Jumat, 21 Februari 2014

Orang Yang Di Kehendaki Baik Atau Buruk Oleh Allah

Orang Yang Di Kehendaki Baik Atau Buruk Oleh Allah

ﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍﺪ ﺍﷲ ﺑﻌﺑﺩ ﺨﻴﺮﺍ ﺟﻌﻝ ﻏﻧﺎﻩ ﻓﻰ ﻨﻔﺴﻪ ﻮ ﺘﻘﺎﻩ ﻔﻰ ﻗﻠﺑﻪ ﻭ ﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍﺪ ﺍﷲ ﺑﻌﺑﺩ ﺷﺭﺍ ﺟﻌﻞ ﻓﻗﺭﻩ ﺑﻴﻦ ﻋﻴﻧﻪ
﴿ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻜﻡ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﻫﺭﻴﺭﺓ﴾

Apabila Allah menghendaki kebaikan terhadap seorang hamba, maka Dia menjadikan kekayaannya berada pada dirinya sendiri, dan takwanya berada pada kalbunya. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap seorang hamba, maka Dia menjadikan kefakiran di depan matanya.

(Hadits riwayat Imam Hakim dari Abu Hurairah r.a.)
Penjelasan :

Hadits ini berkaitan erat dengan hadits sebelumnya, yaitu yang mengatakan bahwa rela-lah engkau dengan apa yang telah di berikan oleh Allah kepadamu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya. Dan dalam hadits ini, di sebutkan bahwa bilamana Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, niscaya Dia menjadikan kekayaannya pada dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, hamba tersebut di beri-Nya petunjuk dan Taufik untuk bersyukur kepada-Nya. Apabila ia menjadi orang yang bersyukur, berarti ia ridho (senang) dengan apa saja yang di berikan Allah Swt. kepadanya, dan jadilah orang yang kaya diri (kekayaannya ada pada jiwanya). Akan tetapi, jika orang itu di kehendaki buruk oleh Allah, maka kefakirannya ada di hadapannya. Yang di hadapi setiap hari hanya perasaan kurang, perasaan fakir, perasaan terjepit oleh kebutuhan, masyaAllah. Maka ia tidak bersyukur, sekalipun Allah Swt. telah memberinya rezeki yang banyak, ia tetap merasa tidak puas dengan apa yang telah ada padanya, sehingga jadilah ia meskipun orang yang kaya, tetapi hatinya miskin, jadilah ia miskin diri dan tidak puas dengan apa yang telah di berikan Allah kepadanya.

Apabila ia bersyukur kepada Allah, berarti di dalam kalbunya telah tertanam rasa taqwa kepada Allah karena kedua hal tersebut berkaitan erat sekali. Taqwa dengan syukur tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Allah telah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 123:
 ...  ۖ  ﻓﺎﺗﻗﻮﺍ ﺍﷲ ﻟﻌﻟﻜﻡ ﺘﺸﻛﺮﻮﻥ ۝  

Artinya, “… maka bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya (nikmat Allah)”. (Ali Imran : 123)

Sahabat pembaca, dalam hal ini, kondisi manusia yang merasa kaya atau merasa fakir itu, sebenarnya dalam jiwanya sendiri (dari nafsunya sendiri). Namun di sini di sebutkan adalah Allah menjadikannya. Jadi, Allah menjadikannya sesuai keinginan nafsunya seseorang. Jadi kalau nafsu seseorang ingin ibadah, maka Allah akan menjadikannya ibadah, maka istilah bahasanya adalah Allah menguatkannya untuk beribadah. Karena segalanya adalah bersumber dari Allah. Kalau seseorang ingin berusaha melakukan hal yang kurang baik, Allah menuruti. Maka, istilah bahasa nya adalah, Allah yang menjadikan dia jelek. Dan sebenarnya dasarnya, adalah dari nafsunya sendiri. Karena Allah sudah memberi petunjuk, yang baik lakukan, yang jelek jangan. Dan itu sudah lengkap sekali dalam alQur’an dan hadits. Mana yang harus kita lakukan, mana yang tidak boleh kita lakukan. Tetapi manusia pada akhirnya, kadang-kadang berbalik. Yang di perintah malah tidak di lakukan, yang di larang malah di lakukan.

Sahabat pembaca, berdasar hadits ini, orang itu di kehendaki baik, maka ia setiap hari dalam hidupnya merasa kecukupan. Merasa semuanya cukup, merasa kaya, merasa ayem –bahasa jawa- (tenang), merasa bahagia, merasa sejahtera, karena tidak ada yang kurang. Bagaimana ia merasa kurang? Karena ia bersyukur di beri berapa saja oleh Allah. Di beri uang untuk makan, sudah cukup, Alhamdulillah. Di beri lebih, bisa di tabung untuk beli mobil, Alhamdulillah. Menabung ingin haji, bisa haji, Alhamdulillah. Menabung, belum bisa haji, belum bisa beli mobil, ya dia tetap bersabar mensyukuri kiriman Allah. Allah belum memberi.

Sahabat pembaca, jadi, apapun yang ada dalam hatinya adalah rasa bahagia, rasa bersyukur. Nah, orang itu berarti, ia mengenal Allah, ia punya ilmu yang membahagiakan dirinya, yaitu ilmu tentang Allah. Ilmu tentang sifat-sifat Allah, ilmu tentang takdir Allah. Ilmu tentang apa saja dalam kehidupannya, yang setiap hari yang berhubungan dengan Allah. Nah, rasa taqwanya ada dalam hatinya (ﻮ ﺘﻘﺎﻩ ﻔﻰ ﻗﻠﺑﻪ).
Nabi Saw bersabda:

ﺍﻟﺘﻗﻭﻯ ﻫﻬﻨﺎ ﻮﺍﻟﺘﻗﻭﻯ ﻫﻬﻨﺎ ﻭﺍﻟﺘﻗﻭﻯ ﻫﻬﻨﺎ ﻮﺃﺸﺎﺭ ﻓﻰ ﺻﺪﺭﻩ

Artinya, taqwa itu, di sini, dan taqwa itu, di sini, dan taqwa itu, di sini (dan isyarat tangannya Nabi menempel ke dadanya) taqwa itu di dalam, di dalam hati, di dalam jiwa, di dalam ruh. Sedang yang muncul keluar adalah perilaku dari taqwa itu. Lalu dia suka shalat, suka dzikir, suka menolong, bekerja dengan jujur, apa saja yang di lakukan sesuai dengan dasar taqwa itu.
Nah sahabat pembaca, itu perwujudan dari taqwa itu. Dan taqwa sendiri, ada di dalam hati. Kalau hatinya baik, maka tentu akan melahirkan perilaku yang baik. Nabi bersabda :

ﺇﻦ ﻓﻰ ﺍﻟﺟﺴﺪ ﻟﻤﺿﻐﺔ ﺇﻦ ﺻﻟﺤﺖ ﺻﻟﺤﺖ ﺍﻟﺟﺴﺪ ﻜﻟﻪ ﻭﺇﻥ ﻓﺳﺩ ﺖ ﻓﺴﺩ ﺖ ﺍﻟﺟﺴﺩ ﻜﻟﻪ ﺃﻻ ﻭﻫﻰ ﺍﻟﻗﻟﺏ

Artinya, “Ketahuilah bahwa dalam tubuh manusia itu, ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah semua jasad itu. Jika segumpal daging  itu buruk, maka buruk semua jasad itu. Apakah itu? Ingatlah (ketahuilah) dan sesungguhnya segumpal daging itu, adalah hati”.

Sahabat pembaca, hatilah yang menentukan manusia itu baik atau buruk. Karena sumbernya dari hati tersebut di kendalikan oleh hati. Maka jika hati itu di dasari dengan taqwa, apapun yang keluar dari perilakunya, adalah perilaku benar, perilaku baik, perilaku yang membahagiakan, meskipun mungkin menurut sementara orang, itu kurang baik. Tetapi, ukuran kebaikan yang hakiki, adalah ukuran yang di berikan oleh Allah kepada kita, yaitu ukuran yang sesuai dengan norma-norma aturan Allah Swt.

Nah, sahabat pembaca, kalau orang itu di kehendaki jelek oleh Allah maka kefakirannya ada di hadapannya. Bangun tidur yang di pikirkan sudah, “nanti itu uang dari mana, cukup atau tidak, jangan-jangan tidak cukup. Waduh, cuman punya uang segini, tidak bisa untuk ini, itu … “ akhirnya yang adalah perasaan miskin, perasaan kurang, perasaan fakir, padahal mungkin dalam kenyataannya uangnya banyak, hanya saja yang di inginkannya lebih banyak dari uangnya, akhirnya tetap merasa fakir. Seberapapun uangnya, tetap fakir, dia tetap punya tabungan 1 milyar, tetapi ingin beli rumah yang 2 milyar. Tetap kurang. Mencari lagi dengan sengsara, supaya bisa memenuhi apa yang dia inginkan. Jadilah ia selalu setiap saat merasa fakir, merasa kurang. Di manakah letak kebahagiaan hidupnya? Kalau kita di tekan-tekan oleh ambisi nafsu kita? Tidak ada kebahagiaan, karena kita merasa fakir terus, kurang - kurang, ya Allah.. sebenarnya hati yang harus kita luruskan, kita benarkan, yaitu mensyukuri nikmat Allah. Betapa indahnya kalau kita merasa senang merasa ridho, di beri dalam ukuran berapa saja oleh Allah, itu yang terbaik untuk kita.

Kalau kita punya uang yang memang cukup untuk biaya hidup sehari-hari, tidak menjangkau yang aksesoris yang bermacam-macam, kita cukup bahagia, Alhamdulillah sudah cukup. Anak- anaknya sekolah, sehat semua, makan kenyang semua, Alhamdulillah. Di syukuri, ibadahnya bisa baik. Ternyata, Allah itu, kalau kita pandai bersyukur, Allah janji, (ﻷﺯﻴﺪﻨﻜﻡ) yang artinya, “niscaya sungguh aku akan menambah kepadamu”.

Berarti orang yang suka syukur, itu bukannya kehidupannya semakin terpuruk, tetapi kehidupannya semakin meningkat, semakin di angkat derajatnya oleh Allah. Derajat dunia yang di angkat Allah akan mengakibatkan pula derajat di surga, insyaAllah.


Nah, seperti itu orang yang di kehendaki oleh Allah menjadi baik atau buruk. Ternyata, bisa di lihat dari perasaannya sendiri. Apakah ia merasa cukup, apa merasa kurang, dalam hatinya ada taqwa, atau justru tidak ada taqwa, Na’udzu billahi min dzaalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar