Orang Yang Di Kehendaki Baik Atau Buruk Oleh Allah
ﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍﺪ ﺍﷲ ﺑﻌﺑﺩ ﺨﻴﺮﺍ ﺟﻌﻝ ﻏﻧﺎﻩ ﻓﻰ ﻨﻔﺴﻪ ﻮ ﺘﻘﺎﻩ ﻔﻰ
ﻗﻠﺑﻪ ﻭ ﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍﺪ ﺍﷲ ﺑﻌﺑﺩ ﺷﺭﺍ ﺟﻌﻞ ﻓﻗﺭﻩ ﺑﻴﻦ ﻋﻴﻧﻪ
﴿ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺤﺎﻜﻡ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﻫﺭﻴﺭﺓ﴾
Apabila Allah menghendaki kebaikan terhadap seorang hamba, maka Dia
menjadikan kekayaannya berada pada dirinya sendiri, dan takwanya berada pada kalbunya.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap seorang hamba, maka Dia
menjadikan kefakiran di depan matanya.
(Hadits riwayat Imam Hakim
dari Abu Hurairah r.a.)
Penjelasan :
Hadits ini berkaitan erat dengan hadits sebelumnya, yaitu
yang mengatakan bahwa rela-lah engkau dengan apa yang telah di berikan oleh
Allah kepadamu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya. Dan dalam hadits
ini, di sebutkan bahwa bilamana Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya,
niscaya Dia menjadikan kekayaannya pada dirinya sendiri. Atau dengan kata lain,
hamba tersebut di beri-Nya petunjuk dan Taufik untuk bersyukur kepada-Nya. Apabila
ia menjadi orang yang bersyukur, berarti ia ridho (senang) dengan apa saja yang
di berikan Allah Swt. kepadanya, dan jadilah orang yang kaya diri (kekayaannya
ada pada jiwanya). Akan tetapi, jika orang itu di kehendaki buruk oleh Allah, maka
kefakirannya ada di hadapannya. Yang di hadapi setiap hari hanya perasaan
kurang, perasaan fakir, perasaan terjepit oleh kebutuhan, masyaAllah. Maka ia tidak
bersyukur, sekalipun Allah Swt. telah memberinya rezeki yang banyak, ia tetap
merasa tidak puas dengan apa yang telah ada padanya, sehingga jadilah ia meskipun
orang yang kaya, tetapi hatinya miskin, jadilah ia miskin diri dan tidak puas
dengan apa yang telah di berikan Allah kepadanya.
Apabila ia bersyukur kepada Allah, berarti di dalam kalbunya
telah tertanam rasa taqwa kepada Allah karena kedua hal tersebut berkaitan erat
sekali. Taqwa dengan syukur tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Allah telah
berfirman dalam surat Ali Imran ayat 123:
... ۖ
ﻓﺎﺗﻗﻮﺍ ﺍﷲ ﻟﻌﻟﻜﻡ ﺘﺸﻛﺮﻮﻥ
Artinya, “… maka bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya
(nikmat Allah)”. (Ali Imran : 123)
Sahabat
pembaca, dalam hal ini, kondisi manusia yang merasa kaya atau merasa fakir itu,
sebenarnya dalam jiwanya sendiri (dari nafsunya sendiri). Namun di sini di
sebutkan adalah Allah menjadikannya. Jadi, Allah menjadikannya sesuai keinginan
nafsunya seseorang. Jadi kalau nafsu seseorang ingin ibadah, maka Allah akan
menjadikannya ibadah, maka istilah bahasanya adalah Allah menguatkannya untuk
beribadah. Karena segalanya adalah bersumber dari Allah. Kalau seseorang ingin
berusaha melakukan hal yang kurang baik, Allah menuruti. Maka, istilah bahasa nya
adalah, Allah yang menjadikan dia jelek. Dan sebenarnya dasarnya, adalah dari
nafsunya sendiri. Karena Allah sudah memberi petunjuk, yang baik lakukan, yang
jelek jangan. Dan itu sudah lengkap sekali dalam alQur’an dan hadits. Mana yang
harus kita lakukan, mana yang tidak boleh kita lakukan. Tetapi manusia pada
akhirnya, kadang-kadang berbalik. Yang di perintah malah tidak di lakukan, yang
di larang malah di lakukan.
Sahabat
pembaca, berdasar hadits ini, orang itu di kehendaki baik, maka ia setiap hari
dalam hidupnya merasa kecukupan. Merasa semuanya cukup, merasa kaya, merasa
ayem –bahasa jawa- (tenang), merasa bahagia, merasa sejahtera, karena tidak ada
yang kurang. Bagaimana ia merasa kurang? Karena ia bersyukur di beri berapa
saja oleh Allah. Di beri uang untuk makan, sudah cukup, Alhamdulillah. Di beri
lebih, bisa di tabung untuk beli mobil, Alhamdulillah. Menabung ingin haji,
bisa haji, Alhamdulillah. Menabung, belum bisa haji, belum bisa beli mobil, ya
dia tetap bersabar mensyukuri kiriman Allah. Allah belum memberi.
Sahabat
pembaca, jadi, apapun yang ada dalam hatinya adalah rasa bahagia, rasa
bersyukur. Nah, orang itu berarti, ia mengenal Allah, ia punya ilmu yang
membahagiakan dirinya, yaitu ilmu tentang Allah. Ilmu tentang sifat-sifat
Allah, ilmu tentang takdir Allah. Ilmu tentang apa saja dalam kehidupannya,
yang setiap hari yang berhubungan dengan Allah. Nah, rasa taqwanya ada dalam
hatinya (ﻮ ﺘﻘﺎﻩ ﻔﻰ
ﻗﻠﺑﻪ).
Nabi Saw
bersabda:
ﺍﻟﺘﻗﻭﻯ
ﻫﻬﻨﺎ ﻮﺍﻟﺘﻗﻭﻯ ﻫﻬﻨﺎ ﻭﺍﻟﺘﻗﻭﻯ ﻫﻬﻨﺎ ﻮﺃﺸﺎﺭ ﻓﻰ ﺻﺪﺭﻩ
Artinya,
taqwa itu, di sini, dan taqwa itu, di sini, dan taqwa itu, di sini (dan isyarat
tangannya Nabi menempel ke dadanya) taqwa itu di dalam, di dalam hati, di dalam
jiwa, di dalam ruh. Sedang yang muncul keluar adalah perilaku dari taqwa itu.
Lalu dia suka shalat, suka dzikir, suka menolong, bekerja dengan jujur, apa
saja yang di lakukan sesuai dengan dasar taqwa itu.
Nah sahabat
pembaca, itu perwujudan dari taqwa itu. Dan taqwa sendiri, ada di dalam hati.
Kalau hatinya baik, maka tentu akan melahirkan perilaku yang baik. Nabi
bersabda :
ﺇﻦ
ﻓﻰ ﺍﻟﺟﺴﺪ ﻟﻤﺿﻐﺔ ﺇﻦ ﺻﻟﺤﺖ ﺻﻟﺤﺖ ﺍﻟﺟﺴﺪ ﻜﻟﻪ ﻭﺇﻥ ﻓﺳﺩ ﺖ ﻓﺴﺩ ﺖ ﺍﻟﺟﺴﺩ ﻜﻟﻪ ﺃﻻ ﻭﻫﻰ ﺍﻟﻗﻟﺏ
Artinya,
“Ketahuilah bahwa dalam tubuh manusia itu, ada segumpal daging. Jika segumpal
daging itu baik, maka baiklah semua jasad itu. Jika segumpal daging itu buruk, maka buruk semua jasad itu. Apakah
itu? Ingatlah (ketahuilah) dan sesungguhnya segumpal daging itu, adalah hati”.
Sahabat
pembaca, hatilah yang menentukan manusia itu baik atau buruk. Karena sumbernya
dari hati tersebut di kendalikan oleh hati. Maka jika hati itu di dasari dengan
taqwa, apapun yang keluar dari perilakunya, adalah perilaku benar, perilaku
baik, perilaku yang membahagiakan, meskipun mungkin menurut sementara orang,
itu kurang baik. Tetapi, ukuran kebaikan yang hakiki, adalah ukuran yang di
berikan oleh Allah kepada kita, yaitu ukuran yang sesuai dengan norma-norma
aturan Allah Swt.
Nah, sahabat
pembaca, kalau orang itu di kehendaki jelek oleh Allah maka kefakirannya ada di
hadapannya. Bangun tidur yang di pikirkan sudah, “nanti itu uang dari mana,
cukup atau tidak, jangan-jangan tidak cukup. Waduh, cuman punya uang segini,
tidak bisa untuk ini, itu … “ akhirnya yang adalah perasaan miskin, perasaan
kurang, perasaan fakir, padahal mungkin dalam kenyataannya uangnya banyak,
hanya saja yang di inginkannya lebih banyak dari uangnya, akhirnya tetap merasa
fakir. Seberapapun uangnya, tetap fakir, dia tetap punya tabungan 1 milyar,
tetapi ingin beli rumah yang 2 milyar. Tetap kurang. Mencari lagi dengan
sengsara, supaya bisa memenuhi apa yang dia inginkan. Jadilah ia selalu setiap
saat merasa fakir, merasa kurang. Di manakah letak kebahagiaan hidupnya? Kalau
kita di tekan-tekan oleh ambisi nafsu kita? Tidak ada kebahagiaan, karena kita
merasa fakir terus, kurang - kurang, ya Allah.. sebenarnya hati yang harus kita
luruskan, kita benarkan, yaitu mensyukuri nikmat Allah. Betapa indahnya kalau
kita merasa senang merasa ridho, di beri dalam ukuran berapa saja oleh Allah,
itu yang terbaik untuk kita.
Kalau kita
punya uang yang memang cukup untuk biaya hidup sehari-hari, tidak menjangkau
yang aksesoris yang bermacam-macam, kita cukup bahagia, Alhamdulillah sudah
cukup. Anak- anaknya sekolah, sehat semua, makan kenyang semua, Alhamdulillah.
Di syukuri, ibadahnya bisa baik. Ternyata, Allah itu, kalau kita pandai
bersyukur, Allah janji, (ﻷﺯﻴﺪﻨﻜﻡ)
yang artinya, “niscaya sungguh aku akan
menambah kepadamu”.
Berarti
orang yang suka syukur, itu bukannya kehidupannya semakin terpuruk, tetapi
kehidupannya semakin meningkat, semakin di angkat derajatnya oleh Allah.
Derajat dunia yang di angkat Allah akan mengakibatkan pula derajat di surga,
insyaAllah.
Nah, seperti
itu orang yang di kehendaki oleh Allah menjadi baik atau buruk. Ternyata, bisa
di lihat dari perasaannya sendiri. Apakah ia merasa cukup, apa merasa kurang,
dalam hatinya ada taqwa, atau justru tidak ada taqwa, Na’udzu billahi min dzaalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar