
Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam (jakarta :PT.Raja Grafindo Persada,1999)
Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung :PT.Remaja Rosdakarya,1997)
Muhammad Abdul Qodir Ahmad, Thuruq
al-Ta’lim al-Tarbiyah al-Islamiyah (Mesir: Maktabah Al-Nahahiyah,1981)
Nur Hadi, Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching
and Learning) (Malang: Universitas Negeri Malang,2002)
Nasution S. Berbegai Pendekatan
Belajar dan Mengajar(Jakarta :Bina Aksara, 1984)
S.Nasution, Metode Research (Bandung : Jemmoss,1982)
Sutrisno Hadi, Statistik (Jogjakarta: Fakultas Psikologi
UGM,1982)
Tajab, Ilmu Jiwa Pendidikan (Surabaya: Karya Aditama,1994)
Zahorik,John A. Contructivism Teaching ( Fast Back: 1995)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar