Jumat, 21 Februari 2014

EFEKTIVITAS PENERAPAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN ILMU AGAMA DAN UMUM DI PESANTREN HIDAYATULLAH SURABAYA

EFEKTIVITAS PENERAPAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN ILMU AGAMA DAN UMUM DI PESANTREN HIDAYATULLAH SURABAYA


Mihmidaty ya’cub


         Abstrak: Penelitian tentang penerapan contextual teaching and learning(CTL)  dalam pembelajaran ilmu agama dan umum di pondok pesantren Hidayatullah Suirabaya bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara guru di pondok pesantren ini menerapkan model pembelajaran contextual teaching and learning dengan tujuh komponennya yaitu konstruktifisme (constructivism), bertanya (question), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment), dan efektifitas penerapannya berupa kemampuan siswa menguasai ilmu agama dan umum. Jenis penelitian ini digunakan diskriptif kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah semua santri PP Hidayatullah 155 orang dan semua guru/ ustadz berjumlah 61orang. Sampel purposive digunakan untuk penentuan responden dari santri/siswa yaitu kelas II SMU saja (14 orang), sedangkan untuk guru, populasinya dijadikan responden. Teknik pengumpulan data digunakan angket dan observasi untuk guru dan test untuk siswa/santri.Hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru yang mengajar ilmu agama dan umum di PP. Hidayatullah Surabaya telah melaksanakan contextual teaching and learning(CTL) dalam pembelajarannya, dengan menerapkan tujuh komponen tersebut diatas. Dan hasil test kemampuan siswa/santri dalam ilmu agama adalah baik sekali dengan nilai prestasi rata-rata kelas 8 (delapan) dan hasil test kemampuan mereka dalam ilmu umum adalah cukup dengan nilai prestasi rata-rata kelas 6,5(enam komaa lima). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan contextual teaching and learning(CTL) dalam pembelajaran ilmu agama dan umum di PP.Hidayatullah sudah efektif, terutama dalam pembelajaran agama.



Kata Kunci: Penerapan contextual teaching and learning(CYL) di pondok pesantren.

PENDAHULUAN
            Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang pada masa awalnya menggunakan system pendidikan yang masih tradisional, tempat belajarnya di masjid, materi yang dipelajari khusus pelajaran agama Islam, gurunya kiai/ustadz, kurikulumnya dari kitab kuning saja.[1]
            Namun pada perkembangannya dilapangan dewasa ini pondok pesantren telah banyak yang berubah menjadi pondok pesantren modern, dalam arti telah ada lembaga 
pendidikan formal, baik berupa madrasah di bawah naungan Departemen Agama maupun sekolah umum dibawah Departemen Pendidikan Nasional.[1] Bahkan telah mengakses peralatan dan pendekatan pembelajaran modern dewasa ini. Sehingga pondok pesantren berhasil mencetak para kader penerus perjuangan bangsa dalam semua bidang kahidupan.    
     Di sisi lain, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam dunia pendidikan muncul pula teori-teori baru tentang model-model pembelajaran produktif antara lain adalah contextual teaching and learning(CTL) yaitu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.[2]
      Pengertian tersebut memberi isyarat bahwa belajar bukan hanya sekedar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga untuk mempersiapkan siswa meraih kesuksesan dalam kehidupannya kelak. Untuk ini maka dalam proses belajar mengajar senantiasa mengaitkan dengan kahidupan nyata dan lebih mengaktifkan siswa. Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai rangkaian fakta-fakta yang harus dihafal, kelas masih terfokus pada guru sebagai sumber utama ilmu pengetahuan, ceramah menjadi pilihan utama strategi pembelajaran.

        Untuk mengaktifkan dan lebih memberdayakan siswa, maka mutlak diperlukan adanya perubahan strategi belajar yang tidak hanya mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi juga mendorong mereka mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Dengan strategi CTL ini siswa diharapkan belajar melalui “mengalami” bukan “menghafal”. Siswa belajar dari mengalami sendiri, mengkonstruksikan, kemudian
memberi makna pada pengetahuan itu untuk mencocokkan masalah dalam kehidupannya. Tugas guru mengatur strategi belajar membantu mengembangkan pengetahuan lama dan baru dan menfasilitasi belajar.
          Dalam penerapannya, contextual teaching and learning(CTL) ini melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif ya’ni konstruktifisme (constructivism), bertanya (question), menemukan (inquiry),masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment).[1]
         Konstruktifisme (constructivism) merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperkuat melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.[2]
           Dengan dasar ini, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima”. Pada umumnya cara merealisasi komponen ini dalam pembelajaran adalah dengan merancang pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan ide dan sebagainya.
            Sedangkan komponen CTL questioan atau bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang bernasis CTL. Semua ilmu pengatahuan yang dimiliki seseorang selalu
bermula dari bertanya. Salah satu faktor psikologi yang mendorong seseorang untuk belajar adalah adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.[1]
            Komponen  ini diterapkan di kelas dengan kegiatan bertanya antara siswa dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. Aktivitas bertanya juga terjadi ketika berdiskusi, bekerja kolompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati dan sebagainya.
            Adapun inquiry atau menemukan, merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan dari hasil menemukan sendiri. Keaktifan belajar akan terjadi apabila siswa aktif mengalami sendiri. Belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa . mereka terlibat langsung, mengamati, menghayati dan terlibat langsung dalam perbuatan serta bertanggung jawab terhadap hasilnya, guru sebagai pembimbing dan pengarah.[2]
            Dalam rangka merealisasikan koponen inquiry ini di kelas, guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan materi yang diajarkan. Siklus inquiry pada umumnya meliputi : observasi, bertanya, mengajukan dugaan (hipothesis), pengumpulan data dan penyimpulan.
            Learning community atau masyarakat belajar yang merupakan salah satu komponen dari CTL tersebut diatas, konsepnya adalah “menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain”.[3] Hal ini bisa berbentuk belajar dalam kelompok. Kelompok siswa ini bisa bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah 
bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang “ahli” ke kelas.
            Model pembelajaran sebagaimana tersebut diatas dapat mendorong siswa berfikir kritis, siswa mengekpresikan pendapatnya secara bebas, siswa menyumbangkan buah pikirannya untuk memecahkan masalah dan mengambil satu alternative jawaban atau lebih dengan seksama.[1] Hal ini akan mengembangkan daya piker siswa dan kepekaan terhadap situasi kehidupan dimana ia berada.
            Selanjutnya adalah komponen CTL berupa modeling atau pemodelan, maksudnya dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa.[2] Belajar dengan cara ini hasilnya lebih melekat dalam diri siswa dan lebih mudah diterapkan dalam kehidupan, misalnya belajar sholat dengan ceramah dan menghafal, belum dapat mengerjakan sholat , dan yang meniru model, akan sebaliknya. Yang bertindak sebagai model, bisa guru, seorang siswa, beberapa siswa, seorang ahli yang didatangkan di kelas, masyarakat, dan lain-lain.
            Komponen CTL berikutnya adalah reflection atau refleksi, adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu.[3] Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Dengan kata lain refleksi adalah merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima.
            Dalam penerapannya, guru agar memberi dorongan dan kesempatan kepada siswa

agar mereka melakukan refleksi, berupa respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima, pernyataan langsung tentang pelajaran, kesan dan saran, diskusi, siswa menyampaikan hasil karya, dan lain-lain.
            Adapun komponen CTL yang terakhir adalah authentic assessment atau penilaian sebenarnya, adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaraan perkembangan belajar siswa. Hal ini perlu dipantau  di sepanjang proses pembelajaran, tidak hanya diakhir periode (cawu/ semester), tetapi bersamaan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran, melalui “pengumpulan kertas kerja siswa (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance) dan test tulis (paper and pen)”[1]
            Hal tersebut memberi isyarat pada para pendidik agar dapat melaksanakan penilaian dengan didukung data yang valid, reliable dan menyeluruh, sehingga hasil yang diperoleh dari penilaian kelas CTL dapat memenuhi sasaran untuk mencapai tujuan pendidikan dengan sebaik-baiknya.
            Model pembelajaran  CTL dengan tujuh komponennya yang telah diuraikan diatas, bagaimana penerapannya di PP Hidayatullah Surabaya yang dilaksanakan oleh para guru/ ustadznya dan bagaimana hasilnya, mengingat bahwa pondok pesantren ini adalah termasuk pondok pesantren modern, dalam arti telah didirikan lembaga pendidikan agama dan umum didalamnya dalam bentuk full day school tingkat SD, SLTP dan SLTA, merupakan lembaga pendidikan Islam yang menjadi tumpuan harapan masyarakat yang menyekolahkan anaknya untuk mendalami ilmu-ilmu agama dalam rangka mempersiapkan kebahagiaan akhirat dan ilmu-ilmu umum guna mempersiapkan kebahagiaan dunia.

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui penerapan dan efektifitas dari model CTL di PP. Hidayatullah dalam mempersiapkan santri menguasai ilmu agama dan umum. Sedangkan tujuan secara khusus adalah untuk mengetahui cara guru menerapkan CTL dalam pembelajaran ilmu-ilmu agama dan umum serta hasil penerapannya dalam pembelajaran ilmu-ilmu agama dan umum pula.
            Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan moril/ spirituil kepada para pendidik di PP Hidayatullah maupun di sekolah atau madrasah pada umumnya untuk meningkatkan kegiatan proses belajar mengajar dengan menerapkan model CTL dalam pembelajaran ilmu agama dan umum sehingga dapat menseimbangkan antara kepentingan duniawi dan ukhrowi untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang sebaik-baiknya. Dan juga dapat menambah teori-teori mengenai penerapan model pembelajaran CTL di pondok pesantren dan efektifitasnya dalam pembelajaran ilmu agama dan umum, yang mana CTL ini sedang gencar-gencarnya dibahas dalam dunia pendidikan. Kemudian teori-teori tersebur dapat menjadi bahan untuk diuji kebenarannya di kemudian hari seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan sekaligus dapat menambah bahan kepustakaan tentang CTL di pondok pesantren. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar