EFEKTIVITAS PENERAPAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN
ILMU AGAMA DAN UMUM DI PESANTREN HIDAYATULLAH SURABAYA
Mihmidaty ya’cub
Abstrak:
Penelitian tentang penerapan contextual teaching and learning(CTL) dalam pembelajaran ilmu agama dan
umum di pondok pesantren Hidayatullah Suirabaya bertujuan untuk mengetahui
bagaimana cara guru di pondok pesantren ini menerapkan model pembelajaran contextual
teaching and learning dengan tujuh komponennya yaitu konstruktifisme (constructivism),
bertanya (question), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection),
dan penilaian sebenarnya (authentic assessment), dan efektifitas
penerapannya berupa kemampuan siswa menguasai ilmu agama dan umum. Jenis penelitian
ini digunakan diskriptif kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah semua
santri PP Hidayatullah 155 orang dan semua guru/ ustadz berjumlah 61orang.
Sampel purposive digunakan untuk penentuan responden dari santri/siswa yaitu
kelas II SMU saja (14 orang), sedangkan untuk guru, populasinya dijadikan
responden. Teknik pengumpulan data digunakan angket dan observasi untuk guru
dan test untuk siswa/santri.Hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru yang
mengajar ilmu agama dan umum di PP. Hidayatullah Surabaya telah melaksanakan contextual
teaching and learning(CTL) dalam pembelajarannya, dengan menerapkan tujuh
komponen tersebut diatas. Dan hasil test kemampuan siswa/santri dalam ilmu
agama adalah baik sekali dengan nilai prestasi rata-rata kelas 8 (delapan) dan
hasil test kemampuan mereka dalam ilmu umum adalah cukup dengan nilai prestasi
rata-rata kelas 6,5(enam komaa lima).
Hal ini menunjukkan bahwa penerapan contextual teaching and learning(CTL)
dalam pembelajaran ilmu agama dan umum di PP.Hidayatullah sudah efektif,
terutama dalam pembelajaran agama.
Kata
Kunci: Penerapan contextual
teaching and learning(CYL) di pondok pesantren.
PENDAHULUAN
Pondok pesantren adalah suatu
lembaga pendidikan Islam yang pada masa awalnya menggunakan system pendidikan
yang masih tradisional, tempat belajarnya di masjid, materi yang dipelajari
khusus pelajaran agama Islam, gurunya kiai/ustadz, kurikulumnya dari kitab
kuning saja.[1]
Namun pada perkembangannya
dilapangan dewasa ini pondok pesantren telah banyak yang berubah menjadi pondok
pesantren modern, dalam arti telah ada lembaga
pendidikan formal,
baik berupa madrasah di bawah naungan Departemen Agama maupun sekolah umum
dibawah Departemen Pendidikan Nasional.[1]
Bahkan telah mengakses peralatan dan pendekatan pembelajaran modern dewasa ini.
Sehingga pondok pesantren berhasil mencetak para kader penerus perjuangan
bangsa dalam semua bidang kahidupan.
Di sisi lain, seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam dunia pendidikan muncul pula teori-teori
baru tentang model-model pembelajaran produktif antara lain adalah contextual
teaching and learning(CTL) yaitu konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.[2]
Pengertian tersebut memberi isyarat
bahwa belajar bukan hanya sekedar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan saja,
tetapi juga untuk mempersiapkan siswa meraih kesuksesan dalam kehidupannya
kelak. Untuk ini maka dalam proses belajar mengajar senantiasa mengaitkan
dengan kahidupan nyata dan lebih mengaktifkan siswa. Sejauh ini pendidikan kita
masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai rangkaian fakta-fakta
yang harus dihafal, kelas masih terfokus pada guru sebagai sumber utama ilmu
pengetahuan, ceramah menjadi pilihan utama strategi pembelajaran.
Untuk
mengaktifkan dan lebih memberdayakan siswa, maka mutlak diperlukan adanya
perubahan strategi belajar yang tidak hanya mengharuskan siswa menghafal
fakta-fakta, tetapi juga mendorong mereka mengkonstruksikan pengetahuan di
benak mereka sendiri. Dengan strategi CTL ini siswa diharapkan belajar melalui
“mengalami” bukan “menghafal”. Siswa belajar dari mengalami sendiri,
mengkonstruksikan, kemudian
memberi makna pada
pengetahuan itu untuk mencocokkan masalah dalam kehidupannya. Tugas guru mengatur strategi belajar membantu mengembangkan
pengetahuan lama dan baru dan menfasilitasi belajar.
Dalam penerapannya, contextual teaching
and learning(CTL) ini melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif
ya’ni konstruktifisme (constructivism), bertanya (question),
menemukan (inquiry),masyarakat belajar (learning community),
pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang
sebenarnya (authentic assessment).[1]
Konstruktifisme (constructivism)
merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperkuat melalui
konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil
dan diingat, tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata.[2]
Dengan dasar ini, pembelajaran harus
dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima”. Pada umumnya cara
merealisasi komponen ini dalam pembelajaran adalah dengan merancang
pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, berlatih
secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan ide dan
sebagainya.
Sedangkan komponen CTL questioan
atau bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang bernasis CTL. Semua
ilmu pengatahuan yang dimiliki seseorang selalu
bermula
dari bertanya. Salah satu faktor psikologi yang mendorong seseorang untuk
belajar adalah adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih
luas.[1]
Komponen ini diterapkan di kelas dengan kegiatan
bertanya antara siswa dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa,
antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. Aktivitas bertanya
juga terjadi ketika berdiskusi, bekerja kolompok, ketika menemui kesulitan,
ketika mengamati dan sebagainya.
Adapun inquiry atau
menemukan, merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL.
Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan dari hasil
menemukan sendiri. Keaktifan belajar akan terjadi apabila siswa aktif mengalami
sendiri. Belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk
dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa . mereka terlibat
langsung, mengamati, menghayati dan terlibat langsung dalam perbuatan serta
bertanggung jawab terhadap hasilnya, guru sebagai pembimbing dan pengarah.[2]
Dalam rangka merealisasikan koponen inquiry
ini di kelas, guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada
kegiatan menemukan materi yang diajarkan. Siklus inquiry pada umumnya
meliputi : observasi, bertanya, mengajukan dugaan (hipothesis),
pengumpulan data dan penyimpulan.
Learning community atau
masyarakat belajar yang merupakan salah satu komponen dari CTL tersebut diatas,
konsepnya adalah “menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama
dengan orang lain”.[3]
Hal ini bisa berbentuk belajar dalam kelompok. Kelompok siswa ini bisa
bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah
bahkan bisa
melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan
mendatangkan seorang “ahli” ke kelas.
Model pembelajaran sebagaimana
tersebut diatas dapat mendorong siswa berfikir kritis, siswa mengekpresikan
pendapatnya secara bebas, siswa menyumbangkan buah pikirannya untuk memecahkan
masalah dan mengambil satu alternative jawaban atau lebih dengan seksama.[1]
Hal ini akan mengembangkan daya piker siswa dan kepekaan terhadap situasi
kehidupan dimana ia berada.
Selanjutnya adalah komponen CTL
berupa modeling atau pemodelan, maksudnya dalam sebuah pembelajaran
ketrampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru dan diamati
siswa.[2]
Belajar dengan cara ini hasilnya lebih melekat dalam diri siswa dan lebih mudah
diterapkan dalam kehidupan, misalnya belajar sholat dengan ceramah dan
menghafal, belum dapat mengerjakan sholat , dan yang meniru model, akan
sebaliknya. Yang bertindak sebagai model, bisa guru, seorang siswa, beberapa
siswa, seorang ahli yang didatangkan di kelas, masyarakat, dan lain-lain.
Komponen CTL berikutnya adalah reflection
atau refleksi, adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu.[3]
Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan
yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Dengan kata lain refleksi adalah merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas
atau pengetahuan yang baru diterima.
Dalam penerapannya, guru agar
memberi dorongan dan kesempatan kepada siswa
agar mereka
melakukan refleksi, berupa respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan
yang baru diterima, pernyataan langsung tentang pelajaran, kesan dan saran,
diskusi, siswa menyampaikan hasil karya, dan lain-lain.
Adapun komponen CTL yang terakhir
adalah authentic assessment atau penilaian sebenarnya, adalah proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaraan perkembangan belajar
siswa. Hal ini perlu dipantau di
sepanjang proses pembelajaran, tidak hanya diakhir periode (cawu/ semester),
tetapi bersamaan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan
pembelajaran, melalui “pengumpulan kertas kerja siswa (portofolio),
hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance) dan test
tulis (paper and pen)”[1]
Hal tersebut memberi isyarat pada
para pendidik agar dapat melaksanakan penilaian dengan didukung data yang
valid, reliable dan menyeluruh, sehingga hasil yang diperoleh dari penilaian
kelas CTL dapat memenuhi sasaran untuk mencapai tujuan pendidikan dengan
sebaik-baiknya.
Model pembelajaran CTL dengan tujuh komponennya yang telah
diuraikan diatas, bagaimana penerapannya di PP Hidayatullah Surabaya yang
dilaksanakan oleh para guru/ ustadznya dan bagaimana hasilnya, mengingat bahwa
pondok pesantren ini adalah termasuk pondok pesantren modern, dalam arti telah
didirikan lembaga pendidikan agama dan umum didalamnya dalam bentuk full day
school tingkat SD, SLTP dan SLTA, merupakan lembaga pendidikan Islam yang
menjadi tumpuan harapan masyarakat yang menyekolahkan anaknya untuk mendalami
ilmu-ilmu agama dalam rangka mempersiapkan kebahagiaan akhirat dan ilmu-ilmu
umum guna mempersiapkan kebahagiaan dunia.
Tujuan
dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui penerapan dan
efektifitas dari model CTL di PP. Hidayatullah dalam mempersiapkan santri
menguasai ilmu agama dan umum. Sedangkan tujuan secara khusus adalah untuk
mengetahui cara guru menerapkan CTL dalam pembelajaran ilmu-ilmu agama dan umum
serta hasil penerapannya dalam pembelajaran ilmu-ilmu agama dan umum pula.
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberi sumbangan moril/ spirituil kepada para pendidik di PP
Hidayatullah maupun di sekolah atau madrasah pada umumnya untuk meningkatkan
kegiatan proses belajar mengajar dengan menerapkan model CTL dalam pembelajaran
ilmu agama dan umum sehingga dapat menseimbangkan antara kepentingan duniawi
dan ukhrowi untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang sebaik-baiknya. Dan
juga dapat menambah teori-teori mengenai penerapan model pembelajaran CTL di
pondok pesantren dan efektifitasnya dalam pembelajaran ilmu agama dan umum,
yang mana CTL ini sedang gencar-gencarnya dibahas dalam dunia pendidikan. Kemudian
teori-teori tersebur dapat menjadi bahan untuk diuji kebenarannya di kemudian
hari seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan sekaligus
dapat menambah bahan kepustakaan tentang CTL di pondok pesantren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar