PENERAPAN FILSAFAT ILMU
DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TASAWUF[1]
Mihmidaty Ya’cub[2]
Abstrak: Kehidupan modern mendorong manusia pada kehidupan materialis dan hedonis,
ternyata tidak membawa bahagia dan diliputi kegelisahan, sehingga terjadi
kekeringan spiritual. Masyarakat modern membutuhkan ilmu tasawuf yang dapat
membimbing manusia ke arah kebahagiaan yang hakiki, melalui pendidikan tasawuf.
Agar pendidikan tasawuf dapat melayani masyarakat sesuai dengan taraf pikirannya di semua lapisan, maka diperlukan penerapan
filsafat ilmu, yang memandang setiap ilmu dari sisi ontologi, epistimologi dan
aksiologinya.
Kata Kunci: Filsafat ilmu dan tasawuf,
A. Pendahuluan
Perkembangan kehidupan dunia semakin
pesat pada era globalisasi dewasa ini. Dalam perkembangan kehidupan manusia, sering
terjadi perubahan-perubahan dan permasalahan-permasalahan yang timbul silih
berganti. Demikian juga halnya dalam kehidupan agama dan ilmu-ilmu agama.
Dalam perubahan itu
pandangan-pandangan dunia, nilai-nilai dan norma-norma tradisional sering
dipertanyakan, dan untuk sebagian mungkin ditinggalkan. Kemudian
pandangan-pandangan dunia, nilai-nilai dan norma-norma mana yang akan
menggantikannya?
Ketika ini agama berhadapan dengan
masalah tersebut. Bagaimana agama bisa menghadapi perubahan-perubahan yang
menyentuh dirinya tanpa kehilangan identitas, tanpa kehilangan kesetiaan
terhadap panggilannya, kepercayaannya dan wahyunya?
Dalam menghadapi tantangan-tantangan
yang rumit dalam kehidupan dewasa ini, ummat mengharapkan pengarahan dan bimbingan
dari pimpinan agamanya. Para pemimpin agama
hanya dapat memimpin ummat mereka dengan baik, apabila dalam situasi ini
memberikan bimbingan spiritual dan intelektual yang seauai dengan taraf
pemikirannya, kebutuhannya dan dambaannya.
Disinilah perlunya filsafat.
Filsafat merupakan salah satu sarana yang dapat membantu para pemimpin agama
untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan kebutuhan ummat, dan memberi
pengarahan terhadap masalah-masalah besar, yang sebagian masalah tersebut
adalah masalah baru samasekali ( kontemporer ), yang dihadapi individu maupun
ummat pada umumnya. Untuk ini kemampuan berfilsafat akan sangat membantu dan
dapat memberikan pelayanan kepada ummat sebaik-baiknya.[3]
Salah satu ilmu Agama Islam yang
erat hubungannya dengan filasafat, karena memang kelahirannya berhubungan
dengan filsafat dan dewasa ini sangat dibutuhkan oleh kehidupan masyarakat
modern untuk membimbing mereka agar dapat merasakan kebahagiaan hidup yang
sebenarnya, adalah ilmu Tasawuf yang diajarkan dalam proses pendidikan tasawuf.
Kenyataan dilapangan menunjukkan
bahwa saat ini manusia berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern yang
sering disebut dengan masyarakat sekuler. Pada umumnya, kontak antar anggota
masyarakat atas dasar prinsip-prinsip fungsional pragmatis. Mereka merasa bebas
dan lepas control agama dan pandangan dunia metafisis. Dalam masyarakat modern
yang cenderung rasionalis, sekuler dan materialis ternyata tidak membawa kebahagiaan dan diliputi kegelisahan yang
diakibatkan oleh peresaan takut kehilangan apa yang dimilikinya, rasa kecewa
terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasan batin
akibat dari banyak berbuat salah.[4]
Maka untuk mengatasi hal-hal
tersebut diatas, diperlukan tasawuf, karena tasawuf dapat memberikan jawaban
terhadap kebutuhan spiritual. Tasawuf mempersenjatai diri dengan nilai-nilai
rohaniyah/ batiniyah dengan senantiasa melakukan dzikir/ ingat kepada Allah
sebagai sumber gerak, sumber norma, sumber motivasi, sumber nilai dan sumber
ketenangan dan ketentraman hati.[5]
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an Surat Al-Ra’d ayat 28 :
الذين امنو و تطمئن القلوبهم بذكر الله تطمئن القلوب
Artinya: Orang-orang
yang beriman, hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.[6]
B. Pengertian Filsafat Ilmu :
Filsafat
Ilmu kini semakin disadari oleh masyarakat akan pentingnya untuk dipelajari
yang merupakan sarana mutlak bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Filsafat Ilmu adalah suatu cabang
filsafat yang sudah lama dikenal dan dikembangkan di dunia Barat semenjak abad
ke-18, dengan sebutan Philosophi of Science, Wissenschatlehre, atau
Wetenschapsleer. Filsafat Ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah
mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiyah untuk mencapai kebenaran
atau kenyataan, sesuatu yang memang tidak pernah akan habis difikirkan dan
tidak pernah akan selesai diterangkan.[7]
Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama
diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi
ilmu, yaitu ontology, epistimologi dan aksiologi.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat
ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan
ilmiyah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati tentang apa dan bagaimana
(yang) “ada” itu (being,sein,het zijn).
Faham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme dan materialisme.
Faham dualisme, pluralisme, dengan berbagai nuansanya, merupakan faham
ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan “keyakinan” kita
masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi
yang dicari.
Epistimologi ilmu, meliputi sumber,
sarana dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan
(ilmiyah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya
mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan di pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau kombinasi
antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam
epistimologi.
Aksiologi meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normative dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana di jumpai dalam
kehidupan yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan
simbolik ataupun fisik material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditumjukkan
oleh aksiologi ini sebagai suatu condition
sine quanon yang wajib dipatuhi dalam kegiatan ini, baik dalam melakukan
penelitian maupun di dalam penerapan ilmu.[8]
Semua ilmu pengetahuan wajib
meliputi bidang garapan Filsafat Ilmu tersebut diatas. Secara sederhana dapat
disampaikan disini bahwa ontologi ilmu meliputi: apa hakikat ilmu itu? dari
mana asalnya? apa sumbernya?. Sedangkan epistimologi ilmu adalah bagaimana cara
memperoleh, mendalami dan meneliti ilmu itu, yang memerlukan sumber, sarana dan
tata cara menggunakan sarana. Dan aksiologi ilmu adalah meliputi: apa guna ilmu
itu? dan nilai-nilai apa yang terkandung
didalamnya?
.Demikian
juga dalam pengembangan pendidikan tasawuf,
menerapkan bidang garapan Filsafat Ilmu tersebut, yang akan diuraikan dalam bab
selanjutnya.
C. Pendidikan Tasawuf
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan
dalam arti luas adalah segala pengalaman belajar yang dilalui peserta didik
dengan segala lingkungan dan sepanjang hayat.[9]
Pendidikan dalam arti luas ini belum
mempunyai system. Dalam batasan secara sempit, pendidikan adalah proses
pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pendidikan formal (Madrasah atau
sekolah).[10]
Di sini pendidikan sudah merupakan system yang lengkap, yaitu: kurikulum,
pendidik, peserta didik, materi,metode, evaluasi dan tujuan.
Sedangkan batasan pendidikan secara luas
terbatas adalah segala usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, sekolah,
masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan
yang diselenggarakan dalam pendidikan formal ( sekolah ) non formal (
masyarakat ) dan informal ( keluarga) dan dilaksanakan sepamjang hayat, dalam
rangka mempersiapkan peserta didik agar berperan dalam berbagai bidang
kehidupan.[11]
Pendidikan dalam batasan luas terbatas ini
merupakan system, tetapi dalam pendidikan non formal dan informal tidak begitu
terikat secara ketat dengan peraturan.
[1] Naskah
dimuat dalam Journal Studi Kependidikan dan Keislaman URWATUL WUTSQO, STIT UW
Jombang.Volume 1, Nomor 2 September 2012.
[2] Dosen
Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, UNSURI Surabaya dan STIT Al- Urwatul
Wutsqo Jombang.
[3] Franz
Magnis Suseno,Berfilsafat Dari Konteks,PT>Gramedia
Pustaka Utama,Jakarta,1992,hal.17
[4]
M.Amin Syakur, International Journal Ihya
‘Ulum al-Din (The Social Consequence of Tasawuf),Number 01, volume 1,1999,hal 78
[5] Ibid,
68.
[6] Al-Qur
an dan Terjemahnya,Mujamma’al Malik Fahd Li Thibaat al-Mushaf,
Madinah.1971,hal.373
[7] Koento
Wibisono Siswomihardjo, Artikel Mata
Kuliah Filsafat IlmuPada Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya,tg.8 April
2004,hal12 dan 14.
[8]
Ibid,12-13
[9] Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam,( Jakarta:
Kalam Mulia, 2006), 17.
[10] Ibid,
18.
[11] Ibid.
2. .Asal Kata
Tasawuf.
Tasawuf berasal dari kata sufi. Menurut
sejarah, orang yang pertama memakai kata sufi adalah seorang zahid atau ascetic
bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (w.150H.). Adapun mengenai asal atau
etimologi kata sufi, teori-teori berikut dapat dikemukakan:
a. Ahl-suffah: Orang-orang
yang ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke Madinah, dank arena kehilangan
harta, berada dalan keadaan miskin dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal
di Masjid Nabi dan tidur diatas bangku batu dengan memakai pelana sebagai
bantal. Pelana disebut suffah Inggrisnya Saddle-Cushion dan kata sofa dalam
bahasa Eropa berasal dari kata suffah. Sungguhpun miskin, ahl-suffah berhati
baik dan mulia. Sifat tidak mementingkan keduniaan, mislin tetapi berhati baik
dan mulia itulah sifat-sifat kaum sufi.
b. Saf: Pertama.
Sebagaimana halnya dengan orang shalat di saf pertama mendapat kemuliaan dan
pahala, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala.
c. Sufi: Yaitu
suci. Seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi adalah orang-orang
yang telah mensucikan dirinya melalui latihan berat dan lama.
d. Sophos: Kata
Yunani yang berarti hikmah. Orang sufi betul ada hubungannya dengan hikmah.
Hikmah adalaherkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan yang benar dan
yang salah.
e. Suf: (kain
wol), Kaum sufi memakai wol kasar, sebagai lambang kesederhanaan dan
kemiskinan. Lawannya ialah memakai sutera, oleh orang-orang yang mewah hidupnya
dikalangan pemerintahan. Kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan
dalam mkeadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutera
dan sebagai gantinya memakai wol kasar.[1]
Dari uraian tentang asal kata sufi tersebut
diatas kalau dilihat sepintas menunjukkan adanya persamaan bahasa, meskipun
dalam konotasi yang berlainan, yaitu pelana, barisan pertama dalam shalat,
suci, hikmah, kain wol sebagai lambang kesederhanaan Tetapi jika di kaji lebih
lanjut, pengertian manakah yang paling sesuai dengan kehidupan para sufi
sekarang? Kehidupan para sufi dewasa ini, pada umumnya tercukupi dari sisi
materi, meskipun hampir 24 jam hidupnya hanya untuk kesibukan dibidang
spiritual saja, tetapi Allah telah berfirman dalam Al-Qur an surat Asy-Syura
ayat 20 :
من كان يريد حرث الاخرة تزد له في حرثه ٠ و من كان يريد حرث الدنيا نؤته منها ٠ وما له في الاخرة من النصيب
Artinya: Barang
siapa yang menghendaki kebahagiaan di akhirat, akan Kami tambah kebahagian (di
dunia) baginya dan barang siapa yang menghendaki kebahagiaan di dunia, Kami
berikan kepadanya sebagian dari kebahagiaan dunia dan tidak ada baginya suatu
bagian kebahagiaan di akhirat.[1]

3. Pengertian
Tasawuf.
Misticisme
dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum Orientalis Barat disebut sufisme yang khusus dipakai untuk misticisme Islam dan
tidak dipakai untuk misticisme yang terdapat dalam agama-agama lain.
Tasawuf
merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf atau
sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat
mungkin dengan Allah SWT.[2]
Sedangkan menurut Ibnu ‘Ujaibah, tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tentang
cara untuk mencapai Allah Swt. Membersihkan batin dari semua akhlak tercela dan
menghiasinya dengan beragam akhlak yang terpuji. Awal dari tasawuf adalah ilmu,
tengahnya adalah amal dan akhirnya adalah karunia.[3] Menurut Ruwaim, tasawuf adalah jiwa yang
menurut kepada Allah Swt. Sesuai dengan kehendakNya, Sedang menurut al-Junaidi,
tasawuf adalah hendaklah kamu bersama Allah Swt. Saja tidak punya hubungan
lain.[4]
Beberapa pendapat tersebut diatas,
sebagian memahami tasawuf sebagai akhlak yang berarti pengamalan praktis,
sedangkan yang lain menyatakan bahwa tasawuf merupakan ilmu yang berarti teori.
Pengamalan praktis membutuhkan teori dan teoripun perlu pengamalan.
Makasebenarnya pendapat-pendapat tersebut saling melengkapi. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah ilmu untuk mensucikan jiwa, menjernihkan
hati dengan tunduk kepada Allah Swt.dan menghiasinya dengan akhlak terpuji agar
sampai (wushul ) kepada Allah Swt.
[1] Al-Qur
an,Mujamma’ , hal. 786
[2] Harun
Nasution, Filsafat dan Misticisme Dalam Islam,Bulan Bintang, Jakarta,1973,hal.50
[3] Ahmad
Ibnu ‘Ujaibah,Mi’raj al-Tasawwuf ila Haqaiq al-Tasawwuf ( Beirut: Dar al-Hilal, tt),
7.
[4] Abu
al-Qasim ‘Abd. Karim Hawazin al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qushairiyyah (Kairo:
Dar al-Khair, tt), 417
4. Pengertian
Pendidikan Tasawuf
Berdasarkan pengertian pendidikan
dan pengertian tasawuf tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian
pendidikan tasawuf adalah bimbingan, pengajaran dan pelatihan yang dilakukan
oleh seorang pendidik ( dalam ilmu tasawuf adalah mursyid )
terhadapmurid atau peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat untuk
mensucikan jiwa, menjernihkan hati dengan mendekatkam diri kepada Allah Swt.
Sehingga dapat sampai (wushul ) kepadaNya agar tercapai kebahagiaan yang
hakiki di dunia dan di akhirat.
D.
Penerapan Filsafat Ilmu dalam
Pengembangan Pendidikan Tasawuf
1. Orang Beragama Perlu
Berfilsafat
Orang
yang beriman meyakini bahwa kebenaran yang mutlak adalah wahyu, karena wahyu
adalah firman Allah, dan Allah adalah Yang maha benar. Lalu untuk apa orang
beragama masih perlu berfilsafat?
Jawabannya
adalah bahwa filsafat dan agama, asal difahami benar, tidak bersaing satu sama
lain, melainkan dapat saling menunjang . Filsafat tidak bermaksud menjawab
semua pertanyaan mendalam manusia dan tidak bermaksud menentukan bagaimana
manusia harus hidup. Hal itu adalah fungsi agama. Filsafat menyediakan
sarana-sarana intelektual untuk menangani permasalahan-permasalahan dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan secara
wajar. Sarana ini juga diperlukan agama. Secara sederhana, filsafat dapat
membantu orang-orang beragama untuk mengerti ajaran agama mereka dan untuk
menjawab masalah-masalah kehidupan dengan tepat. Filsafatb merupakan sarana
yang justru membantu orang yang sudah berkeyakinan tentang bagaimana
keyakinannya itu dapat ditangani secara wajar berhadapan dengan segala
tantangan.[1]
Secara rinci filsafat dapat
dikatakan membantu agama dalam empat hal:
a.
Filsafat dapat membantu agama dalam
mengartikan (menginterpretasikan) teks teks kitab sucinya. Filsafat membantu
dalam memastikan arti obyektif tul;isan wahyu.
b. Filsafat
menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi.
c. Filsafat membantu agama
dalam menghadapi masalah-masalah baru.
d.
Filsafat membantu agama dalam menghadapi
tantangan ideologi-ideologi, baik dari luar maupun dari dalam.
Filsafat dengan agama tidak saling menyaingi dan tidak saling
berbenturan. Memang pembahasan agama
bersumber dari teks sumber agama yaitu Qur an dan Hadits dan berangkat
dari keyakinan terhadap kebenaran, sedangkann filsafat bersumber dari akal dan
berangkat dari keraguan terhadap kebenaran. Tetapi Islam sangat menghargai
akal, karena akal mampu berfikir obyektif, membandingkan, menganalisa dan
memutuskan dalam mencari kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan sabda Nabi Muhammad
saw. “ Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu dia berijtihad ( bersungguh-sungguh dalam
menetapka hukum berdasarkan Qur an dan Hadits ), kemudian benar benar, maka dia
mendapat dua pahala dan apabila dia memutuskan perkara,lalu dia
berijtihad,kemudian salah, maka dia mendapat satu
pahala”.[2]
Untuk ini, maka harus diketahui apa fungsi filsafat itu ? Pada umumnya
studi filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menangani
pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang
metodis ilmu-ilmu khusus. Jadi filsafat membantu untuk mendalami
pertanyaan-pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas ( filsafat teoritis
) dan lingkup tanggung jawabnya ( filsafat praktis ). Kemampuan itu
dipelajarinya dari luar jalur, secara sistimatik dan secara histories.
Secara sistimatik artinya filsafat menawarkan metode-metode mutakhir
untuk menangani masalah-masalah mendalam manusia, tentang hakikat kebenaran dan
pengetahuan, baik biasa maupun ilmiyah, tentang tanggung jawab dan keadilan,dls.
Melalui sejarah filsafat, orang belajar memahami , menanggapi, serta
belajar dari jawaban-jawaban yang sampai sekarang ditawarkan oleh para pemikir
dan filosuf terkemuka terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Hal ini memberikan kemampuan yang memang sangat dibutuhkan oleh segenap
orang yang hidup di zaman modern sekarang yang harus atau mau memberikan
pengarahan, bimbingan dan kepemimpinan spiritual dan intelektual dalam
masyarakat, tentang :
a.
Suatu pengertian lebih mendalam tentang
manusia dan dunia. Dengan mempelajari pendekatan-pendekatan pokok terhadap
pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling hakiki, serta mendalami
jawaban-jawaban yang diberikan oleh para pemikir terbesar umat manusia, wawasan
dan pengertian sendiri diperluas.
b. Kemampuan untuk
menganalisis secara terbuka dan kritis argumentasi-argumentasi,
pendapat-pendapat, tuntutan-tuntutan dan legimitasi-legimitasi dari berbagai
agama, ideology dan pandangan dunia. Secara singkat, filsafat merupakan kritik
ideologi.
c. Pendasaran metodis dan
wawasan lebih mendalam dan kritis dalam menjalani studi-studi di ilmu-ilmu khusus, termasuk
teologi.[3]
d.
Pemecahan problem pendidikan tasawuf,
pembentukan teori-teori baru dan pembaruan dalam pendidikan tasawuf sesuai
dengan tuntutan perkembangan zaman. Mengingat tasawuf sebagai salah satu solusi
mengatasi kekeringan spiritual bagi masyarakat modern.
Dengan demikian filsafat sangat
diperlukan bagi orang-orang yang memiliki profesi pembimbingan terhadap
masyarakat luas, seperti pendidik, para tokoh agama, ilmuwan dan lain-lain.
[1] Franz,
Berfilsafat,hal. 19.
[2] Imam Bukhari,
Shahih Bukhari, terjemah Imam al-Mundziri, Jakarta, Pustaka Amani 2003, hal. 586-587.
[3] Frans, Berfilsafat,,
hal. 22
2. Penerapan Filsafat Ilmu dalam
Pengembangan Pendidikan Tasawuf
Strategi penerapan / pengembangan ilmu disini adalah yang bercorak bahwa
ilmu dan konteksnya saling melebur diri, ilmu untuk meningkatkan martabat
manusia. Penerapan filsafat ilmu
dalam pengembangan ilmu tasawuf berhasil guna dan berdaya guna untuk
meningkatkan martabat manusia.
Penerapan
filsafat ilmu dalam pengembangan ilmu tasawuf , dengan cara melihat ilmu
tasawuf secara keseluruhan berdasar bidang garapan filsafat ilmu, yaitu
ontology, epistimolog dan aksiologi.
a.Ontologi Ilmu Tasawuf :
Ontologi
ilmu tasawuf meliputi: apa hakikat ilmu tasawuf? Dari mana asal ilmu tasawuf?
Dan apa sumber ilmu tasawuf ?
1)
Hakikat tasawuf
Tasawuf adalah
ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Tasawuf
adalah merupakan pusaka keagamaan dalam Islam.Adapun isi pokok ajaran tasawuf
dibawa oleh Jibril yang didiskusikan dengan Nabi di tengah-tengah para sahabat,
dapat disimpulkan atas tiga ajaran pokok, yaitu Iman,Islam dan Ihsan.
Ihsan adalah
jika kau mengabdi kepada Allah seakan-akan kau melihatNya, jika kau tidak bisa
demikian, maka sesungguhnya Dia melihatmu.[1] Sendi
ihsan inilah yang kemudian dikembangkan dalam tasawuf. Tasawuf berarti
penjernihan hati yang merupakan dasar pokok kekuatan batin pembersih jiwa. Tasawuf
adalah jalan di mana manusia berusaha untuk mengendalikan hawa nafsunya di
dalam rangka supaya lahir kembali di dalam ilahi dan oleh karenanya mengalami
persatuan dengan yang benar.[2] Kesadaran
berada dekat dengan Allah ini dapat mengambil bentuk ittihad atau bersatu dengan Allah SWT.
Teori tasawuf adalah ilmu tasawuf itu sendiri, tetapi
kalau ilmu tasawuf ini diamalkan oleh
seseorang, maka pengamalan ilmu tasawuf ini merupakan aliran tasawuf untuk
mencapai derajat tertinggi yaitu kedekatan dengan Allah.
Dalam pengamalan ilmu tasawuf ini mutlak diperlukan
seorang guru yang dikenal dengan mursyid, dalam hal ini maka terjadilah proses pendidikan
tasawuf yang didalamnya terdiri dari pendidik ( mursyid ), peserta didik (
murid ), materi pendidikan tasawuf, metode pendidikan tasawuf dan tujuan
pendidikan tasawuf.
2.) Asal-usul aliran taswuf.
Teori-teori
mengenai asal timbul atau munculnya aliran ini dalam Islam juga berbeda- beda, antara lain:
a) . Pengaruh Nasrani, dengan faham menjauhi dunia dan
hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literature Arab
memang terdapat tulisan-tulisan tentang
rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang
pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang dimalam
hari menjadi penunjuk jalan bagi kafilah yang berlalu, kemah mereka yang
sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan
hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir.
b) . Falsafah mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa
roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagi orang asing. Badan
jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di
alam samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi, manusia harus
membersiohkan roh dengan meninggalkan hidup materi.
c) . Falsafah emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa
wujud ini memancar dari dzat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan
akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya kea lam materi, roh menjadi
kotor, dan untuk dapat kembali ke tempat asalnya roh harus terlebih dahulu
dibersihkan. Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan
sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa falsafah
ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaumzahid dan sufi dalam Islam.
d). Ajaran Budha dengan faham nirwananya.Untuk
mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup
kontemplasi. Faham fana’ yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham
nirwana.
e).
Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia
dan mendekat Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[3]
Inilah beberapa faham dan ajaran yang menurut teorinya mempengaruhi
timbul dan munculnya sufisme dikalangan umat Islam. Apakah teori ini benar atau
tidak, masih belum bisa dibuktikan.
Namun Islam memiliki pandangan sendiri dalam hal ini, adalah bahwa baik ada atau
tidak adanya pengaruh-pengaruh dari luar, sufisme dalam Islam terlahir
bersamaan dengan datangnya Agama Islam. Di dalam Al-Qur an terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa
manusia dekat sekali dengan Tuhannya, antara lain:
[1] Imam
Muslim, Shahih Muslim jilid I, ( Kairo: Syirkah al-Babi al-Halabi, tt),
56.
[2] Antologi
Kajian Islam,ed.Syaichul Hadi Permono,at.al., Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Press,
Surabaya, 2004,hal.19
[3] Harun,
Falsafah, hal.53
terima kasih Atas paparan pengetahuannya... mhon izin copy...
BalasHapus